Graphoria Whimsy - SMK Negeri 41 Jakarta
Sampah, sebuah isu yang tak kunjung usai, bagai bom waktu yang terus berdetak. Di tengah panorama alam yang membius mata, kita tak sadar telah menjadikan negeri ini galeri seni kontemporer terbesar. Kita berbicara tentang kemajuan, namun tidak mempunyai keinginan untuk maju. Pemerintah pun turut serta dengan menyediakan wadah sampah berwarna-warni: hijau untuk Organik, kuning untuk Anorganik, dan merah untuk B3. Namun jika kita melihat sekitar, berapa banyak yang berfungsi sebagaimana mestinya? sampah yang katanya akan didaur ulang biasanya dicampur dalam satu truk sampah yang sama, dalam konteks ini daur ulang hanya sekedar simbolis saja.
Saat ini Indonesia sedang darurat sampah, berdasarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan jumlah timbunan sampah mencapai 31,9 juta ton, di antaranya yang sering kita temui yaitu sampah plastik, notabenya sulit terurai. Salah satu penyumbang sampah terbesar berada di sekolah yang seharusnya menjadi pusat edukasi. Kertas menumpuk, plastik jajanan kantin, sampai sisa makanan yang dibuang. Bayangkan satu siswa bisa menghasilkan 3 atau lebih sampah plastic hanaya dalam sehari. Jika ada 200 siswa, berarti terkumpul 500 lebih plaastik sekali pakai. Ironisnya, banyak yang tak tahu atau tak acuh bagaimana cara memilahnya.
Sebagian orang berpikir siswa malas, namun akar lebih dalam karena sistemnya tidak berjalan efektif. biasanya edukasi hanya sampai di lomba poster atau presentasi tugas sekolah, bank sampah yang terbengkalai. Banyak pula siswa bahkan tidak tahu perbedaan dari ketiga warna tempat sampah tersebut. Hasilnya praktik daur ulang hanya menjadi slogan tanpa asli nyata. Tak sedikit sekolah yang sudah menyiapkan fasilitas yang memadai, tapi kesadaran tak kunjung tumbuh.
Banyak program yang bersifat seremonial, siswa dituntut membuat poster edukasi daur ulang sampah tapi jarang dilabatkan secara langsung. Tempat sampah warna warni tersebar, tapi tak ada yang mengawasi. Bahkan petugas kebersihan sering menggabungkan semuanya kembali, akhirnya sampah yang dipisah itu tercampur lagi. Itulah penyebab sistem daur ulang di sekolah sering gagal.
Tak semua gagal, ada beberapa sekolah yang berhasil membuktikan bahwa perubahan itu bisa berhasil. Contohnya di SMPN 5 Yogyakarta mengelola sampah secara mandiri berupa pemilahan sampah dan penggunaan mesin incinerator dengan teknologi carbonizer yang tidak menimbulkan emisi seperti dioxin, furan maupun sulfur dioksida ke lingkungan. Sudah tahun kedua untuk pengelolahan sampah itu, mereka juga memiliki garda Zetra Pawitikra