IDN Times Xplore/NGILANG_SMAN 9 Malang
Selama beberapa tahun ini, kalian merasa tidak sih kalau suhu bumi semakin meningkat? Menurut hasil analisis BMKG tahun 2024, kenaikan suhu di Indonesia telah mencapai 1,5 derajat Celcius di atas suhu era pra-industri (1850-1900). Kondisi ini berdampak pada perubahan pola curah hujan yang berimbas pada hasil pertanian, serta berpotensi mengubah struktur ekosistem di berbagai wilayah.
Salah satu bukti nyatanya, adalah cuaca saat ini. Sekarang sudah memasuki bulan Agustus, namun hujan lebat masih sesekali turun. Hal ini berbeda dengan beberapa dekade lalu ketika pola musim masih teratur: musim kemarau berlangsung pada bulan Januari hingga Agustus, sedangkan musim hujan terjadi pada September hingga Desember. Kini, cuaca semakin sulit diprediksi. Dalam beberapa tahun terakhir, hujan yang hanya berlangsung puluhan menit saja sudah mampu menyebabkan banjir yang melumpuhkan mobilitas masyarakat. Di sisi lain, suhu siang hari terasa semakin meningkat dari tahun ke tahun hingga membuat masyarakat membutuhkan pendingin untuk menyejukkan tubuh. Perubahan-perubahan signifikan ini menjadi tanda jelas bahwa bumi sedang tidak baik-baik saja dan membutuhkan pertolongan kita.
Kondisi tersebut merupakan salah satu gejala dari perubahan iklim yang kian memburuk, bahkan oleh sebagian orang disebut sebagai ‘kiamat iklim.’ Istilah ini bukanlah berlebihan, sebab dampaknya benar-benar dapat mengancam keberlangsungan hidup manusia: mulai dari cuaca ekstrem, kelaparan, konflik perebutan sumber daya, hingga penyebaran penyakit. Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa Indonesia, perubahan iklim dipicu oleh aktivitas manusia yang menggerus kelestarian lingkungan, seperti pembakaran bahan bakar fosil, penumpukan limbah makanan (food waste), deforestasi besar-besaran, gaya hidup konsumtif, bahkan timbunan sampah digital dari data yang tidak terpakai pun turut menghasilkan emisi karbon melalui penggunaan energi pusat data.
Menghadapi ancaman sebesar ini, diperlukan langkah nyata yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat, terutama generasi muda. Pemuda memiliki peran strategis sebagai agen perubahan yang mampu membawa ide, inovasi, dan aksi nyata. Dengan kami berupaya menyebarkan edukasi lingkungan sekaligus mengajak masyarakat luas untuk terlibat langsung dalam menjaga kelestarian bumi.
Agar peran tersebut dapat berjalan efektif, pemuda perlu dibekali dengan wawasan dan kesadaran yang kuat mengenai isu iklim. Salah satu upaya utamanya adalah dengan meningkatkan literasi iklim yang dapat dimulai dari lingkup pendidikan formal, yaitu mengintegrasikan pembelajaran dengan literasi iklim. Misalnya, dalam pembelajaran mata pelajaran Ekonomi dapat membahas tentang kelangkaan sumber daya alam diperburuk oleh perubahan iklim. Sayangnya, pembelajaran di sekolah sering kali masih berfokus pada materi textbook tanpa mengaitkannya dengan kondisi lingkungan dan isu iklim yang sedang berlangsung membuat para siswa tidak diberi ruang untuk berpikir kritis mengenai hal tersebut. Padahal, jika literasi iklim terintegrasi dalam pembelajaran, dilakukan secara menyeluruh, dan berkelanjutan hingga pada tahap aplikatif, hal ini dapat mendorong lahirnya inovasi teknologi, seperti pengembangan energi terbarukan atau aplikasi monitoring lingkungan.
Literasi iklim tidak hanya sebatas teori, tetapi juga harus diwujudkan dalam bentuk aksi nyata. Di lingkungan sekolah, penerapannya dapat dilakukan melalui berbagai program, seperti Adiwiyata, gerakan Jumat bersih dan sehat, pembiasaan membawa kotak bekal dan tumbler, pemilahan sampah, hingga pembuatan kompos dari limbah food waste kantin atau bekal. Penelitian menunjukkan bahwa literasi iklim yang diterapkan secara tepat mampu meningkatkan kesadaran serta tanggung jawab siswa terhadap lingkungan. Salah satu contohnya adalah pembiasaan penggunaan tumbler kepada teman dan kerabat secara positif untuk mengurangi sampah plastik sekali pakai.
Di luar lingkup pendidikan formal, kesadaran iklim juga bisa ditumbuhkan melalui kegiatan volunteer yang berfokus pada isu lingkungan. Lewat kegiatan ini, pemuda tidak hanya mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan, tetapi juga melakukan aksi nyata, seperti penanaman pohon, pembersihan wilayah, atau kampanye pengurangan sampah plastik. Bergabung dengan komunitas literasi yang menaruh perhatian pada isu iklim juga menjadi cara efektif untuk meningkatkan literasi iklim, menyebarkan informasi yang akurat, dan menggerakkan aksi kolektif dalam melawan perubahan iklim.
Berdampingan dengan langkah tersebut, teknologi dapat menjadi pendukung utama dalam upaya ini. Terlebih lagi generasi saat ini lebih akrab dengan media online yang dapat digunakan untuk kampanye lingkungan secara kreatif dan masif. Saat ini muncul beberapa influencer muda yang berfokus kepada penyelamatan lingkungan sekitar seperti Jeremy Owen.
Jeremy Owen adalah salah satu content creator pada platform Tiktok, Instagram, dan Youtube yang berfokus kepada upaya penyelamatan lingkungan sekitar dan edukasi lingkungan dan iklim. Program terakhirnya adalah WeNanam Pohon yang merupakan penanaman pohon sesuai jumlah share, sekaligus menantang para pengikut untuk membagikan video sebanyak banyaknya. Aksi ini ternyata juga membangkitkan antusias pengikutnya yang mayoritas adalah pemuda untuk menjadi volunteer dalam aksi penanaman pohon yang berhasil menanam lebih dari 100 pohon per harinya. Hal ini membuktikan bahwa anak muda juga memiliki semangat yang tinggi dan bisa diajak berkontribusi untuk mengupayakan lingkungan yang sehat.
Menurut data dari Jejakin.com, hingga tanggal 20 Agustus 2025 aksi penanaman pohon ini telah berhasil menyerap total emisi CO₂ sebesar 49,81 ton. Pohon-pohon yang ditanam pun beragam, mulai dari pinus, kopi, mangga, nangka, hingga berbagai varietas lainnya. Selain berperan penting dalam menanggulangi ancaman ‘kiamat iklim’ akibat emisi karbon, program ini juga memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar melalui hasil buah yang dapat dipanen. Inilah bukti nyata bahwa kampanye menjaga lingkungan melalui media sosial dapat menggerakan massa secara masif sehingga tidak hanya berdampak bagi kelestarian bumi, tetapi juga mampu meningkatkan kesejahteraan manusia.
Dengan meningkatnya kesadaran dan aksi nyata dari generasi muda terhadap lingkungan dan iklim, harapan untuk memperlambat laju ‘kiamat iklim’ masih terbuka lebar. Edukasi literasi iklim dan teknologi terutama di media online dapat menjadi senjata utama untuk menciptakan masa depan bumi yang lebih hijau, sehat, dan berkelanjutan demi memastikan generasi selanjutnya tetap memiliki bumi yang layak huni.