IDN Times Xplore/GenZine_SMAN 74 Jakarta
Hai coba kita bayangkan : bel masuk berbunyi, kantin ramai, minuman kemasan berseliweran, sisa makanan menumpuk. Dalam hitungan jam, satu sekolah bisa “memproduksi” sekian karung sampah. Padahal, di luar pagar sekolah, Indonesia menanggung beban 34,2 juta ton sampah pada 2024 dan 18,1 juta ton di antaranya belum tertangani. Angka ini nyata, bukan sekadar isu di buku pelajaran.
Kenapa “Zero Waste School” Mendesak?
Pertama, krisis plastik makin serius. Setiap tahun, 19 - 23 juta ton plastik bocor ke ekosistem perairan dunia dan daur ulang global cuma sekitar 9%. Akibatnya, mikroplastik kini ditemukan di mana-mana, berdampak ke ekosistem dan kesehatan manusia. Kalau kita tetap “business as usual”, lautan dan sungai yang jadi sumber hidup akan makin rusak.
Kedua, sekolah adalah “mesin perubahan”. Kebiasaan sehari-hari, beli minuman isi ulang vs. kemasan, bawa rantang vs. bungkus Styrofoam, dibentuk di lingkungan sekolah. Data Indonesia menunjukkan plastik menyumbang porsi signifikan dalam komposisi sampah; kajian Bank Dunia memperkirakan kandungan plastik rata-rata mencapai sekitar 18,4% dari sampah padat. Artinya, intervensi di sekolah bisa memotong masalah dari hulunya.
Fondasi Kebijakan & Gerakan yang Sudah Ada
Di level global, negosiasi traktat PBB soal polusi plastik tengah dikebut, mendorong pengurangan plastik sekali pakai dan desain ulang sistem. Ini jadi “angin belakang” bagi sekolah yang ingin bertransformasi.
Di level nasional, Indonesia memperkuat regulasi pengelolaan sampah (termasuk pemilahan 3R) dan memperbarui aturan terkait sampah/Limbah B3 pada 2024, penting untuk tata kelola sampah elektronik, baterai, hingga kemasan bahan kimia sekolah. Program Adiwiyata juga terus berkembang; hingga Februari 2025, ribuan sekolah sudah bergabung dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mendorong panduan pengelolaan sampah di sekolah.
Argumen Utama: Zero Waste School Itu Masuk Akal dan Bisa
Masalah dominan adalah organik & plastik
Penelitian kasus dan data perkotaan menunjukkan porsi organik tinggi, disusul plastik. Artinya, dua “target” paling cepat adalah kompos (untuk organik) dan pengurangan sumber (untuk plastik). Sekolah bisa memangkas drastis volume sampah terangkut hanya dengan dua langkah ini.
Intervensi di sekolah lebih murah daripada “buang-angkut”
Memilah di sumber mengurangi biaya transportasi dan TPA, memperpanjang umur TPA, serta menghasilkan kompos untuk taman sekolah. Regulasi pemilahan & 3R sudah ada, sehingga kepala sekolah punya payung hukum bertindak.
Efek pendidikan berantai
Studi tentang Adiwiyata menunjukkan peningkatan efektivitas budaya sekolah hijau terhadap keterampilan pemecahan masalah lingkungan. Ketika budaya terbentuk (bukan sekadar kebijakan di atas kertas), pengaruhnya lebih kuat dan tahan lama.
Rute Praktis: Lima Pilar “Zero Waste School”
Cegah di Sumber (Refuse & Reduce)
Larangan bertahap plastik sekali pakai di kantin (sedotan, styrofoam, kresek), ganti ke sistem “isi ulang & pakai ulang” (tumbler, kotak makan). Ini align dengan dorongan global mengurangi plastik sekali pakai dan menekan kebocoran ke perairan.
Desain Ulang Kantin & Kegiatan Sekolah
Vendor kantin wajib menyediakan gelas/piring cuci ulang; event sekolah bebas balon & banner vinil sekali pakai, diganti kain/papan digital. Kontrak vendor mencantumkan kewajiban 3R sesuai regulasi nasional.
Pemilahan 3 - 5 Jenis di Sumber
Setidaknya: organik, residu, plastik/kemasan, kertas, B3 kecil (baterai/lampu). Label jelas, warna konsisten, dan inspeksi harian oleh “Eco-Prefect” (pengurus OSIS/ekskul lingkungan). Data timbangan mingguan dipajang di mading/digital signage biar semua ikut “ngeh”.
Pengolahan On-Site: Kompos & Ecobrick Terbatas
Komposter aerob/ takakura untuk sisa kantin & daun halaman; kompos dipakai buat kebun sekolah. Untuk plastik fleksibel yang belum terserap, batasi opsi sementara (mis. ecobrick) sambil beralih ke skema drop-off produsen atau bank sampah mitra. Bukti riset kota menunjukkan composting meningkatkan kinerja sistem secara keseluruhan.
Kurikulum & Budaya: dari Adiwiyata ke “Zero Waste Badge”
Integrasi proyek lintas mapel (Biologi: kompos mikroba; Ekonomi: model bisnis isi ulang; TIK: dashboard data sampah). Bangun “badge” sekolah bebas sampah dengan indikator ketat, memastikan budaya (bukan sekadar slogan) jadi penggerak utama, sebagaimana disorot riset efektivitas Adiwiyata.
Hambatan & Jawabannya
“Susah, butuh biaya.”
Mulai dari “no-cost changes”: larangan sedotan & kantong plastik, bawa tumbler, pemilahan dasar. Biaya komposter sederhana relatif rendah dan balik modal lewat pengurangan biaya angkut serta manfaat kompos untuk taman/kebun sekolah. Bukti kasus kota menekankan peran partisipasi rumah tangga/sekolah dan composting.
“Regulasinya ribet”
Justru regulasi terbaru memandatkan pemilahan & 3R; sekolah bisa memasukkan klausul itu ke SOP kantin dan kontrak vendor. Untuk sampah/B3 kecil (baterai, lampu), gunakan panduan KLHK/aturan B3 2024 sebagai rujukan aman.
“Warga sekolah belum terbiasa”
Manfaatkan pendekatan budaya: tantangan kelas bebas sampah, papan skor mingguan, dan pengakuan publik. Studi menunjukkan kultur ramah lingkungan memberi pengaruh nyata pada perilaku problem-solving siswa dan budaya tumbuh lewat kebiasaan kecil, konsisten, dan seru.
Narasi Perubahan: Dari Kantin ke Komunitas
Bayangkan minggu pertama: guru dan OSIS membongkar kardus tempat minum isi ulang, kantin memasang dispenser galon, tempat sampah dipasang set yang rapi dan berlabel, dan semua kelas mulai “berburu” berat sampah terendah. Bulan kedua, kompos pertama dipanen, ditabur ke kebun sayur sekolah; kelas X A bikin poster mikroba pengurai, kelas XI C menghitung penghematan biaya angkut sampah. Semester berganti, sekolah mendaftar Adiwiyata sekaligus meluncurkan “Zero Waste Badge”. Orang tua ikut terinspirasi mulai pilah di rumah, kirim baterai bekas ke drop-box sekolah. Dari pagar sekolah, perubahan merembes ke RT/RW. Inilah efek domino yang kita cari.