IDN Times Xplore/Naraswara_SMA Negeri 1 Medan
"Nara, jalan jalan di kota dulu yuk, mumpung masih pagi, sebelum ngampus ntar siang" Ajak Swandi sambil mengambil tas merah muda kesayangannya
"Ayuk, aku juga suntuk di kos mulu" Jawab Naranda bersemangat.
Di pagi Hari, saat hendak berangkat sekolah ataupun kerja, sering kali kita disapa oleh udara yang sudah pengap dan hawa yang panas disebabkan oleh berbagai kendaraan yang menggunakan jalan. Di sudut kota, tumpukan sampah semakin besar. Sungai yang dulu mengalir jernih kini berubah warna. Laut yang dulu jadi kebanggaan penuh ikan kini dipenuhi plastik. Semua ini bukan hanya sekadar cerita atau berita, melainkan kenyataan sehari-hari yang mengakibatkan dan menunjukkan fakta bahwa bumi kita sedang berubah.
Perubahan iklim adalah istilah yang sering kita dengar, tetapi dampaknya sudah kita rasakan. Dalam beberapa dekade terakhir, suhu rata-rata global telah meningkat lebih dari 1°C dibanding era pra-industri. Di Indonesia sendiri, suhu rata-rata sudah naik sekitar 0,8°C dibandingkan periode 1981–2010. Konsentrasi karbon dioksida di atmosfer pun terus melonjak: pada 2022 berada di kisaran 417 ppm, dan pada 2023 sudah menembus 421 ppm—angka tertinggi sepanjang sejarah pencatatan modern. Musim jadi tak terduga, hujan datang tak menentu, dan bencana alam makin sering terjadi. Salah satu faktor yang mempercepat perubahan iklim, yang sering kita anggap sepele, adalah persoalan sampah.
Setiap kantong plastik, botol minuman, dan sisa makanan yang kita buang memiliki dampak. Saat ini, sekitar 60% sampah rumah tangga di Indonesia masih berakhir di tempat pembuangan akhir tanpa pengelolaan yang baik. Sekitar 30–40% di antaranya berupa sampah organik, yang saat membusuk menghasilkan gas metana—gas rumah kaca yang kekuatannya 25 kali lebih besar dibanding karbon dioksida. Sementara itu, produksi plastik nasional mencapai sekitar 11 juta ton per tahun, dan 3,4 juta ton di antaranya bocor ke lingkungan serta laut. Sampah plastik yang tidak terurai bisa bertahan ratusan tahun, menyumbat tanah, mencemari laut, dan akhirnya masuk ke rantai makanan kita dalam bentuk mikroplastik.
Ketika hujan deras turun, saluran air yang tersumbat sampah menyebabkan banjir. Setiap tahun, jutaan ton sampah plastik mengalir ke sungai dan laut, membuat ekosistem rusak dan mengganggu keseimbangan alam. Banjir bukan hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga kesehatan: air kotor membawa penyakit, serangga pembawa penyakit berkembang lebih cepat, dan masyarakat yang terdampak kehilangan akses ke air bersih. Sampah yang dibakar sembarangan menambah polusi udara, menghasilkan karbon dioksida dan zat berbahaya lain yang kita hirup setiap hari.
Semua ini saling terhubung dalam lingkaran besar. Perubahan iklim memperburuk kondisi pengelolaan sampah: banjir lebih sering, lahan pembuangan meluap, dan panas mempercepat pembusukan. Di sisi lain, sampah yang tidak terkelola mempercepat perubahan iklim: menghasilkan gas rumah kaca, memicu bencana, dan mengancam ekosistem. Kita berada di tengah lingkaran ini — baik sebagai penyebab maupun korban.
Jika kita tidak segera mengubah kebiasaan, keadaan ini akan terus memburuk. Kita mungkin tidak lagi mengenal udara pagi yang sejuk, kita akan kehilangan hutan yang hijau, dan laut yang kita banggakan akan menjadi lautan plastik. Bumi bukan sekadar tempat kita tinggal; ia adalah rumah satu-satunya yang kita miliki. Saat bumi memanas, kita pun ikut menderita.
"Nar, masih jam 8 pagi aja udah panas aja ni kota, orang orang bisa gak sih gausah naik mobil pagi-pagi? Bus kan ada tuh..." Keluh Swandi sambil mengambil kunci motor dalam tasnya.
"Swandi, bukannya lo juga suka naik motor tiap pagi?" Jawab Naranda sambil tertawa kecil. Pagi yang menarik bagi dua mahasiswi ini.