TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Ibarat Ukur Kemampuan Ikan dan Tupai Dengan Tes Panjat Pohon, Apa Ujian Nasional itu Adil?

Setiap orang punya potensi yang berbeda-beda

solopos.com

Masih jelas teringat di benak saya, bertahun yang lalu, menjelang ujian nasional SMA, rasanya saya khawatir sekali sampai sering terbangun di malam hari. Matematika adalah momok yang menghantui saya selama berbulan-bulan sebelum ujian. Saya takut tidak lulus ujian Matematika, meskipun di mata pelajaran lainnya saya yakin saya bisa.

Sastra Indonesia dan antropologi, dua mata pelajaran lain yang diujikan di ujian nasional untuk jurusan Bahasa, bisa saya lahap dengan mudah.

Tetapi entah mengapa, di hari setelah ujian Matematika, saya pulang ke rumah dengan tatapan dan kepala kosong. Yang saya pikirkan cuma satu, "Gimana kalau aku gak lulus Matematika?"

Ibarat mengukur kemampuan ikan dan tupai dengan tes memanjat pohon. Sistem pendidikan kita kadang justru menenggelamkan bakat kita sebenarnya, adilkah?

designerpics.com

Saya gak sendiri. Ribuan pelajar se-Indonesia hingga hari ini menanggung momok yang sama. "Aku jago kok di pelajaran kesenian, tapi aku gak bisa matematika," atau "Aku anak olimpiade Biologi, tapi aku gak begitu mampu di bidang Sosiologi." Akhirnya rasa minder dan ketakutan muncul karena satu kata: standarisasi.

Manusia diciptakan dengan kemampuan dan ketertarikan yang berbeda-beda. Memang, bisa aja sih kita yang tak tertarik biologi dipaksa untuk bisa menyukai biologi atau sebaliknya, mereka yang lebih suka sains daripada bidang humaniora, dipaksa untuk memahami hal yang tak disukainya. Tetapi apakah 'pemaksaan' adalah tujuan dari pendidikan yang selama ini kita enyam bertahun-tahun di bangku sekolah?

Baca Juga: 11 Sistem Pendidikan di Tiongkok yang Bikin Mereka Maju Pesat Seperti Sekarang!

Banyak pihak yang menuntut agar Ujian Nasional dihentikan. Ujian Nasional mendorong guru dan murid belajar hanya untuk tujuan lulus ujian.

solopos.com

Ujian Nasional dianggap sekedar memberikan standarisasi yang sifatnya 'pukul rata' tanpa memperhitungkan keberagaman kemampuan murid satu sama lain. Standarisasi ini kurang bisa menggambarkan perkembangan kemampuan siswa yang berbeda-beda, baik dari sisi internal siswanya ataupun dari infrastruktur sekolah yang berbeda-beda.

Lantas, apakah si A yang gak lulus Ujian Nasional Biologi lebih bodoh daripada yang lainnya? Tentu saja kita tak bisa serta-merta menempelkan label 'bodoh' ke siswa-siswi yang tidak lulus ini. Karena toh kita semua tahu, sistem pendidikan yang menggeneralisir kemampuan siswanya melalui ujian yang dilakukan hanya dalam hitungan hari, tidak dapat mewakili ukuran kemampuan seseorang.

Ibaratnya, sistem pendidikan yang menyamaratakan semua kemampuan murid sekolah adalah mengukur kemampuan ikan dan tupai dengan tes memanjat pohon. Ikan dan tupai punya kemampuan yang berbeda-beda, diciptakan dengan keunikannya masing-masing. Apakah tes memanjat pohon yang lebih menguntungkan tupai, adil bagi ikan? Lalu, apakah ikan yang jago berenang dengan habitat di air, lebih bodoh daripada tupai?

Sudah saatnya Indonesia menjadi 'besar' dengan menciptakan banyak ahli sesuai kapasitasnya.

startupstockphotos.com

Di Indonesia, banyak orang pintar. Termasuk kamu yang membaca tulisan ini. Jika Indonesia mau menjadi bangsa yang besar, sudah waktunya menciptakan banyak ahli sesuai kapasitasnya. Tak hanya menilai berdasarkan standar nilai 10 hingga 100, melalui satu-dua mata pelajaran yang diujikan dan dijadikan standar.

Mengenal banyak subyek mata pelajaran memang baik supaya wawasan berkembang. Tetapi tak seharusnya ujian nasional secara teoritis menjadi parameter. Apalagi jika yang menentukan lulus atau tidaknya Ujian Nasional seseorang bukan dari penilaian menyeluruh guru, melainkan sekedar jawaban bulatan hitam yang discan melalui komputer.

Baca Juga: 23 Hal yang Bikin Sistem Pendidikan di Finlandia Maju Pesat Dibandingkan Indonesia

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya