Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Jangan Asal Labeling Anak! Pahami, Hentikan, dan Sembuhkan

ilustrasi anak tidak suka dengan labeling yang diberikan (pexels.com/RDNE Stock project)
ilustrasi anak tidak suka dengan labeling yang diberikan (pexels.com/RDNE Stock project)
Intinya sih...
  • Label yang melekat membentuk identitas diri.
  • Pelabelan memengaruhi perlakuan dan ekspektasi lingkungan.
  • Pelabelan menghambat potensi dan kreativitas anak.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pernahkah kamu dipanggil dengan sebutan yang melekat bertahun-tahun, bahkan hingga dewasa? “Cerewet”, “pemalas”, “nakal”, atau “anak baik” sekalipun. Kata-kata itu sederhana, tapi dampaknya bisa luar biasa. Banyak dari kita tumbuh dengan membawa label-label yang pernah diberikan oleh orangtua, guru, bahkan teman sendiri. Label yang mungkin terdengar sepele bagi orang dewasa, namun menjadi cermin yang membentuk bagaimana seorang anak melihat dirinya sendiri.

Label adalah seperti cap tak terlihat yang menempel di dahi anak-anak. Dan sering kali, mereka tidak punya alat untuk melepasnya. Anak-anak membawa kata-kata itu sampai mereka besar, membentuk cara berpikir, membatasi impian, dan memengaruhi jalan hidup mereka. Maka, penting bagi kita untuk memahami apa itu pelabelan, betapa serius dampaknya, bagaimana menghentikannya, dan apa yang bisa kita lakukan untuk menyembuhkan luka yang sudah terlanjur terbentuk.

1. Apa itu labeling pada anak?

ilustrasi memberikan label pada anak (pexels.com/Monstera Production)
ilustrasi memberikan label pada anak (pexels.com/Monstera Production)

Labeling atau pelabelan adalah tindakan memberi cap atau sebutan tertentu pada anak berdasarkan perilaku, sifat, penampilan, atau kebiasaan mereka. Ini bisa terjadi secara sadar atau tanpa sadar. Contoh sederhana, “Dia pemalu.” “Dia keras kepala.” “Dia kutu buku.” “Dia biang onar.” Bahkan label yang terdengar positif seperti “anak pintar” atau “anak rajin” tetaplah bentuk pelabelan.

Label sering kali datang dari keinginan untuk menjelaskan atau menggambarkan anak. Tapi sayangnya, label bisa jadi jebakan. Ia menyederhanakan kompleksitas anak menjadi satu kata atau karakteristik saja. Padahal anak adalah makhluk yang terus tumbuh dan berubah. Hari ini dia pendiam, besok dia bisa lebih aktif. Hari ini dia sulit diatur, besok bisa menjadi sosok paling peduli di kelasnya.

Teori labeling yang dikembangkan oleh sosiolog Howard Becker menjelaskan bahwa ketika seseorang diberi label, ia akan cenderung bertindak sesuai dengan label itu. Maka tidak heran jika anak yang terus-menerus disebut “nakal” akan benar-benar merasa dirinya memang seperti itu dan berperilaku demikian.

2. Dampak buruk pelabelan pada anak

ilustrasi anak sedih dengan labeling yang diberikan (freepik.com)
ilustrasi anak sedih dengan labeling yang diberikan (freepik.com)

a. Membentuk identitas diri yang salah
Anak-anak belajar mengenal diri mereka dari bagaimana orang dewasa memperlakukan dan menyebut mereka. Label seperti “pemalas” atau “penakut” akan menjadi bagian dari cara anak memandang dirinya sendiri. Lama-kelamaan, mereka percaya bahwa itu adalah bagian dari diri mereka yang tidak bisa diubah.

b. Mempengaruhi perlakuan orang lain terhadap anak
Ketika seorang anak mendapat label, maka ekspektasi lingkungan pun ikut berubah. Seorang anak yang diberi label “bermasalah” mungkin tidak lagi mendapatkan empati, padahal ia butuh bimbingan. Anak yang dilabeli “cerdas” bisa merasa tertekan untuk selalu tampil sempurna, tanpa ruang untuk gagal.

c. Menghambat potensi dan kreativitas
Label, bahkan yang terdengar positif, bisa membatasi ruang eksplorasi anak. Anak yang disebut “atletis” mungkin merasa tidak cocok untuk mengejar dunia seni. Anak yang disebut “pemalu” bisa merasa tidak pantas untuk berbicara di depan umum. Label mengkotak-kotakkan anak dan membuat mereka takut keluar dari zona yang sudah ditetapkan orang lain.

3. Bagaimana cara berhenti memberi label pada anak?

ilustrasi ibu memeluk anak (pexels.com/Arina Krasnikova)
ilustrasi ibu memeluk anak (pexels.com/Arina Krasnikova)

a. Ubah cara kita menggambarkan anak
Alih-alih berkata “kamu pemalu,” katakanlah, “kamu butuh waktu untuk merasa nyaman di lingkungan baru.” Ubah label menjadi deskripsi perilaku yang spesifik dan bisa berubah. Ini membantu anak memahami dirinya tanpa merasa dikotakkan.

b. Hindari mengenalkan anak dengan label
Saat memperkenalkan anak pada orang lain, hindari menyisipkan label. Contoh, “Ini anak saya, si kutu buku.” Gantilah dengan, “Ini anak saya, dia suka membaca.” Biarkan anak mendefinisikan dirinya sendiri.

c. Waspadai pikiran sendiri
Kadang kita tak menyebutkan label secara langsung, tapi menyimpannya dalam pikiran. Saat kita sudah percaya bahwa anak "malas", kita cenderung hanya melihat sisi malasnya dan mengabaikan saat mereka rajin. Biasakan untuk melihat anak dari banyak sisi, bukan hanya dari satu sifat atau perilaku saja.

4. Menyembuhkan anak dari luka akibat pelabelan

ilustrasi ibu memeluk putrinya (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi ibu memeluk putrinya (pexels.com/cottonbro studio)

a. Validasi dan afirmasi ulang citra diri anak
Jika anak sudah membawa label dari masa lalu, bantu mereka melepaskannya dengan kata-kata yang memulihkan. Contoh, “Dulu mungkin Ibu sering bilang kamu malas, tapi Ibu tahu sekarang kamu punya semangat besar. Maaf ya, Ibu salah.” Afirmasi seperti ini bisa menjadi momen untuk merubah citra diri anak.

b. Bantu anak melihat sisi lain dirinya
Anak yang merasa dirinya “keras kepala” bisa diajak memahami bahwa sifat itu juga berarti punya ketegasan dan daya juang. Tunjukkan bahwa karakter manusia punya dua sisi, dan setiap sisi bisa diarahkan ke hal yang baik.

c. Gunakan bahasa yang memberdayakan
Kata-kata seperti “kamu sedang belajar untuk…” lebih baik dari “kamu belum bisa”. Misalnya, “Kamu sedang belajar sabar, ya” menggantikan “Kamu gak pernah sabaran.” Bahasa membentuk realitas anak. Pilih kata yang membuka harapan, bukan mengunci potensi.

d. Bersabar dalam Proses Pemulihan
Luka akibat label tidak sembuh dalam sehari. Anak mungkin perlu waktu lama untuk percaya bahwa mereka bukan seperti yang dikatakan orang dulu. Tapi ketika kita hadir secara konsisten, menjadi saksi dari pertumbuhan mereka, mereka akan belajar mendefinisikan dirinya dengan cara yang lebih baik.

Yuk, mulai memilih kata-kata yang membangun, bukan menjatuhkan. Anak-anak butuh ruang untuk berkembang, bukan kotak-kotak label yang mengurung mereka.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Sani Eunoia
EditorSani Eunoia
Follow Us