ilustrasi buku (Pexels.com/ready made)
Buku juga bisa dilihat sebagai warisan. Ada ilmu, wawasan budaya, bahkan ingatan kolektif di dalamnya. Buku-buku lawas kerap mengingatkan kita pada peristiwa kelam yang pernah terjadi pada masa lalu. Misalnya, bahaya patriarki, perang, dan pemerintah diktator, dan lain sebagainya. Ini artinya membaca adalah salah satu jalan merawat ingatan kolektif dan menjadikannya pelajaran mahal.
Contoh terbaik adalah kasus pemakzulan Yoon Suk Yeol yang dipicu keputusannya mengeluarkan dekrit darurat militer di Korea Selatan. Ini langsung memicu gelombang penolakan besar dari berbagai elemen masyarakat di negeri itu dan berakibat pada dicabutnya status Yoon sebagai presiden serta berlanjut pada proses peradilan. Penolakan ini cukup wajar mengingat warga Korsel punya trauma mendalam soal keterlibatan militer dalam pemerintah dan pembatasan demokrasi karena tragedi Gwangju 1980. Peristiwa itu terus diulang dalam berbagai produk budaya, termasuk buku laris Han Kang yang berjudul Human Acts.
Novel dan buku yang mengambil referensi Perang Dunia II, Perang Dingin, kolonialisme, sampai krisis moneter juga bertebaran di luar sana sebagai pengingat kalau kita pernah berada pada masa-masa gelap. Seperti novel The Hunger Games yang sampai sekarang sering dipakai sebagai rujukan untuk menyampaikan pesan-pesan antipenjajahan, antikapitalisme, dan kemerdekaan. Harapannya, kamu bisa seperti warga Korsel yang secara kolektif berhasil menggagalkan sejarah pahit terulang lagi.
Penjelasan di atas menjadi bukti bahwa aktivitas membaca adalah melawan. Secara tidak langsung, kegiatan tersebut memiliki manfaat yakni melawan lupa, melawan propaganda dan pernyataan yang menyesatkan, serta melawan kebodohan. .