Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/Helena Lopes)

Sejak kecil, orang-orang sudah dicekoki pemikiran bahwa menikah dan punya anak adalah jalan hidup yang ideal. Saat seseorang memutuskan untuk childfree atau menunda punya anak, respons yang diterima sering kali negatif. Masyarakat menganggap keputusan itu aneh, bahkan tidak sedikit yang mengaitkannya dengan pemikiran egois.

Orang yang sudah menikah akan terus ditanya kapan punya anak, dan yang sudah punya satu anak akan ditanya kapan menambah lagi. Namun, di balik semua itu, ada alasan mendalam mengapa banyak orang Indonesia begitu terobsesi dengan keturunan. Berikut lima alasan utama yang membuat fenomena ini begitu kuat mengakar dalam masyarakat.

1. Standar sosial yang sudah mendarah daging

ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/Helena Lopes)

Sejak dulu, masyarakat Indonesia menganggap pernikahan dan keturunan sebagai bagian dari kehidupan yang normal dan harus dijalani. Orang yang memilih untuk tidak memiliki anak sering kali dianggap menyimpang dari norma. Di banyak daerah, anak adalah simbol kesuksesan keluarga. Tanpa anak, rumah tangga dianggap kurang lengkap. Bahkan, dalam acara keluarga besar, mereka yang belum memiliki anak sering kali mendapat komentar atau pertanyaan yang mengarah ke tekanan sosial.

Bagi banyak orang, standar sosial ini membuat mereka merasa wajib untuk memiliki anak, bukan hanya demi diri sendiri tetapi juga demi pandangan masyarakat. Ketika ada pasangan yang memutuskan untuk menunda punya anak, sering kali mereka dikritik atau bahkan dikasihani. Tak sedikit yang merasa keputusan itu egois atau tidak wajar, karena dalam budaya kita, punya anak itu seperti tiket masuk ke dalam kehidupan bermasyarakat yang lebih diterima.

2. Keyakinan bahwa anak adalah investasi masa depan

ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/RDNE Stock project)

Banyak orang Indonesia masih memiliki pola pikir bahwa anak adalah jaminan hari tua. Di masa tua, mereka berharap anak-anaknya bisa merawat dan menopang kehidupan orang tua. Ini bukan tanpa alasan, mengingat sistem jaminan sosial di Indonesia belum sebaik di negara maju. Akibatnya, banyak orang tua yang menggantungkan harapan pada anak-anak mereka agar bisa membantu secara finansial maupun emosional saat mereka sudah tidak produktif lagi.

Selain itu, di banyak keluarga, terutama yang berasal dari kelas menengah ke bawah, anak-anak sejak kecil diajarkan untuk ikut mencari nafkah. Mereka dianggap sebagai aset yang bisa membantu orang tua dalam bekerja atau mengurus usaha keluarga. Hal ini semakin menguatkan anggapan bahwa memiliki banyak anak akan memberikan keuntungan ekonomi dalam jangka panjang, meskipun kenyataannya tidak selalu demikian.

3. Tekanan dari keluarga besar

ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/RDNE Stock project)

Di Indonesia, keluarga besar memiliki peran yang cukup dominan dalam kehidupan seseorang. Banyak keputusan pribadi, termasuk keputusan tentang memiliki anak, sering kali dipengaruhi oleh orang tua, mertua, dan sanak saudara. Bahkan, dalam beberapa kasus, tekanan ini bisa sangat kuat hingga membuat pasangan yang awalnya ingin menunda kehamilan akhirnya memilih untuk segera memiliki anak.

Keluarga besar sering kali beranggapan bahwa memiliki banyak cucu atau keponakan adalah kebanggaan tersendiri. Mereka tidak segan-segan untuk terus menanyakan dan mendesak pasangan yang belum memiliki anak. Hal ini bisa menimbulkan tekanan mental bagi pasangan yang sebenarnya belum siap. Banyak yang akhirnya memilih untuk mengikuti keinginan keluarga demi menghindari konflik atau perasaan bersalah.

4. Faktor agama dan budaya

ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/RDNE Stock project)

Sebagian besar masyarakat Indonesia masih memegang teguh ajaran agama yang mengajarkan pentingnya memiliki keturunan. Dalam beberapa ajaran, punya anak dianggap sebagai anugerah dan kewajiban yang harus dijalankan. Banyak orang percaya bahwa memiliki anak adalah salah satu bentuk ibadah dan cara untuk meneruskan nilai-nilai agama dalam keluarga.

Selain faktor agama, budaya juga memainkan peran besar. Di beberapa daerah, memiliki banyak anak masih dianggap sebagai simbol keberkahan dan kekuatan keluarga. Bahkan, ada anggapan bahwa semakin banyak anak, semakin besar rezeki yang akan datang. Keyakinan ini masih banyak dipercaya, terutama di pedesaan, meskipun kondisi ekonomi semakin sulit dan biaya hidup semakin tinggi.

5. Takut kesepian dan mencari makna hidup

ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Banyak orang yang merasa bahwa hidup akan lebih bermakna jika memiliki anak. Mereka percaya bahwa anak bisa memberikan kebahagiaan dan menjadi alasan untuk terus maju dalam hidup. Ketika memasuki usia tua, banyak orang takut merasa kesepian, sehingga mereka berharap anak-anak akan selalu ada untuk menemani.

Rasa takut ini sering kali mendorong orang untuk memiliki anak tanpa benar-benar mempertimbangkan kesiapan emosional dan finansial. Mereka berpikir bahwa dengan memiliki anak, hidup mereka akan lebih berwarna dan penuh arti. Padahal, dalam kenyataannya, kebahagiaan tidak selalu bergantung pada kehadiran anak, dan banyak cara lain untuk menemukan makna dalam hidup tanpa harus mengikuti standar sosial yang ada.

Obsesi terhadap memiliki anak di Indonesia sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Banyak orang yang merasa bahwa memiliki anak adalah bagian dari perjalanan hidup yang harus dijalani, meskipun sebenarnya keputusan ini sangat personal dan tidak bisa dipaksakan. Pada akhirnya, keputusan untuk memiliki anak seharusnya berdasarkan kesiapan dan keinginan pribadi, bukan hanya karena tekanan dari lingkungan. Setiap orang punya hak untuk memilih jalan hidupnya sendiri tanpa harus mengikuti standar yang ditetapkan oleh masyarakat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team