TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

3 Alasan yang Mendasari Demam Novel Jepang, Kian Mengglobal

Penerbitan novel Jepang versi terjemahan naik

Life Ceremony karya Sayaka Murata (instagram.com/grantabooks)

Beberapa tahun belakangan, novel-novel Jepang berhamburan di toko buku. Baik yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Sepertinya penerbit mulai melirik bahkan merasakan sendiri potensi komersial dari penerjemahan sastra Jepang.

Nama-nama seperti Kanae Minato, Banana Yoshimoto, Sayaka Murata, dan Mieko Kawakami mulai menyalip popularitas Haruki Murakami. Apa yang membuat novel-novel Jepang begitu diminati di level global? Ada setidaknya tiga faktor yang bisa menjawabnya. 

1. Budaya dan aturan rigid Jepang jadi ciri khas yang menarik untuk dijelajahi

novel Haruki Murakami versi bahasa Prancis (instagram.com/editions1018)

Jepang jadi latar yang menarik dan baru karena menawarkan seperangkat kultur yang berbeda dari negara-negara lain. Ada aturan, norma, dan adat tertentu yang bikin novel Jepang punya kekhasannya sendiri. Terkadang itu semua jadi sesuatu yang menarik untuk diulik atau dijelajah lebih jauh. Baik dilihat dari sisi yang bersinergi atau justru berseberangan. 

Kultur Jepang sendiri lebih sering terekspos lewat manga dan anime, ketimbang novelnya. Dengan makin giatnya penerjemahan sastra Jepang, penikmat novel jadi punya media berkenalan dengan keunikan dan kekhasan budaya Jepang. Sesuatu yang sebelumnya mungkin mereka lewatkan karena tak tertarik dengan representasi kultural yang ditawarkan manga dan anime. 

Baca Juga: 5 Rekomendasi Novel Jepang yang Best Seller, Menghangatkan Hati

2. Daya tarik dari gaya bercerita filosofis dan pendekatan eskapisme

The Memory Police karya Yoko Ogawa (instagram.com/harvillsecker)

Pada era kontemporer, Haruki Murakami disebut sebagai salah satu penulis Jepang yang prominen di kalangan pembaca global. Menurut tulisan Sou-Jie van Brunnersum untuk Deutsche-Welle, sang empu cerita meraih popularitasnya karena menawarkan sensasi eskapisme lewat kisah-kisah surealis dan filosofisnya.

David Pilling dari Financial Times menyoroti bagaimana Murakami berhasil memberikan perspektif alternatif bagi orang Jepang yang jenuh terhadap keseragaman di negara mereka. Haruki Murakami tidak sendiri, Ryu Murakami (From the Fatherland, with Love) menawarkan sensasi sama sembari memungkinkan pembaca global menerawang isu-isu sosial politik Jepang.

Tak sampai di situ, sastra Jepang juga diisi penulis-penulis kisah filosofis yang bersahaja. Sebut saja Toshikazu Kawaguchi (Before the Coffee Gets Cold), Genki Kawamura (If Cats Disappeared from the World), Durian Sukegawa (Sweet Bean Paste), Yōko Ogawa (The Memory Police), hingga Keigo Higashino (The Miracles of the Namiya General Store). Kehadiran penulis kisah bersahaja ini memperluas jangkauan novel Jepang. Tak hanya menyasar pembaca dewasa, pembaca muda (young adult) pun bisa menikmatinya. 

Baca Juga: 5 Konsep yang Disenggol Novel Satire Jepang 'Convenience Store Woman'

Verified Writer

Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya