Infografis: Perempuan dalam Pendidikan, Sudahkah Setara dan Berdaya? (IDN Times/Mardya Shakti)
Pendidikan di Indonesia terus berupaya untuk berevolusi menuju masa depan yang lebih cerah. Berbagai upaya untuk menjangkau seluruh segmen masyarakat kian nyata. Meski demikian, realitas di lapangan tak sepenuhnya menganggap kuantitas ini berjalan lurus dengan peningkatan dan kesetaraan mutu pendidikan, terutama bagi perempuan.
Menurut hasil survei yang berhasil dihimpun oleh IDN Times, lebih dari separuh responden perempuan mengaku tak lagi mengalami hambatan untuk meraih pendidikan (53,3 persen). Sayangnya, angka ini terbilang tipis dengan para perempuan yang merasa masih menghadapi hambatan terkait pendidikan (46,7 persen).
Hal tersebut diamini oleh Rinanda Aprillya Maharani, Puteri Indonesia Pendidikan 2025. Selama mengemban tanggung jawab sebagai Puteri Indonesia Pendidikan 2025, Rinanda membawa program penguatan literasi lewat Pojok Baca yang dihadirkan di TBM Kebun Squad Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur dan dilanjutkan di SDN Teluk Alulu di Maratua, Berau, Kalimantan Timur. Jauh sebelum itu, tepatnya pada 2018, Rinanda bersama komunitasnya yang menggaungkan Sustainability for Future Beauty mendatangi wilayah-wilayah pedalaman di Kalimantan Utara.
Ia menemukan bahwa masyarakat adat masih tak terpengaruh dunia luar. Banyak sekali masyarakat yang masih memegang erat tradisi dan budaya leluhur, salah satunya adalah perempuan tidak diperbolehkan keluar rumah (termasuk mengenyam pendidikan). Di situ, Rinanda dan komunitasnya berusaha memberikan pembelajaran pola pikir dasar lewat aspek-aspek yang dekat dengan keseharian mereka. Mulai dari tourism, pariwisata, hingga potensi lingkungan yang dijadikan sebagai media pembelajaran.
Sejauh ini, dari pengalamannya di dunia pendidikan, ia mengakui masih ada tantangan dalam perjuangan pendidikan perempuan. Utamanya adalah terkait kesempatan dan peluang bagi mereka.
“Perempuan itu sekarang tantangannya adalah lack of opportunity. Jadi, mereka tuh kekurangan kesempatan sebenarnya. Terus, kenapa sih mereka kekurangan kesempatan? Yang pertama itu karena stigma. Biasanya, banyak orang-orang yang masih melakukan segmentasi terhadap pekerjaan atau pendidikan tertentu. Kayak misal, ‘Oh, teknik tuh cowok aja,’ gitu," ujar Rinanda.
Namun, Rinanda tak sepenuhnya pesimis akan realitas gender saat ini. Baginya, telah ada perkembangan positif yang berhubungan dengan peluang untuk perempuan di berbagai ranah. Sebab, kemajuan terhadap kesetaraan pendidikan perempuan membutuhkan usaha kolektif dari berbagai pihak.
“Tapi sebenarnya kalau dikilas balik lagi, sampai dengan hari ini, menurut aku tuh udah ada perkembangan. Walaupun kita gak bisa bilang udah hilang sepenuhnya, stigma itu patah sepenuhnya, tapi setidaknya itu berkembang perlahan demi perlahan gitu,” tambahnya.
Dari kacamata seorang Puteri Indonesia Pendidikan 2025, kita beralih ke sudut pandang responden survei. Responden bernama Holida, menilai Indonesia telah memasuki kesetaraan pendidikan bagi perempuan. Menurutnya, banyak perempuan menduduki posisi strategis, yang artinya kesempatan semakin terbuka. Perempuan yang berdomisili di Pulau Jawa ini berpendapat, kesetaraan akan membangun kepercayaan diri, kemandirian dan kemampuan berpikir kritis.
“Jadi, kesetaraan bukan hanya soal perempuan bisa sekolah, tetapi juga soal kualitas pembelajaran yang mereka terima, tidak ada perbedaan dalam perlakuan. Selain itu, lingkungan belajar yang aman dan suportif akan membantu perempuan berkembang secara maksimal,” tulisnya.
Pandangan tersebut sejalan dengan persepsi responden bernama Ema Afriyani. Perempuan yang termasuk dalam kelompok usia Gen Z ini, menilai kesetaraan pendidikan bagi perempuan telah menunjukkan perkembangan positif meski masih menghadapi berbagai tantangan. Kesempatan untuk bersekolah semakin terbuka, namun belum sepenuhnya menyentuh ke pelosok negeri.
Ia berpendapat pendidikan dapat meningkatkan kualitas hidup dan menciptakan kesetaraan gender. Namun, Ema menyayangkan hal ini belum sepenuhnya tercapai. “Di beberapa daerah, terutama di wilayah terpencil, masih terdapat kesenjangan akibat faktor ekonomi, budaya, dan sosial yang membatasi akses perempuan terhadap pendidikan. Agar kesetaraan pendidikan bagi perempuan semakin meluas lagi di Indonesia, oleh karena itu, diperlukan upaya berkelanjutan dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, dan keluarga untuk memastikan bahwa setiap perempuan memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan,” kata Ema.
Sejalan dengan hasil survei IDN Times, ditemukan faktor utama penghambat kemajuan pendidikan bagi perempuan adalah biaya (38,6 persen). Selain faktor ekonomi, kendala waktu (4,3 persen) dan rendahnya dukungan dari keluarga (3,4 persen) juga berkontribusi terhadap rendahnya capaian pendidikan perempuan.
Selma Amalia adalah salah satu informan yang menguatkan data tersebut. Perempuan yang telah menyelesaikan pendidikan di jenjang SMK ini, mengaku mengalami kendala untuk melanjutkan pendidikan karena faktor finansial. Ia tengah berjuang mendapatkan beasiswa untuk bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi.
Selma berbagi pengalaman serta pandangannya, “Aku bersyukur orangtua mendukung aku untuk menunda (kuliah), untuk mematangkan persiapan, dan cari peluang beasiswa untuk kuliah. Walau waktu kemarin sempat diterima di PTN dan mengundurkan diri karena tidak mampu secara biaya.”
Selma tidaklah sendiri. Shintya Permaeswari, responden perempuan yang berdomisili di Pulau Jawa, juga mengaku mengalami kendala finansial. Biaya kuliah digunakan untuk hal lain. Untuk sementara, impiannya melanjutkan pendidikan tertunda karena keterbatasan biaya.
Shintya optimis untuk bisa menempuh pendidikan lanjut. Menurutnya, “Justru orangtua mendukung, namun karena perekonomian dan terbatasnya beasiswa yang disediakan, jadi saya terpaksa untuk menunda rencana pendidikan perkuliahan.”
Nurcahaya Sihombing, responden perempuan lainnya yang berdomisili di pulau Jawa ini, juga melihat hambatan struktural dan kultural bagi perempuan masih kerap dihadapi. Menurutnya, keterbatasan akses dan konstruksi sosial-budaya menempatkan perempuan sebagai pihak sekunder dalam pengambilan keputusan pendidikan.
“Dalam banyak keluarga berpenghasilan menengah ke bawah, pendidikan masih diprioritaskan bagi laki-laki dengan alasan bahwa perempuan akan berperan di ranah domestik setelah menikah. Akibatnya, perempuan kerap kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan, baik karena faktor ekonomi maupun tuntutan sosial untuk mengurus anak dan keluarga,” Nurcahaya berbagi pandangannya.
Sudah bukan menjadi rahasia bila ketimpangan di bidang pendidikan dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Anak-anak dari keluarga berpendapatan rendah memiliki pilihan yang lebih terbatas terkait pendidikan. Sementara dengan kemampuan yang sama, anak-anak dari keluarga berpenghasilan tinggi memiliki kesempatan dan pilihan yang lebih luas. Akibatnya, kesenjangan semakin melebar.
Data dari Kemendikdasmen (Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah) menyebutkan, 3,9 juta anak tidak bersekolah pada tahun 2025. Penyebabnya tak lain adalah terkait biaya (25 persen). Temuan tersebut memperkuat realitas pendidikan di mana masyarakat yang mampu secara ekonomi, umumnya mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang berasal dari keluarga tidak mampu.
Untuk membentuk manusia yang utuh, Inja berpendapat bahwa pendidikan tak boleh di-limitasi pada sekolah formal. Pendidikan vokasi dinilai dapat membantu lebih banyak individu untuk mencapai kemampuan terbaiknya, terutama bagi pelajar di daerah.
“Sekolah-sekolah vokasi membantu mereka mempersiapkan diri dengan skill yang mumpuni dan teruji langsung di lapangan. Jika keterbatasan ekonomi menjadi penghalang, maka sekolah vokasi atau training-training yang diberikan oleh pemerintah dalam taraf yang bisa sampai ke daerah-daerah itu sangat membantu,” ujarnya.