IDN Times Xplore/Nine Nity_SMK NEGRI 9 MEDAN
Lingkungan adalah fondasi utama kehidupan manusia. Jika hutan di dunia rusak, dampaknya terasa hingga ke ruang terkecil tempat kita belajar dan hidup. Data terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa pada tahun 2024 Indonesia mengalami deforestasi netto sebesar 175,4 ribu hektare, meskipun terdapat usaha reforestasi sekitar 40,8 ribu hektare (Kementerian Kehutanan RI, 2025). Angka ini memang lebih rendah dibanding rata-rata deforestasi dalam sepuluh tahun terakhir, namun tetap mengkhawatirkan karena tren kerusakan hutan belum benar-benar berhenti (ANTARA, 2025).
Jika skala nasional saja masih menghadapi tantangan besar, maka di tingkat lokal kita harus memulai perubahan pola pikir. Sekolah, sebagai tempat pendidikan formal pertama bagi anak-anak, dapat menjadi fondasi kecil untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan. Dari taman sederhana di halaman sekolah, kita bisa melatih generasi muda untuk memahami makna keberlanjutan dan kepedulian ekologis.
Ruang Hijau di Sekolah: Lebih dari Sekadar Estetika
Ruang hijau sekolah sering dipandang hanya sebagai penghias atau penambah estetika bangunan. Padahal, taman sekolah memiliki fungsi jauh lebih besar. Menurut penelitian Ramadaniyanti (2023), taman sekolah terbukti meningkatkan motivasi belajar siswa karena memberikan suasana segar dan nyaman. DetikEdu (2022) juga menegaskan bahwa taman dapat menjadi sarana pembelajaran alternatif di luar kelas yang membantu mengurangi kejenuhan belajar.
Tidak hanya itu, sesuai dengan pengalaman kami taman sekolah juga bisa berfungsi sebagai laboratorium hidup. Melalui pengamatan langsung terhadap tumbuhan, tanah, dan serangga kecil, siswa dapat belajar biologi, geografi, bahkan seni, serta juga dapat menghilangkan kelelahan. Dengan demikian, ruang hijau berperan ganda: sebagai sumber ilmu pengetahuan dan sebagai sarana untuk menumbuhkan rasa peduli terhadap alam, serta menghilangkan rasa setres dan jenuh akibat belajar.
Sepengalaman saya sebagai siswa, menumbuhkan rasa peduli terhadap lingkungan di hati setiap siswa terbilang cukup sulit, dan inilah PR dari pemerintah dan para guru, serta juga untuk meluruskan dan mengamati sehingga taman sekolah tidak menjadi tempat berkumpul para siswa yang melakukan tindakan seperti merokok dsb.
Ecoliteracy: Belajar Hidup Selaras dengan Alam
Konsep ecoliteracy atau melek ekologi menawarkan pendekatan pembelajaran berbasis pengalaman. Yustria Liasni (2019) dalam penelitiannya menekankan bahwa melalui pemanfaatan taman sekolah, siswa tidak hanya menghafal teori ekologi, tetapi juga merasakan, mengamati, dan melakukan tindakan nyata untuk menjaga tanaman. Proses ini membantu menanamkan tiga tahap penting: feel (merasakan), do (bertindak), dan share (menginspirasi orang lain).
Bayangkan sebuah kelas yang memiliki program adopsi pohon. Setiap siswa bertugas merawat tanaman tertentu, mencatat pertumbuhannya, dan melaporkan perkembangannya. Dari sini mereka belajar disiplin, tanggung jawab, dan rasa memiliki terhadap lingkungan. Inilah bentuk reformasi pola pikir yang paling nyata: membiasakan anak untuk tidak hanya tahu, tetapi juga peduli dan bertindak.
Program Adiwiyata: Model Nyata di Indonesia
Indonesia sebenarnya sudah memiliki program nasional yang mendukung pendidikan lingkungan, yakni Program Adiwiyata. Program ini menekankan pentingnya keterlibatan seluruh warga sekolah dalam mengelola lingkungan secara berkelanjutan (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2023). Sekolah yang berhasil melaksanakan program ini biasanya memiliki kebun edukasi, sistem pengelolaan sampah, serta kegiatan rutin penghijauan.
Melalui Adiwiyata, sekolah bukan hanya tempat belajar akademis, tetapi juga arena pembentukan karakter peduli lingkungan. Jika lebih banyak sekolah serius mengadopsi model ini, reformasi pola pikir generasi muda dapat berlangsung lebih cepat.
Manfaat Sosial dan Psikologis
Lingkungan hijau di sekolah juga berdampak pada aspek sosial dan emosional siswa. Radar Semarang (2021) mencatat bahwa tamanisasi sekolah mampu meningkatkan rasa percaya diri, gotong royong, serta keterampilan sosial siswa. Ketika mereka bersama-sama merawat kebun atau taman, tercipta interaksi yang sehat dan rasa memiliki yang kuat terhadap sekolah.
Lebih jauh, keberadaan ruang hijau juga membantu menurunkan stres dan meningkatkan konsentrasi belajar. Anak-anak yang terbiasa berinteraksi dengan alam sejak dini cenderung memiliki empati lebih tinggi dan perilaku yang lebih peduli terhadap lingkungannya. Dengan kata lain, membangun ruang hijau berarti juga membangun karakter.
Peran Teknologi dan Kreativitas Generasi Muda
Selain praktik langsung, teknologi juga bisa menjadi jembatan kesadaran lingkungan di sekolah. Dokumentasi perkembangan taman melalui foto, video, atau laporan digital dapat dibagikan di media sosial sekolah. Siswa bisa membuat kampanye lingkungan, lomba desain taman, atau konten edukasi kreatif. Dengan cara ini, semangat peduli lingkungan tidak hanya berhenti di dalam sekolah, tetapi juga menyebar ke masyarakat luas.
Generasi muda saat ini memiliki akses ke platform digital yang dapat digunakan sebagai alat perubahan. Jika mereka bisa menjadikan isu lingkungan sebagai tren positif, maka pola pikir peduli alam akan lebih mudah berkembang.