[MADING] Tolak Throwaway Culture Tumbuhkan Budaya Zero Waste At School

Coba Kita lihat, dari alat tulis yang sering dibeli, botol plastik minuman yang terbuang (waste food), hingga barang-barang lain yang masih layak pakai tapi cepat dilupakan dan berakhir di tempat sampah. Sadarkah bahwa Kebiasaan ini tidak hanya menciptakan pemborosan sumber daya yang besar namun juga memperparah krisis lingkungan yang sudah mendesak. Halo teman! kami Tim Madjestic dari SMAIT Al Uswah. Melalui kesempatan yang diberikan IDN Times dan Pertamina dalam event mading kali ini, kami hendak mengajak pembaca sekalian untuk berbenah bersama, mulai dari menumbuhkan kesadaran dan pemahaman secara kolektif hingga aksi-aksi kecil melalui sarana sekolah. Maka dari itu, mari bersama mengambil langkah nyata untuk menolak throwaway culture dan menumbuhkan budaya zero waste. Mulai dari aksi di sekolah hingga di lingkup masyarakat sekitar.
TIM PEMBUAT REDAKSI
Guru pendamping: Srimin Dwi Marchellani, S.Pd
Penulis: Shofi Ayu Widiana
Desainer visual: Citra Nur Syifa
Fotografer & Videografer: Nasywa Laila Azzahra
Karya ini dibuat untuk keperluan kompetisi Mading Digital IDN Times Xplore 2025. Mading ini ditampilkan apa adanya tanpa proses penyuntingan dari redaksi IDN Times.
Esai: Latar Belakang

Berpaling dari Budaya Sekali Pakai: Peran Generasi Muda Menuju Zero Waste Melalui Teknologi dan Edukasi
Oleh: Shofi Ayu, Nasywa Laila
Pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: ke mana perginya semua gelas kopi, kantong plastik, dan kemasan makanan yang kita gunakan setiap hari? Dalam hitungan menit, benda-benda itu berpindah dari tangan kita ke tempat sampah, lalu menghilang dari pandangan. Namun, kenyataannya, sampah tersebut tidak benar-benar menghilang tetapi ia terus berada di bumi, mencemari tanah, laut, bahkan udara yang kita hirup. Fenomena ini dikenal sebagai throwaway culture, budaya sekali pakai yang secara diam-diam namun pasti merusak ekosistem.
Budaya ini bukan sekadar kebiasaan buruk, melainkan pola pikir yang mengakar. “Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang kita, kita meminjamnya dari anak cucu kita,” ujar pepatah kuno yang relevan hingga kini. Sayangnya, di tengah kemajuan teknologi, pola hidup konsumtif dan instan justru semakin kuat. Generasi muda, yang seharusnya menjadi motor perubahan, sering kali justru terjebak dalam kenyamanan budaya instan ini.
Pasca-pandemi COVID-19, fenomena fast living (gaya hidup cepat dan praktis yang semakin merajalela). Semua ingin serba instan seperti kopi takeaway, makanan dalam kemasan, belanja daring yang dikirim dalam bungkus berlapis-lapis. Di balik kemudahan ini, terkumpul timbunan sampah yang jumlahnya mengkhawatirkan.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2023) mencatat Indonesia memproduksi 68,5 juta ton sampah setiap tahun. Dari jumlah tersebut, 17% adalah plastik sekali pakai seperti kantong plastik, sedotan, wadah makanan, dan kemasan sachet. Ironisnya, hanya 7% sampah yang berhasil didaur ulang secara formal. Sisanya berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA), dibakar sehingga mencemari udara, atau hanyut ke sungai dan laut.
Situasi ini diperparah oleh tren fast fashion yang menghasilkan limbah tekstil dalam jumlah besar, serta budaya konsumsi cepat yang memicu peningkatan volume sampah. Laporan UNEP (2021) menunjukkan bahwa perkembangan ekonomi digital mempercepat laju pertumbuhan sampah, karena memicu pola belanja dan konsumsi yang instan. Riset Jambeck (Science, 2015) bahkan menempatkan Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik laut terbesar kedua di dunia, setelah Tiongkok.
Generasi muda urban memiliki akses teknologi dan informasi yang lebih luas dibanding generasi sebelumnya. Laporan Digital 2024 dari We Are Social menunjukkan bahwa 77% penduduk Indonesia terhubung ke internet, dengan mayoritas pengguna berasal dari kelompok usia muda. Namun, kemajuan ini belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk mendorong perubahan positif.
Alih-alih menjadi pusat gerakan keberlanjutan, sebagian anak muda justru terjebak dalam budaya instan yang mereka konsumsi sehari-hari. Media sosial lebih sering digunakan untuk hiburan viral ketimbang kampanye lingkungan. Padahal, teknologi digital memiliki potensi besar untuk membangun kesadaran kolektif dan mengubah perilaku konsumsi.
Generasi muda memegang posisi strategis dalam mengubah budaya sekali pakai menjadi budaya berkelanjutan. Dengan jumlah yang besar, energi kreatif, dan penguasaan teknologi, mereka memiliki modal sosial yang kuat untuk memimpin gerakan zero waste.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2023), 53% penduduk Indonesia berada pada kelompok usia produktif (15–39 tahun). Ini berarti mayoritas kekuatan sosial, ekonomi, dan budaya ada di tangan generasi muda. Mereka adalah pengguna media sosial paling aktif di Asia Tenggara, menghabiskan rata-rata 3 jam 11 menit per hari di platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube. Waktu ini seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan edukasi lingkungan secara masif.
Kampanye digital yang kreatif telah membuktikan efektivitasnya. Misalnya, #HabiskanMakananmu yang digagas Zero Waste Indonesia berhasil mengajak ribuan pengguna media sosial mengurangi food waste. Gerakan #TukarBajuForBetter mendorong masyarakat mengurangi fast fashion melalui aksi tukar pakaian, menggabungkan aspek keberlanjutan dengan tren anak muda. Di lapangan, inisiatif generasi muda juga membuahkan hasil nyata. Komunitas Bye Bye Plastic Bags yang didirikan Melati dan Isabel Wijsen di Bali berhasil mendorong kebijakan larangan kantong plastik sekali pakai. Gerakan Youth for Climate Indonesia aktif mengedukasi publik tentang krisis iklim, termasuk isu pengelolaan sampah. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa generasi muda bukan sekadar penerima informasi, tetapi juga penggerak perubahan kebijakan.
Di sektor pendidikan, Program Sekolah Adiwiyata yang dibina KLHK telah melibatkan ribuan sekolah dalam pengelolaan lingkungan, mulai dari bank sampah hingga pengolahan kompos. Banyak dari program ini digerakkan oleh siswa yang memanfaatkan project-based learning untuk mencari solusi kreatif mengatasi masalah sampah di sekolah dan lingkungan sekitar. Pemanfaatan teknologi juga menciptakan peluang inovasi. Aplikasi seperti Rapel dan Gringgo, yang dikembangkan anak muda Indonesia untuk membantu masyarakat mengelola sampah dengan sistem digital, dimulai dari pengumpulan, pemilahan, hingga daur ulang. Inovasi ini membuktikan bahwa isu lingkungan dapat diintegrasikan dengan peluang ekonomi yang berkelanjutan.
Beberapa negara telah membuktikan bahwa perubahan budaya konsumsi dapat dilakukan dengan dukungan generasi muda. Di Jepang, kebiasaan memilah sampah menjadi standar hidup berkat edukasi lingkungan yang dimulai sejak sekolah dasar. Di Korea Selatan, generasi muda memelopori gerakan zero waste café yang kini menjamur di berbagai kota. Di Eropa, gerakan Fridays for Future yang dipelopori Greta Thunberg menunjukkan bagaimana aksi kolektif anak muda dapat menekan pemerintah membuat kebijakan lingkungan yang tegas.
Jika generasi muda di negara lain bisa mendorong perubahan sebesar itu, generasi muda Indonesia juga dapat melakukan hal yang sama bahkan lebih. Indonesia memiliki kekayaan budaya gotong royong yang dapat menjadi fondasi kuat untuk gerakan keberlanjutan.
Perubahan gaya hidup memang tidak terjadi secara instan, tetapi dimulai dari kebiasaan kecil yang dilakukan konsisten. Membawa botol minum sendiri, menggunakan tas belanja kain, mengurangi belanja impulsif, atau memperbaiki pakaian lama adalah langkah awal yang sederhana namun berdampak besar.Kunci keberhasilan ada pada konsistensi dan penyebaran kesadaran kolektif. Generasi muda perlu melihat bahwa zero waste bukan sekadar tren, tetapi bentuk tanggung jawab terhadap bumi. Teknologi dan media sosial adalah alat yang bisa mempercepat penyebaran pesan ini, asalkan digunakan secara tepat.
Esai: Kesimpulan

Budaya sekali pakai bukan hanya masalah kebersihan, melainkan cerminan cara kita memandang bumi. Di tengah krisis lingkungan yang semakin nyata, generasi muda tidak boleh hanya menjadi penonton pasif. Dengan jumlah yang dominan, akses teknologi yang luas, dan semangat kreatif yang tinggi, mereka memiliki semua modal untuk memimpin gerakan zero waste.
Seperti yang dikatakan aktivis lingkungan Tiza Mafira, “Setiap tindakan kecil yang kita lakukan memiliki dampak, dan ketika dilakukan bersama, dampaknya menjadi besar.” Edukasi yang relevan dan teknologi yang inklusif adalah kunci mengubah gaya hidup konsumtif menjadi partisipatif, sadar, dan berkelanjutan.
Gerakan menuju zero waste bukan sekadar mengurangi sampah, tetapi tentang menghargai setiap sumber daya yang kita gunakan. Demi bumi yang tetap layak huni bagi generasi mendatang.
Infografik

Infografik “Eco-Waste Starts at School!” menyoroti pentingnya peran sekolah dalam membangun budaya peduli lingkungan melalui pendekatan Zero Waste School. Dengan menampilkan data faktual bahwa sebagian besar sekolah di Indonesia belum aktif dalam program lingkungan, infografik ini mendorong kesadaran bahwa aksi nyata harus dimulai dari lingkungan pendidikan.
Melalui ajakan menjadi Generasi Emas VELOCITY, ditawarkan langkah konkret seperti membiasakan kebersihan, mengurangi penggunaan plastik dan energi, mengolah sampah menjadi inovasi, serta menggerakkan kolaborasi hijau. Semua elemen ini menunjukkan bahwa perubahan menuju sekolah bersih, sehat, dan berbudaya hijau bukan hanya mungkin, tapi sudah saatnya dilakukan bersama mulai dari sekarang, mulai dari sekolah.
Rubrik Diskusi: Infografik Pertamina

Rubik info "Ecoformers: Transformasi Hijau Pertamina" menggambarkan bagaimana peran Pertamina secara strategis dalam mempertahankan kemandirian energi, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menavigasi peralihan menuju energi bersih dengan mengembangkan aksi nyata di lapangan yang mulai mengatasi akar permasalahan lingkungan dan sosial. Mulai dari mengolah limbah dan tempurung kelapa menjadi briket ramah lingkungan di Tuban, memulai produksi gas pertama di Sumur 1A Panduri, hingga membersihkan pantai dan menjalankan kampanye edukasi kesehatan di Panduri.
Upaya ini bertujuan untuk mewujudkan transformasi hijau melalui kerja nyata bersama masyarakat. Namun, tanpa transparansi, kontinuitas, dan evaluasi kritis, aksi-aksi ini berisiko hanya menjadi simbolis belaka. Perubahan nyata membutuhkan komitmen jangka panjang dan kemauan untuk menghadapi tantangan, bukan sekadar membangun narasi kesuksesan.
Foto Bercerita

"Zero Waste Mode On!" menggambarkan komitmen SMAIT Al Uswah Tuban dalam membangun budaya hidup berkelanjutan. Prinsip zero waste dipandang sebagai langkah preventif yang dimulai sejak proses penggunaan, bukan hanya pada tahap pembuangan. Setiap warga sekolah diajak untuk berkontribusi melalui tindakan sederhana yang konsisten, sehingga tercipta dampak positif yang berkelanjutan bagi lingkungan.
Gambar yang ditampilkan menunjukkan berbagai aktivitas, seperti memilah sampah, membersihkan area sekolah, mengolah limbah menjadi produk kreatif Semua ini mencerminkan penerapan nyata nilai-nilai zero waste di lingkungan pendidikan.
Dengan slogan "Clean School, Clear Mind-Zero Waste, Full Impact", SMAIT Al Uswah Tuban mengajak seluruh siswa untuk menjadi bagian dari perubahan besar demi bumi yang lebih baik.
Foto Behind The Scene

Dari kata manjadi karya lahir dari banyak hal brainstorming rame-rame, revisi desain bolak-balik, huntig foto, sampai bikin video reels harus retake gara-gara kebanyakan becanda.
Prosesnya ga selalu mulus, tapi disitulah serunya! Dari satu ide kecil, akhirnya jadi konsep besar. Dari draf berantakan jadi mading penuh cerita.
Mading ini bukan sekadar hasil, tapi potret perjalanan kami tentang kerja sama, kreativitas dan momen-momen yang bakal terus diingat.
Kami, Tim MADjestic3 dari SMAIT Al Uswah Tuban percaya bahwa bumi bukan sekadar tempat tinggal namun juga amanah yang harus dijaga dengan segenap hati. Melalui mading digital ini, kami ingin berbicara bahwa sebagai generasi yang tumbuh di dunia yang masih hijau, layak dihuni, dan bebas bernapas. Kami sadar, langkah kami mungkin kecil, tapi membiarkan diri diam sama saja membiarkan kerusakan berjalan. Dari kesempatan ini, kami memilih untuk memulai aksi karena menjaga bumi bukan pilihan melainkan sebuah kewajiban yang harus dimulai dari sekarang.