TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Sejarah Masjid Islamic Center Jakarta, Mulanya Tempat Prostitusi

Pembangunan JIC diprakarsai oleh Gubernur Sutiyoso

Jakarta Islamic Center (instagram.com/islamicjic)

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta, atau lebih dikenal sebagai Jakarta Islamic Center (JIC), terletak di Jalan Kramat Jaya Raya No. 1, RT 06/RW 01, Tugu Utara, Koja, Jakarta Utara. Seperti namanya, bangunan ini berfungsi sebagai masjid sekaligus lembaga pengkajian dan pengembangan Islam.

Di balik keindahan masjid tersebut, apakah kamu tahu sejarah di balik pembangunannya? Buat kamu yang belum tahu, berikut IDN Times sajikan rangkuman mengenai sejarah Masjid Islamic Center Jakarta.

1. Berdiri di atas tanah eks lokalisasi Kramat Tunggak

Jakarta Islamic Center (instagram.com/islamicjic)

Sebelum Masjid Islamic Center Jakarta menghiasi Kramat Jaya, kawasan tersebut mulanya adalah sebuah rawa. Dari rawa, oleh Ali Sadikin—mantan Gubernur DKI Jakarta—dibangunlah sebuah tempat rehabilitasi sosial untuk menampung dan membina wanita-wanita tunasusila (WTS) yang dulunya bekerja di daerah Pasar Senen, Kramat, dan Pejompongan.

Ide pendirian tempat rehabilitasi tersebut diperoleh Ali Sadikin saat mengunjungi Thailand. Negara tersebut cukup dikenal dengan industri seksnya. Tapi, selama berada di Bangkok, Ali sama sekali tidak menjumpai tempat-tempat seperti itu.

Mantan Gubernur Jakarta tersebut pun bertanya kepada pihak kedutaan Indonesia untuk Thailand. Mereka menjawab bahwa distrik lampu merah di Negeri Gajah Putih memang sengaja dilokalisasi. Mendengar jawaban tersebut, Ali pun terinspirasi untuk menerapkan kebijakan yang sama di Jakarta.

Alhasil, melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta No. Ca.7/I/13/1970 per tanggal 27 April 1970 tentang Pelaksanaan Usaha Lokalisasi/Relokasi Wanita Tuna Susila, Kramat Tunggak pun dijadikan sebagai lokalisasi. Dilansir Jakarta Islamic Center, lokalisasi tersebut dikenal sebagai Panti Sosial Karya Wanita (PKSW) Teratai Harapan Kramat Tunggak.

Baca Juga: Islamic Center Jakarta Utara Kebakaran, Petugas Masih Memadamkan Api

2. Pendirian lokalisasi sempat dikecam oleh KAWI

Jakarta Islamic Center (instagram.com/islamicjic)

Keputusan yang diambil Ali Sadikin untuk menyulap Kramat Tunggak sebagai sebuah lokalisasi mulanya ditentang oleh Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI). Hal ini karena kebijakan tersebut dianggap melestarikan kegiatan eksploitasi manusia—dalam hal ini, perempuan.

Namun, Ali menjelaskan bahwa keputusan untuk melokalisasi para WTS ke Kramat Tunggak adalah untuk memperindah Kota Jakarta sehingga kawasan Ibu Kota tidak lagi terkesan kotor maupun jorok. Di samping itu, pembangunan lokalisasi Kramat Tunggak juga ditujukan sebagai tempat untuk membina mereka yang dulu berprofesi sebagai "kupu-kupu malam" di daerah Kramat, Pasar Senen, dan Pejompongan.

3. Lokalisasi yang berubah menjadi ladang baru prostitusi

Masjid Islamic Center Jakarta (instagram.com/islamicjic)

Upaya Ali Sadikin untuk memberdayakan WTS dan membenahi Ibu Kota lewat pendirian lokalisasi Kramat Tunggak memang patut diapresiasi. Hanya saja, teori di kertas tak sejalan dengan praktik di lapangan.

PKSW Teratai Harapan Kramat Tunggak malah berubah menjadi sarang baru bagi kegiatan prostitusi. Laman Jakarta Islamic Center mencatat, setidaknya terdapat 300 orang WTS dengan 76 orang germo atau muncikari di awal pembukaan lokalisasi pada tahun 1970-an.

Seiring berjalannya waktu, angka tersebut kian hari kian bertambah. Dari Jakarta Islamic Center, disebutkan bahwa menjelang penutupan lokalisasi Kramat Tunggak pada tahun 1999, ada 1.615 orang WTS di bawah asuhan 258 orang germo yang menempati 3.546 kamar di 277 unit bangunan. Namun, Kompas melaporkan bahwa pada tahun 1990-an, lokalisasi Kramat Tunggak dihuni oleh lebih dari 2.000 orang WTS dengan pengawasan 258 muncikari beserta 700 orang pembantu pengasuh, 800 pedagang asongan, dan 155 orang tukang ojek.

Terlepas dari jumlah pastinya, kawasan tersebut telah menimbulkan masalah baru bagi masyarakat yang tinggal di daerah sekitarnya. Keberadaan PKSW Teratai Harapan Kramat Tunggak pun juga merusak citra Kota Jakarta. Bahkan, Kramat Tunggak sempat dikenal sebagai lokalisasi (tempat prostitusi) terbesar di Asia Tenggara pada 1970–1999. Akibatnya, masyarakat sekitar mendesak pemerintah agar segera menutup lokalisasi tersebut.

4. Sutiyoso dan akhir prostitusi di Kramat Tunggak

Jakarta Islamic Center (instagram.com/islamicjic)

Penutupan lokalisasi Kramat Tunggak diinisiasi oleh gubernur setelah Ali Sadikin, yaitu Sutiyoso. Dirinya tak langsung menutup lokasi yang seharusnya menjadi tempat binaan WTS tersebut, melainkan ia membentuk sebuah tim.

Tim tersebut bertugas untuk membuat rekayasa sosial di wilayah Kramat Tunggak, seperti apa dampak pembongkaran lokalisasi terhadap para pekerja seks, muncikari, hingga masyarakat yang menggantungkan hidup dengan keberadaan tempat tersebut. Di samping melakukan pemetaan rekayasa sosial, pihak Sutiyoso juga

  • memberikan tawaran uang ganti rugi kepada para muncikari;
  • mendampingi para pekerja seks hingga lima tahun lamanya; dan
  • memfasilitasi WTS untuk mengikuti berbagai macam kegiatan, mulai dari kursus memasak, menjahit, hingga tata boga.

Akhirnya, PKSW Teratai Harapan Kramat Tunggak—yang sempat dijuluki sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara—resmi ditutup pada 31 Desember 1999 melalui SK Gubernur KDKI Jakarta No. 6485/1998. Setelah berhasil ditutup, pemda Provinsi DKI Jakarta pun melakukan pembebasan lahan bekas lokalisasi Kramat Tunggak.

Baca Juga: Kubahnya Terbakar, Masjid Jakarta Islamic Center Segera Diperbaiki

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya