IDN Times Xplore/PLASMA_SMA Negeri 3 Jombang
Menurut data SIPSN (Sistem Informasi Pengolahan Sampah Nasional) secara nasional komposisi sampah terbanyak di tahun 2024 berasal dari sisa makanan, yaitu sebesar 39,23%. Lutviyati et al. (2022) dalam penelitiannya menyatakan bahwasannya hal tersebut dapat terjadi karena tidak adanya perencanaan kebutuhan makanan sehingga masyarakat cenderung berlebihan dalam membeli atau menimbun makanan. Kemudian, di Kabupaten Jombang sendiri data SIPSN (2024) menunjukkan bahwa sampah sisa makanan menyumbang sebesar 49% dari komposisi lainnya. Timbunan sampah sisa makanan berasal dari berbagai tempat, seperti rumah tangga, restoran, pasar, pabrik, tempat wisata, hingga sekolah.
Sebagai pelajar aktif tentu kita banyak menghabiskan waktu di sekolah yang tanpa sadar dapat menjadi pelaku penyumbang sampah sisa makanan di sekolah. Sampah tersebut dapat berasal dari makanan bekal yang tidak habis atau sekedar tidak suka dengan lauknya. Kemudian, kantin sekolah yang seharusnya menyediakan berbagai makanan untuk seluruh warga sekolah juga dapat menjadi penyumbang sampah sisa makanan. Handayani (2025) menuliskan bahwa kantin merupakan sumber utama penghasil sampah organik setiap harinya. Aldilla et al. (2025) dalam studi kasusnya terhadap salah satu sekolah menyatakan bahwa jenis sampah yang tertimbun dari kantin sekolah paling banyak yaitu, nasi, sayuran, dan lauk. Lalu, apakah hal tersebut berdampak bagi para warga sekolah hingga lingkungan?
Perlu kalian ketahui bahwa sampah sisa makanan yang menumpuk dapat berbahaya bagi lingkungan sekitar. Sampah sisa makanan yang menumpuk akan menimbulkan bau tidak sedap yang membuat para pelajar menjadi tidak fokus dan tidak nyaman dalam mengikuti pembelajaran. Selain itu sampah yang menumpuk dapat mengundang serangga, seperti nyamuk dan lalat sehingga menyebabkan timbulnya penyakit. Poin yang paling penting adalah sampah sisa makanan dapat menyumbang emisi gas rumah kaca. Lutviyati et al. (2022) dalam jurnalnya menjelaskan bahwa salah satu gas rumah kaca yang dihasilkan dari limbah makanan adalah metana (CH4) yang berpotensi 21 kali lebih besar mengakibatkan pemanasan global dibandingkan gas CO2.
Melihat dampak-dampak tersebut, seharusnya kita tidak diam saja. Oleh karena itu, kami tim PLASMA membuat sebuah solusi yang berkaitan dengan “Circular Economy” melalui edukasi nyata dan teknologi. Circular economy atau ekonomi sirkulasi bertujuan untuk meminimalisir limbah dan memaksimalkan penggunaan SDA. Demi memenuhi keinginan tersebut, kami tim PLASMA berusaha memanfaatkan SDA yang ada di SMA Negeri 3 Jombang semaksimal mungkin dengan melihat peluang yang tersedia. Contohnya kami memanfaatkan maggot sebagai media dalam mengolah sampah sisa makanan.
Anwar et al. (2021) menuliskan bahwa maggot atau larva dari lalat Black Soldier Fly (BSF) menjadi salah satu organisme potensial untuk dapat dimanfaatkan sebagai agen pengurai limbah organik dan sebagai pakan tambahan bagi ikan dan ternak. Selain itu, melihat SDA tumbuh-tumbuhan yang cukup melimpah di SMA Negeri 3 Jombang, menjadikan kotoran maggot dapat diolah kembali menjadi pupuk organik agar bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Dalam melakukan langkah ini diperlukan adanya kerjasama tim dalam melakukan edukasi nyata terkait maggot, karena ternyata masih banyak orang yang belum tahu mengenai hewan maggot serta pemanfaatannya yang begitu luar biasa. Sehingga sampah yang semula terbuang sia-sia, seharusnya bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin lewat media maggot.
Kegiatan yang kami lakukan pun tidaklah sulit, cukup merawat maggot agar tetap hidup dengan memberi makan rutin serta memahami tingkat kelembaban dari hewan tersebut. Namun, bukan tak mungkin kami juga mengalami beberapa tantangan, diantaranya kesadaran terhadap lingkungan yang kurang juga aksi yang dapat diterima masyarakat dan dapat menggerakkan masyarakat untuk lebih memahami pengurangan serta pengolahan limbah sisa makanan. Untuk itu kami bergerak, melaksanakan kampanye di lingkungan sekolah dan memberikan penjelasan mengenainya. Adanya teknologi internet juga dapat membantu kampanye berjalan lebih efektif dan efisien dengan menggunakan media sosial sebagai jalur alternatif kepada khalayak yang lebih luas. Kemudian, peran pemerintah dalam memberikan akses prasarana dan penyedia aturan juga diperlukan guna mempermudah adanya sosialisasi serta penerapan di lingkungan sekitar, mulai dari sekolah hingga turun langsung ke masyarakat. Dalam hal teknologi, pemerintah dapat menyediakan akses untuk mengembangkan alat yang lebih mutakhir agar masyarakat juga lebih sadar akan masalah penumpukan sampah yang tidak ada habisnya.