Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Bentuk Disrespectful Urgency yang Terjadi di Perkuliahan

ilustrasi perkuliahan (pexels.com/Stanley Morales)
ilustrasi perkuliahan (pexels.com/Stanley Morales)
Intinya sih...
  • Dosen memberikan tugas dengan deadline mendesak, tanpa mempertimbangkan beban kerja mahasiswa dan kehidupan di luar kampus.
  • Satu kelompok dengan anggota yang gak aktif dapat menghambat proses belajar anggota lain dan merusak dinamika kelompok.
  • Mahasiswa yang menghubungi dosen di luar jam kerja dianggap sebagai disrespectful urgency yang tidak menghargai waktu dan batasan profesional dosen.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Punya ambisi tinggi dalam perkuliahan adalah hal yang wajar, bahkan dianjurkan. Tapi terkadang, semangat tersebut justru berubah menjadi sesuatu yang merugikan. Disebut dengan disrespectful urgency.

Fenomena ini terjadi dari dorongan untuk segera menyelesaikan tugas atau meraih pencapaian yang malah mengabaikan batasan, kebutuhan, dan hak-hak orang lain. Disrespectful urgency ini gak hanya dilakukan oleh sesama mahasiswa, bisa juga muncul dari dosen hingga staf kampus dalam interaksi mereka dengan mahasiswa.

Dalam artikel ini, kita akan membahas lima bentuk disrespectful urgency yang sering muncul di lingkungan perkuliahan. Biar kamu dapat lebih waspada dan turut menciptakan suasana perkuliahan yang lebih nyaman dan menguntungkan bagi semua pihak.

1. Dosen memberikan tugas dengan deadline mendesak

ilustrasi mahasiswa yang stres karena tugas (pexels.com/Ron Lach)
ilustrasi mahasiswa yang stres karena tugas (pexels.com/Ron Lach)

Memberikan tugas dengan deadline yang sangat mendesak oleh dosen, jika terjadi secara berulang atau tanpa alasan yang jelas dapat dikategorikan sebagai disrespectful urgency. Deadline mendesak yang diberikan satu dosen seringkali nggak mempertimbangkan beban kerja keseluruhan mahasiswa, seolah-olah mata kuliahnya adalah satu-satunya prioritas.

Padahal, mahasiswa memiliki beberapa mata kuliah yang berjalan bersamaan. Berarti mereka juga mengerjakan tugas dan ujian dari mata kuliah lain. Mahasiswa pun memiliki kehidupan di luar kampus, termasuk kegiatan komunitas, pekerjaan part-time, atau tanggung jawab pribadi.

Ini bukan cuma soal ketidaknyamanan, tapi bisa juga jadi dampak buruk bagi pengalaman belajar mahasiswa. Ketika waktu pengerjaan tugas sangat terbatas, mahasiswa cenderung fokus pada penyelesaian tugas daripada benar-benar memahami materi atau melakukan penelitian yang mendalam.

Tekanan untuk menyelesaikan tugas dalam waktu singkat bisa memicu stres dan kecemasan. Jika mahasiswa merasa dosen nggak menghargai waktu dan upaya mereka, kepercayaan terhadap dosen dan motivasi untuk belajar pun bisa menurun.

2. Satu kelompok dengan anggota yang gak aktif

ilustrasi mengerjakan tugas kelompok (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi mengerjakan tugas kelompok (pexels.com/cottonbro studio)

Dalam konteks perkuliahan, memiliki anggota kelompok yang gak aktif sering kali dianggap sebagai bentuk disrespecful urgency. Perilaku gak aktif tersebut secara nggak langsung menunjukkan kurangnya rasa hormat terhadap waktu, usaha, dan tujuan bersama dalam proyek atau tugas kelompok yang memiliki tenggat waktu (urgensi).

Ketika satu atau lebih anggota nggak berkontribusi, beban kerja akan jatuh pada anggota kelompok yang aktif. Jika ada anggota yang gak aktif, ide-ide, dan perspektif yang beragam bisa saja gak muncul. Dalam banyak kasus, nilai tugas kelompok akan dibagikan secara merata kepada semua anggota. Ini sangat tidak adil, bukan? Khususnya bagi anggota yang aktif.

Anggota yang gak aktif bisa menghambat proses belajar anggota lain. Dimana mereka harus menghabiskan waktu untuk menutupi kekurangan anggota yang gak aktif. Ini bisa bikin mereka merasa terbebani, stres, dan kelelahan.

Anggota yang aktif bisa saja merasa kesal dan nggak dihargai, yang mana itu bisa merusak dinamika kelompok dan lingkungan belajar. Ini sangat berisiko. Mengingat adanya urgensi atau tenggat waktu yang harus dipatuhi, lalu berujung pada nilai yang lebih rendah atau bahkan kegagalan proyek.

3. Mahasiswa yang menghubungi dosen perihal perkuliahan di luar jam kerja

ilustrasi dosen mengajar di kelas (pexels.com/ICSA)
ilustrasi dosen mengajar di kelas (pexels.com/ICSA)

Menghubungi dosen terkait perkuliahan di luar jam kerja kerap dianggap sebagai bentuk disrespectful urgency. Yakni, urgensi yang nggak menghargai waktu dan batasan profesional mereka. Sama seperti profesi lain, dosen punya kehidupan pribadi, keluarga, dan komitmen di luar jam kerja. Selain mengajar, mereka juga melakukan penelitian, pengabdian masyarakat, dan tugas administratif lainnya.

Lingkungan akademik, termasuk hubungan antara mahasiswa dan dosen, ada batasan profesional yang jelas. Jam kerja ditetapkan untuk menciptakan interaksi yang efektif dan terstruktur. Mahasiswa yang terbiasa menghubungi dosen kapan saja, bisa memiliki ekspektasi bahwa dosen harus selalu siap sedia merespons.

Oleh karena itu, mahasiswa perlu belajar merencanakan pertanyaan atau kebutuhan perkuliahan dan prioritaskan untuk menghubungi dosen pada jam kerja yang sudah ditentukan, baik melalui email, forum diskusi di platform e-learning, atau personal chat. Jika ada situasi yang benar-benar darurat, mahasiswa bisa menghubungi dosen melalui jalur resmi yang sudah disepakati, tapi tetap dengan etika dan kesopanan.

4. Mahasiswa yang baru sekali bimbingan skripsi langsung minta ACC

ilustrasi bimbingan skripsi (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi bimbingan skripsi (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Permintaan persetujuan (ACC) langsung oleh mahasiswa setalah sesi bimbingan skripsi yang pertama kali bisa termasuk dalam disrespecful urgency. Bukan karena dosen nggak mau mahasiswanya cepat-cepat lulus, melainkan karena alasan penting yang berkaitan dengan proses pembimbingan dan etika akademik.

Skripsi bukanlah proyek yang bisa selesai dalam satu kali pertemuan. Bimbingan skripsi adalah proses yang memerlukan tahapan perbaikan dan revisi. Meminta ACC langsung menunjukkan bahwa mahasiswa nggak memahami esensi dari proses bimbingan itu sendiri, seolah-olah bimbingan hanyalah formalitas.

Dosen pembimbing pun memiliki tanggung jawab untuk memastikan skripsi mahasiswanya memenuhi standar akademik. Dosen nggak akan mau menandatangani atau menyetujui sebuah karya yang belum sesuai atau belum melalui proses koreksi yang memadai.

Daripada langsung meminta ACC, sebaiknya mahasiswa fokus untuk memahami masukan dosen dan melakukan revisi yang diperlukan. Sehingga saat sesi bimbingan selanjutnya, mahasiswa datang dengan kemajuan yang jelas dan respons terhadap masukan sebelumnya.

5. Sistem administrasi kampus yang terlalu mendadak

ilustrasi mendapat informasi mendadak (pexels.com/Gustavo Fring)
ilustrasi mendapat informasi mendadak (pexels.com/Gustavo Fring)

Pengumuman penting seperti pendaftaran Kartu Rencana Studi (KRS), beasiswa, atau sidang dikabarkan sangat dekat dengan deadline tanpa sosialisasi yang cukup. Jadwal yang mendadak menunjukkan kurangnya perencanaan yang matang dari pihak administrasi kampus. Menyiratkan bahwa pihak kampus nggak menghargai waktu mahasiswa, dosen, atau staf terkait.

Deadline singkat ini bikin mahasiswa khawatir. Mereka jadi nggak punya cukup waktu untuk mempertimbangkan pilihan dengan cermat, cari informasi yang akurat, atau konsultasi dengan dosen. Akibatnya, mereka mengambil keputusan dengan terburu-buru. Mereka pun bisa saja membuat kesalahan yang merugikan, seperti mengambil mata kuliah yang salah atau melewatkan kesempatan beasiswa penting.

Praktik disrespectful urgency juga secara nggak langsung mendiskriminasi mahasiswa. Mereka yang terbatas akses informasi, masalah koneksi internet, atau yang berasal dari lokasi yang jauh dari kampus akan dirugikan secara nggak adil.

Secara keseluruhan, praktik ini mengikis kepercayaan mahasiswa terhadap sistem administrasi kampus. Sistem administrasi yang menerapkan disrespectful urgency dalam jangka panjang, bisa merusak hubungan antara mahasiswa dan kampus, serta menghambat potensi akademik mahasiswa.

Nah, itulah lima bentuk disrespectful urgency yang sering muncul di lingkungan perkuliahan. Dengan mengenalinya, kita jadi lebih bisa mawas diri dan berupaya menciptakan lingkungan yang lebih suportif. Baik sebagai mahasiswa, dosen, maupun staf kampus, mari bersama mengedepankan empati dan menghargai waktu serta upaya setiap individu.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Merry Wulan
EditorMerry Wulan
Follow Us