Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi organisasi mahasiswa (freepik.com/pressfoto)
ilustrasi organisasi mahasiswa (freepik.com/pressfoto)

Intinya sih...

  • Aktif bukan berarti sibuk terus

  • Pamer jabatan tanpa tanggung jawab

  • Jangan sampai organisasi mengorbankan kuliah

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Menjadi mahasiswa itu bukan cuma soal kuliah, tugas, dan ujian. Banyak yang bilang masa kuliah adalah waktu terbaik buat eksplorasi diri, dan salah satu jalannya adalah lewat organisasi. Namun, sayangnya, gak sedikit mahasiswa yang terjebak dalam pemaknaan yang keliru soal apa itu “aktif organisasi.” Padahal, ikut organisasi seharusnya jadi wadah buat tumbuh, bukan sekadar pamer kesibukan.

Banyak yang bangga ngaku “aktif di organisasi” tanpa benar-benar paham makna dan dampaknya. Bukan berarti harus jadi ketua tiap periode atau selalu tampil di setiap rapat, tapi soal bagaimana kontribusi yang diberikan benar-benar bermakna. Di balik atribut dan kepanitiaan yang numpuk, ada kesalahan-kesalahan yang sering kejadian, tapi jarang disadari. Ini dia beberapa kesalahan umum mahasiswa dalam memaknai “aktif organisasi” yang perlu banget diperhatikan.

1. Aktif = sibuk terus

ilustrasi organisasi mahasiswa (freepik.com/pressfoto)

Salah satu kesalahan paling sering terjadi adalah menganggap bahwa semakin sibuk berarti semakin aktif. Banyak mahasiswa yang jadwalnya penuh dari pagi sampai malam, dari satu rapat ke rapat lain, tanpa tahu sebenarnya apa yang dikerjakan. Padahal, sibuk bukan jaminan kontribusi. Kadang malah justru jadi toxic productivity, sibuk tapi gak efektif.

Aktif dalam organisasi seharusnya bukan soal banyaknya waktu yang dipakai, tapi seberapa dalam keterlibatan dan dampaknya buat tim. Ada yang cuma datang buat absen, ada juga yang datang tapi gak ngerti arah diskusi. Kalau cuma hadir secara fisik tapi kosong secara peran, itu bukan aktif, itu cuma formalitas. Jangan sampai waktu habis tapi kontribusi minim.

2. Pamer jabatan, lupa tanggung jawab

ilustrasi organisasi mahasiswa (freepik.com/freepik)

Punya jabatan emang bikin CV jadi lebih cakep, tapi kadang ada yang kebablasan jadinya cuma cari gelar. Mahasiswa sering merasa “aktif” karena punya posisi penting, tapi lupa kalau jabatan itu ada tanggung jawabnya. Gak sedikit yang duduk di posisi strategis tapi kerjaan gak beres, bahkan gak ngerti fungsi jabatannya sendiri.

“Title hunter” ini biasanya semangat waktu awal dilantik, tapi melempem pas mulai kerja. Ujung-ujungnya tim jadi keteteran, proyek molor, dan kerja tim jadi gak sehat. Aktif itu bukan soal nama tercantum di struktur, tapi bagaimana posisi itu dijalankan. Lebih baik gak punya jabatan tapi kontribusi nyata, daripada duduk di atas tapi kosong tindakan.

3. Terlalu fokus ke organisasi, lupa kuliah

ilustrasi organisasi mahasiswa (freepik.com/drobotdean)

Ini juga sering kejadian: terlalu semangat ikut organisasi sampai nilai kuliah jadi korban. Mahasiswa yang “aktif banget” kadang lupa kalau status utamanya tetap mahasiswa. Ketika organisasi mulai menggerus waktu belajar, tugas molor, nilai jeblok, itu tanda ada yang salah. Aktif boleh, tapi harus tahu batas.

Organisasi memang tempat belajar yang luar biasa, tapi jangan sampai jadi alasan buat gagal akademik. Kalau semua rapat diikuti tapi skripsi gak jalan, itu bukan prestasi. Aktif seharusnya jadi sarana buat mendukung, bukan menggeser prioritas utama. Pinter-pinter ngatur waktu, jangan sampai idealisme malah jadi bumerang.

4. Gak bisa bedain profesional dan pergaulan

ilustrasi organisasi mahasiswa (freepik.com/freepik)

Organisasi sering bikin kita dekat sama banyak orang, bahkan jadi tempat ketemu sahabat atau partner hidup. Tapi kadang, keakraban itu bikin batas profesional jadi kabur. Banyak konflik muncul karena bawa-bawa perasaan, atau sebaliknya, kerjaan jadi gak maksimal karena terlalu nyaman. Di titik ini, kesalahan memaknai aktif mulai terasa dampaknya.

Aktif di organisasi harusnya ngajarin cara kerja tim yang sehat, bukan ajang drama. Ketika semua keputusan didasari hubungan personal, objektivitas hilang dan suasana kerja jadi gak kondusif. Harus bisa bedain kapan waktunya bercanda, kapan waktunya serius. Relasi sosial penting, tapi etika kerja lebih penting.

5. Gak pernah refleksi diri

ilustrasi organisasi mahasiswa (freepik.com/pressfoto)

Terakhir, kesalahan yang paling sering luput: gak pernah evaluasi diri selama aktif berorganisasi. Banyak yang jalan terus, daftar panitia demi panitia, tapi gak pernah berpikir, “Apa yang udah aku pelajari?” atau “Kontribusi aku beneran kerasa gak, ya?” Tanpa refleksi, semua aktivitas cuma jadi rutinitas tanpa makna.

Aktif seharusnya bikin tumbuh, bukan cuma sibuk tanpa arah. Refleksi penting biar bisa tahu apa yang perlu diperbaiki, biar kontribusi ke depan lebih berkualitas. Jangan cuma bangga jadi “anak organisasi,” tapi gak pernah naik level dari sisi personal dan profesional. Karena esensi aktif itu bukan kuantitas, tapi kualitas.

Menjadi aktif di organisasi memang penting, tapi jangan sampai termakan definisi yang sempit. Kesibukan, jabatan, dan banyaknya agenda bukan tolok ukur utama keberhasilan berorganisasi. Kontribusi yang bermakna dan seimbang dengan peran sebagai mahasiswa.

Mulai sekarang, coba lihat lagi, selama ini aktif beneran aktif, atau cuma keliatan sibuk? Jangan sampai terjebak dalam euforia “anak organisasi” tanpa ada pertumbuhan nyata. Lebih baik pelan tapi berdampak, daripada ramai tapi kosong.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorAgsa Tian