Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi siswa SMP (unsplash.com/Ed Us)
ilustrasi siswa SMP (unsplash.com/Ed Us)

Pendidikan Indonesia merupakan elemen penting yang menjadi fondasi hidup bangsa dan negara. Sayangnya, kualitas dan pemerataan pendidikan di Indonesia masih menjadi persoalan penting yang belum tuntas. Semakin banyak anak yang sekolah tidak bisa menjadi patokan bahwa mereka juga siap menghadapi tantangan setelah lulus.

Masalahnya bukan sekadar angka nilai ujian tetapi bagaimana sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia. Survei Indonesia Millennial and Gen Z Report 2026 oleh IDN Research Institute mengungkapkan bahwa hanya 25 persen saja siswa di Indonesia yang mencapai kecakapan membaca memadai. Mengapa bisa terjadi dan apa saja yang menjadi masalah pendidikan di Indonesia?

1. Kualitas dan pemerataan pendidikan di Indonesia belum konsisten

ilustrasi siswa SMA (unsplash.com/Ed Us)

Isu soal pendidikan menjadi hal krusial yang perlu mendapatkan atensi lebih dari pemerintah. Meskipun jumlah siswa masuk sekolah meningkat, bukan berarti kualitas pendidikan ikut meningkat. Sebaliknya, sistem pendidikan di Indonesia masih perlu perbaikan.

Pasalnya, hasil dari PISA 2022 menunjukkan bahwa 75 persen anak Indonesia berusia 15 tahun tidak memenuhi kecakapan minimum dalam membaca dan menghitung. Sementara 66 persen lainnya gagal dalam bidang sains, yang artinya sistem pendidikan di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan. Dari isu tersebut mencerminkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia dirancang berdasarkan keseragaman bukan keragaman peserta didik. 

Pendiri dari Yayasan Guru Belajar, Najeela Shihab, memandang bahwa akses pendidikan di Indonesia memang sudah berkembang pesat. Soal pendaftaran, ketersediaan sekolah, dan aspek-aspek digital lainnya semakin meningkat. Menurutnya hal-hal operasional itu saja tidak cukup untuk membuat sistem pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik.

“Terlalu banyak anak muda yang menyelesaikan sekolah dan melangkah ke dunia nyata tanpa persiapan sama sekali. Itu bukan karena mereka tidak berusaha keras atau kurang ambisi, melainkan karena sistem tidak memenuhi kebutuhan mereka saat ini,” kata Najeela Shihab dalam Indonesia Millenial and Gen Z Report 2026 by IDN Research Institute.

Najeela berpendapat bahwa ada banyak faktor yang membuat siswa tidak siap berhadapan langsung dengan masalah kompleks ketika selesai sekolah. Penyebabnya mereka mendapatkan pembelajaran yang terlalu kaku, terstandarisasi, dan terputus dari konteks dunia nyata. Daripada mendukung anak untuk aktif dan mampu berpikir kreatif, sistem pendidikan di Indonesia cenderung menonjolkan tentang kepatuhan dan bagaimana siswa harus lulus ujian.

2. Gen Z dan milenial punya kekhawatiran yang berbeda terkait pendidikan

ilustrasi siswa (pexels.com/Nasirun Khan)

Generasi milenial dan Z punya kekhawatiran yang berbeda tentang sistem pendidikan. Biasa disebut digital native, gen Z merasa apa yang mereka dapatkan selama di sekolah tidak selaras dengan apa yang ada di dunia kerja. Sementara bagi milenial, kekhawatiran mereka bukan tentang akses melainkan relevansi dan kemampuan beradaptasi dengan dunia kerja.

Kekhawatiran kedua generasi ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia kurang menyoroti bagaimana seseorang bisa memiliki keterampilan non teknis. Najeela Shihab berpandangan bahwa akhirnya yang menjadi pertanyaan bukan “Apakah siswa akan ke sekolah?” tetapi “ Apakah mereka benar-benar bisa dinilai dari kemampuan yang dimiliki?”.

Itulah mengapa Najeela merasa diperlukan reformasi pendidikan untuk mengembalikan kepercayaan dan memperjelas peran guru maupun siswa. Kabar baiknya, masih ada peluang besar untuk mengubah sistem pendidikan dari dalam.

Melihat fakta bahwa banyak guru berusia di bawah 40 tahun, artinya siswa zaman sekarang berkesempatan dipimpin oleh orang yang memahami tantangan maupun potensi generasi sekarang. Namun, profesi guru bukanlah pekerjaan yang mudah.

Najeela Shihab dalam IMGR 2026 mengatakan, “Namun, inilah kendalanya. Kita tidak dapat mengharapkan perubahan yang berarti jika kita terus mengisolasi dan membebani para guru muda ini.”

3. Hanya 25 persen siswa di Indonesia yang mencapai kemahiran dalam membaca

ilustrasi siswa (pexels.com/Thành Đỗ)

PISA 2022 menunjukkan 75 persen anak Indonesia tidak mencapai kecakapan minimum dalam membaca dan menghitung. Indonesia Milenial and Gen Z Report 2026 menyebut hanya ada 25 persen yang mencapai kemahiran dalam membaca dalam membaca dan menghitung. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi kesenjangan tersebut.

Indonesia memiliki keterbatasan akses terhadap sumber bacaan. Tidak banyak perpustakaan dan toko buku khususnya di luar daerah perkotaan. Kalau pun ada, sebagian besar toko buku atau perpustakaan punya jam operasional terbatas dengan koleksi buku yang usang.

Lalu, ada ketimpangan pendidikan. tidak semua siswa berkesempatan mengenyam pendidikan di sekolah yang fasilitasnya memadai dengan guru yang berkompetensi.

Meskipun termudahkan oleh teknologi, siswa zaman sekarang lebih sering menggunakan gadget untuk mencari hiburan daripada meningkatkan literasi membaca. Sebabnya, kemampuan literasi anak-anak di Indonesia kurang bagus.

Kendala ekonomi juga menjadi faktor penyebab rendahnya literasi anak-anak Indonesia. Tingginya harga buku tidak sebanding dengan pendapatan rumah tangga yang rendah. Hal ini membuat orangtua cenderung memprioritaskan kebutuhan rumah tangga daripada memfasilitasi anak dengan buku-buku bacaan.

4. Kemampuan literasi di Indonesia bisa meningkat didukung oleh beberapa upaya tertentu

Ilustrasi siswa belajar lewat internet (pexels.com/Agung Pandit Wiguna)

Maka dari itu, menanamkan kebiasaan membaca itu penting. Dengan membaca, anak-anak Indonesia akan lebih terbukakan oleh banyak hal baru yang lebih komprehensif. Pasalnya, apa yang kita baca belum tentu bisa kita temui dalam kehidupan sehari-hari.

UNESCO menyebut dengan membaca tiga buku atau lebih secara rutin bisa meningkatkan kemampuan literasi. Sudah ada beberapa negara yang mengembangkan berbagai fasilitas publik untuk meningkatkan literasi di negaranya, seperti membuat perpustakaan umum, mengembangkan produksi buku-buku dengan harga yang lebih terjangkau, serta menginisiasi program yang bisa menyebarkan semangat membaca.

5. Strategi untuk meningkatkan literasi di Indonesia

ilustrasi siswa upacara (unsplash.com/Syahrul Alamsyah Wahid)

Literasi yang kuat bukan soal kemampuan membaca saja tetapi pintu menuju potensi yang lebih tinggi. Anak-anak dengan kemampuan literasi yang baik cenderung lebih siap menghadapi tantangan. Maka diperlukan juga pendidikan yang berkualitas berupa fasilitas yang layak agar semua orang mendapatkan akses yang bisa meningkatkan kebiasaan membaca.

Supaya anak Indonesia bisa mencapai tingkat kecakapan yang baik, ada beberapa strategi yang bisa diterapkan baik di sekolah maupun ruang publik. Pertama, memperluas akses ke ruang baca seperti perpustakaan, pojok baca, komunitas. Hal ini juga perlu diterapkan di daerah pedesaan yang sumber dayanya terbatas.

Kedua, menjadikan buku lebih terjangkau. Bukan hanya secara harga tapi juga aksesibilitasnya. Perlu banyak kerjasama dengan penerbit maupun sektor swasta untuk menurunkan harga buku. Selain itu, peminjaman buku secara digital juga perlu ditingkatkan.

Peluncuran kampanye yang menjelaskan kalau membaca itu menyenangkan. Didukung juga dengan pemanfaatan gadget untuk e-book, audio book, atau cerita-cerita interaktif agar membaca menjadi kegiatan yang menarik.

Selain itu juga perlu ada buku-buku dalam bahasa daerah supaya anak muda lebih terkoneksi dengan budayanya. Kalau ingin mencerdaskan anak bangsa, maka membaca bisa dijadikan kebiasaan di seluruh lapisan masyarakat.

IDN menggelar Indonesia Summit 2025, sebuah konferensi independen yang khusus diselenggarakan untuk dan melibatkan generasi Milenial dan Gen Z di Tanah Air. Dengan tema "Theme: Thriving Beyond Turbulence Celebrating Indonesia's 80 years of purpose, progress, and possibility". IS 2025 bertujuan membentuk dan membangun masa depan Indonesia dengan menyatukan para pemimpin dan tokoh nasional dari seluruh nusantara.

IS 2025 diadakan pada 27 - 28 Agustus 2025 di Tribrata Dharmawangsa, Jakarta. Dalam IS 2025, IDN juga meluncurkan Indonesia Millennial and Gen-Z Report 2026.

Survei ini dikerjakan oleh IDN Research Institute. Melalui survei ini, IDN Media menggali aspirasi dan DNA Milenial dan Gen Z, apa nilai-nilai yang mendasari tindakan mereka. Survei dilakukan pada Februari sampai April 2025 dengan studi metode campuran yang melibatkan 1.500 responden, dibagi rata antara Milenial dan Gen Z.

Survei ini menjangkau responden di 12 kota besar di Indonesia, antara lain Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Palembang, Solo, Banjarmasin, Balikpapan, dan Makassar.

Editorial Team