IDN Times Xplore/Laskar Nusa_SMKN 1 Bontang
Pernah nggak kamu bayangin gimana jadinya kalau kita semua mengabaikan lingkungan? Bayangin, sebuah kota tanpa ruang hijau, udara yang terasa berat untuk dihirup, dan sungai-sungai yang berubah warna karena tercemar limbah. Ini bukan gambaran masa depan fiksi. Ini adalah kenyataan yang pelan-pelan akan terjadi kalau nggak ada perubahan. Sering kali kita menganggap upaya menjaga lingkungan adalah tugas besar yang cuma bisa dilakuin oleh pemerintah atau ilmuwan. Padahal, aksi kecil yang konsisten, terlebih kalau didorong oleh edukasi dan teknologi, bisa membawa perubahan nyata terutama kalau dimulai oleh anak muda.
Indonesia menghadapi banyak banget tantangan lingkungan, mulai dari pencemaran udara, krisis air bersih, sampai penumpukan sampah yang belum ditangani secara baik. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK, pada tahun 2023 timbulan sampah di Indonesia mencapai sekitar 69,9 juta ton, dengan 41,6 % berupa sampah organik dan 18,7 % plastik. Dari jumlah itu, 44,4 % berasal dari rumah tangga. Itu berarti setiap hari puluhan ribu ton sampah dibiarkan mencemari lingkungan, merusak ekosistem, dan membahayakan kesehatan masyarakat.
Masalah ini semakin rumit saat disandingkan sama rendahnya kesadaran lingkungan di berbagai kalangan masyarakat. Banyak orang masih memandang persoalan lingkungan sebagai hal sepele, atau merasa nggak punya peran dalam upaya penyelamatan bumi. Di sinilah pentingnya edukasi bukan cuma dalam bentuk teori di kelas, tetapi juga lewat pendekatan yang membumi, menyentuh kehidupan sehari-hari, dan bisa dipahami semua orang.
Anak muda, yang kini tumbuh dalam era digital, memiliki potensi besar untuk jadi agen perubahan. Generasi ini hidup dalam lingkungan informasi yang luas banget melalui internet, terbuka terhadap ide-ide baru, dan memiliki akses terhadap teknologi yang bisa digunakan untuk tujuan positif. Jadi, kalau edukasi dan teknologi digabungkan, terbuka peluang besar untuk mempercepat perubahan dalam skala yang besar, termasuk di bidang lingkungan.
Edukasi lingkungan nggak harus selalu berat dan formal. Bisa dimulai dari hal-hal sederhana seperti kampanye pengurangan plastik di sekolah, pelatihan pemilahan sampah, atau membuat konten edukatif di media sosial. Teknologi pun nggak harus melulu tentang alat canggih. Aplikasi pencatatan sampah, sistem pemantauan kualitas udara, atau platform daring untuk pelaporan pencemaran sudah cukup jadi awal yang berdampak.
Contoh nyata adalah Gerakan Sekolah Adiwiyata yang digagas oleh KLHK. Lewat program ini, sekolah didorong untuk menciptakan budaya cinta lingkungan melalui pembelajaran dan aksi nyata di lingkungan sekolah. Murid-murid dilibatkan dalam kegiatan kayak memilah sampah, penghijauan, dan pengelolaan limbah sederhana. Meski kelihatannya kecil, dampaknya bisa berlipat kalau diterapin di banyak sekolah secara konsisten.
Lebih jauh lagi, pemerintah menetapkan target yang jelas melalui Perpres No. 97/2017 dan Perpres No. 83/2018 untuk mengurangi sampah 30 % dan menangani 70 % sampah pada tahun 2025, termasuk mengurangi sampah plastik bocor ke laut hingga 70 %. Target ambisius ini hanya bisa tercapai kalau semua pihak, termasuk anak muda turut ambil bagian.
Selain itu, inovasi teknologi dari kalangan muda juga mulai nunjukin kontribusinya. Beberapa pelajar dan mahasiswa Indonesia telah ngeciptain alat sederhana untuk ngubah limbah organik menjadi biogas, aplikasi pencatat jejak karbon pribadi, hingga robot pemilah sampah. Meskipun skalanya masih terbatas, langkah ini membuktikan bahwa dengan niat dan kreativitas, perubahan dapat dimulai dari mana saja.
Ngomong-ngomong soal inovasi teknologi, sekarang makin canggih nih lewat aplikasi Tradisi (Transaksi Digital Sampah Indonesia). Tradisi ini digunakan oleh lebih dari 100 bank sampah aktif-mulai dari Batam, Pekanbaru, Lampung, hingga sekolah di Kulon Progo, agar semua pencatatan setor tarik sampah jadi digital dan mudah diakses secara online. Setiap nasabah dapat punya Satu Nomor Identitas Persampahan Nasional (SNI-PN) yang bikin mereka bisa setor sampah ke mana saja yang terhubung tanpa daftar ulang. Transaksi transparan, laporan bisa di-generate otomatis, dan data tersimpan rapi tanpa spreadsheet atau buku fisik. Pengurus bank sampah jadi bisa lebih fokus mengedukasi masyarakat dan ngembangin layanan daripada ribet urus administrasi manual. Efeknya? Kepercayaan masyarakat meningkat, nasabah makin aktif, dan dampak lingkungan jadi lebih nyata karena keberlanjutan program bank sampah jadi lebih kuat.