TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Teori Sosiologi dengan Preposisi Penderitaannya, Kamu Mengalami?

Relate dengan penderitaan hidup sebagian besar orang, nih

ilustrasi kesedihan (pixabay.com/Pexels)

Setiap orang di muka bumi ini rasanya ingin memiliki kehidupan yang begitu membahagiakan. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya, penderitaan senantiasa muncul dalam hidup. Bahkan, satu derita belum usai, muncul penderitaan baru yang membuat semuanya jadi semakin kompleks.

Sejalan dengan kehidupan manusia dengan segala problematikanya, hadir sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan masyarakat. Nah, ilmu sosiologi dalam melihat situasi dan kondisi masyarakat ini tertuang dalam teori-teorinya.

Begitu banyak teori yang mengungkapkan penderitaan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Mulai dari teori dramaturgi, teori kemiskinan absolut dan struktural, teori budaya kemiskinan, teori fungsionalisme struktural, hingga teori konflik. Isi teori tersebut mengungkapkan penderitaan sebagaian besar manusia, baik disebabkan oleh faktor eksternal maupun internal, nih.

Baca Juga: 5 Alasan Mahasiswa Menyesal Masuk Jurusan Sosiologi, Kamu Juga?

1. Teori dramaturgi

ilustrasi melihat diri sendiri (pixabay.com/geralt)

Teori dramaturgi menjelaskan penderitaan yang dialami manusia saat berada di depan panggung, yakni di kehidupan sosial dengan bertemu banyak orang. Yang mana, di depan publik, seseorang senantiasa memainkan peran yang berbeda dengan apa yang senyatanya terjadi, yang senyatanya dirasakan.

Umumnya, berupa kepura-puraan hidup baik-baik saja, padahal faktanya sedang hancur. Ibarat bermain drama, teori dramaturgi ini memiliki panggung yang membuat pemerannya memakai topeng dan berakting cantik.

Hal itu bukan hanya membuat menderita karena tidak bisa menjadi diri sendiri di depan banyak orang, melainkan juga melelahkan. Ia harus terus pura-pura kuat dalam jangka waktu cukup panjang sampai bisa ke belakang panggung. Di belakang panggung, pelakunya bisa istirahat sejenak dengan menjadi dirinya sendiri, boleh lelah, boleh mengeluh, pun menangis.

2. Teori kemiskinan absolut dan struktural

ilustrasi kesedihan (pixabay.com/3938030)

Sesuai namanya, teori kemiskinan, tentunya penderitaan diakibatkan oleh kekurangan secara sumber daya, khusus urusan finansial. Dalam teori absolut, maka pelaku di dalamnya memiliki kehidupan yang kekurangan secara finansial. Dalam ilustrasinya, untuk memenuhi kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, dan papan saja kesulitan.

Secara lebih kompleks, teori kemiskinan struktural ini bermakna kemiskinan yang diakibatkan oleh keterbatasan akses. Untuk bisa keluar dari zona kemiskinan, maka harus mengakses sumber daya yang mendukungnya untuk bisa melakukan perubahan hidup.

Sayangnya, posisi orang terkait berada di suatu tatanan sosial budaya atau sosial politik yang kurang mendukung pembebasan kemiskinan. Bayangkan, kekurangan absolut dalam memenuhi kebutuhan pokok, ditambah dengan keterbatasan akses untuk bebas dari kemiskinan, bukankah hal itu seperti penderitaan yang berlipat-lipat? Tragis, namun begitulah kenyataannya yang masih banyak terjadi, nih. 

3. Budaya kemiskinan

ilustrasi kehidupan yang disfungsional (pixabay.com/lukasbieri)

Nah, teori satu ini memberikan sudut pandang akan penderitaan hidup yang disebabkan oleh faktor internal, termasuk karena dirinya sendiri. Budaya kemiskinan merupakan kondisi miskin yang sebagai akibat dari sikap dan kebiasaan seseorang atau masyarakat yang umumnya berasal dari budaya atau adat istiadat.

Pelaku budaya kemiskinan ini enggan untuk memperbaiki taraf hidupnya, lho. Contoh sederhananya, yakni sikap malas, boros, tidak kreatif, dan selalu bergantung pada orang lain. Budaya tersebut, jika terus dilestarikan, hanya akan menjadikan pelakunya terjebak dalam kemiskinan karena ulahnya sendiri.

Baca Juga: 5 Cara Menurut Sosiologi untuk Mengatasi Rasa Insecure

4. Teori fungsionalisme struktural

ilustrasi zona nyaman (pixabay.com/Allinoch)

Hal yang patut diteladani dari teori fungsionalisme struktural ini ialah pola hidup yang senantiasa dijaga keteraturan dan keseimbangannya. Setiap bagian dalam hidup senantiasa berjalan fungsional. Terlebih, dengan pola ini bisa meminimalisir hadirnya konflik maupun permasalahan hidup lainnya.

Namun, pola hidup yang diterapkan oleh teori fungsionalisme struktural ini mendukung hidup yang senantiasa cari aman. Dengan kata lain, penganut teori ini memiliki hidup statis, jarang terjadi perubahan besar dalam hidupnya. Mengapa begitu? Karena ingin menjaga keseimbangan yang sudah ada, kenyamanan dalam hidup aman, serta tidak ada keberanian untuk keluar mencari dan membuat perubahan.

Contoh sederhananya, seseorang yang selalu berada dalam zona nyamannya. Alih-alih menyayangi diri sendiri, nyatanya ia tidak punya nyali untuk keluar dari zona nyaman. Dengan begitu, hidupnya di situ-situ saja, bahkan tertinggal dari semua orang yang bergerak maju dengan perubahan yang dilakukan. Bukankah hal ini terlihat melindungi, menjaga, dan menyamakan diri, tapi kenyataannya membuat penderitaan untuk dirinya sendiri di masa depan? Coba pikirkan!

Verified Writer

Melinda Fujiana

Have a nice day!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya