instagram.com/queen_.story
Keturunan laki-laki yang berdarah Pariaman dari pihak ayah (patrilineal) akan mewariskan gelar secara turun-temurun. Secara adat, menantu laki-laki tak dipanggil dengan namanya, tapi dengan gelarnya (Sidi, Bagindo, Sutan, Marah) sebagai bentuk penghormatan. Melalui gelar tersebut, nasab keturunanya pun dapat ditelisik.
Misalnya jika pria Pariaman bernama Syahrial dan ayahnya bergelar "Bagindo", maka setelah menikah akan dipanggil "Bagindo Syahrial". Kendati terdapat berbagai sejarah yang agak berbeda, namun yang paling umum diketahui yakni:
- "Sidi" (keturunan ulama yang menyebarkan Islam di Pariaman). Keturunan laki-laki dari gelar ini akan dipanggil "Sidi", dan konon keturunan perempuan disematkan nama "Siti". Namun, penamaan untuk perempuan yang bernasab dari gelar Sidi tak lagi menjadi sesuatu yang lazim pada zaman ini.
- "Bagindo" (keturunan raja, bangsawan, dan petinggi dari Kesultanan Aceh yang pada zaman dahulu menguasai kawasan Pariaman). Jika laki-laki digelari "Bagindo" (dari kata paduka Baginda), maka keturunan perempuannya ditambahkan nama "Puti" (dari kata tuan Putri). Mirip seperti penamaan untuk perempuan dari keturunan Sidi, penyematan nama "Puti" pun tak lagi umum.
- "Sutan" (keturunan raja, bangsawan, dan petinggi Istana Pagaruyuang yang ditugasakan sebagai wakil di Rantau Pasisir Piaman). Selain nasab tersebut, konon gelar ini juga disematkan pada para saudagar.
- "Marah" (tak berketurunan dari pihak ulama maupun pihak raja, bangsawan, dan petinggi). Gelar ini memang terbilang agak jarang didengar.
Selain dikenal dengan nama kota Tabuik yang merujuk pada salah acara budaya di kota Pariaman, kota pantai ini pun mempunyai keunikan dari penggunaan bahasanya. Kendati demikian, penggunaan bahasa Minang yang baku masih dapat dimengerti, kok. Nah, kalau ke Sumatra Barat, jangan lupa kunjungi Kota Pariaman, ya!