IDN Times Xplore/TIKASMANSAPURA_SMA Negeri 1 Amlapura
Pagi di Bali tak selalu tentang harum dupa dan suara gamelan khas pulau itu. Di Denpasar dan kota-kota kebanggaannya, truk-truk sampah berderet membawa ratusan bahkan ribuan ton sisa konsumsi. Sebagian besar sampah organik yang bercampur plastik. Angka itu terus bertumbuh, seperti ingatan yang pudar akan masa ketika manusia masih menata dan menjaga alam dengan cinta. Seakan mencintai raga dan jiwanya sendiri.
Tanah Dewata, yang dulu dihormati sebagai “warisan suci”, kini terancam oleh tumpukan sampah. Plastik sekali pakai dan sisa makanan mendominasi, akibat jejak pariwisata yang masif dan melemahnya nilai-nilai tradisi.
Menurut data resmi Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), pada tahun 2024, Bali menghasilkan 1,2 juta ton sampah per tahun, dengan Kota Denpasar sebagai penyumbang terbesar: sekitar 360.000 ton. Sebanyak 68,32% dari jumlah itu adalah sampah organik seperti sisa makanan dan ranting kayu, yang sayangnya sebagian besar tak dimanfaatkan secara optimal, malah berakhir di TPA bersama plastik yang tak pernah terurai.
Dahulu, masyarakat Bali menjaga setiap helai daun yang jatuh. Merawat sungai yang seakan mengalirkan doa. Menjadikan setiap pekarangan sebagai cerminan batin penghuninya. Namun saat ini, dalam kenyamanan gemerlap pariwisata, kesucian itu mulai terganti rasa malas dan tak acuh. Gotong royong, yang dulu hidup di setiap banjar, kini sering jadi kata kosong. Tak banyak tangan terulur membersihkan, dan sampah hanya dianggap rutinitas. Lantas, apakah kebersihan masih menjadi budaya, atau hanya rutinitas kosong yang dijalankan tanpa makna?
Di tengah keprihatinan ini, lingkungan sekolah seharusnya menjadi garda terdepan dalam menanamkan kembali nilai-nilai kebersihan sebagai bagian dari budaya sejak dini. Lingkungan sekolah sejatinya adalah panggung pengamalan untuk menumbuhkan kesadaran.
Saat ini, belum banyak data khusus tentang kondisi kebersihan atau pengelolaan sampah di sekolah-sekolah Bali. Namun, bisa diasumsikan banyak yang berakhir serupa: anorganik, organik, dan residu bercampur, tanpa sistem pengelolaan terstruktur. Padahal, di sinilah seharusnya Tri Hita Karana, harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan, dibuat nyata dalam tingkah laku sehari-hari.
Salah satu praktik yang bisa menjembatani filosofi itu adalah teba modern. Di Bali, teba modern telah menjadi salah satu solusi efektif pengelolaan sampah rumah tangga hingga sekolah. Banyak masyarakat memanfaatkannya untuk mengolah sampah organik menjadi kompos, memelihara tanaman, bahkan memelihara ternak dalam lingkup yang ramah lingkungan. Prinsip yang sama dapat diadopsi dan diperluas di sekolah sebagai pusat edukasi sekaligus pengelolaan limbah.
Dengan teba modern di sekolah, sampah organik dari kantin dan kebersihan halaman bisa langsung diolah di lokasi. Kompos yang dihasilkan dapat digunakan untuk taman sekolah atau kebun edukasi siswa.
Selain pengelolaan sampah organik melalui teba modern, tantangan terbesar justru datang dari plastik sekali pakai. Warisan industri pariwisata dan perubahan pola konsumsi masyarakat. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK, komposisi sampah di Bali didominasi oleh sampah organik yang mencapai 65%. Sedangkan sampah plastik menyumbang 17,3%, dan 17,8% sisanya berasal dari kategori sampah lain.
Meskipun plastik tidak mendominasi secara keseluruhan, dampaknya sangat mencolok karena sebagian besar berakhir di TPA atau tercecer di lingkungan. Bahkan dampak terbesarnya dapat mencemari sungai hingga laut. Bila tidak ditangani serius, upaya menjaga harmoni antara manusia dan alam akan goyah.
Sekolah dapat berperan aktif dengan pendekatan reduksi dan sirkularisasi. Bisa dengan menerapkan kebijakan zero single-use plastic di kantin sekolah, misalnya mendorong siswa membawa tempat makan/minum sendiri, menggunakan kemasan ramah lingkungan, serta menyediakan galon isi ulang air minum.
Plastik yang tetap muncul, dapat dipilah sejak awal lalu disalurkan ke bank sampah mitra, UMKM daur ulang, atau program kreatif siswa seperti pembuatan ecobrick dan kerajinan daur ulang lainnya. Dengan begitu, plastik tidak berhenti sebagai limbah, tetapi diputar kembali ke dalam siklus ekonomi.
Lebih dari sekadar solusi teknis, penerapan teba modern maupun program pengelolaan sampah lainnya di sekolah adalah upaya menghidupkan kembali pandangan ekosentrisme yang telah lama hidup dalam tradisi Hindu Bali. Pandangan ini menolak menjadikan manusia sebagai pusat segalanya, melainkan mengakui bahwa seluruh ciptaan Tuhan (manusia, hewan, tumbuhan, tanah dan air) memiliki nilai yang setara dalam jejaring kehidupan.
Maka dari itu, baik saat mengolah sampah organik melalui teba, mengurangi plastik sekali pakai dengan kebijakan zero waste, maupun menyalurkan anorganik ke bank sampah, semua langkah tersebut pada dasarnya adalah praktik nyata menjaga harmoni semesta.
Seperti tersurat dalam Yayur Veda (Sloka LX.I dan VIII): “Isa vasyam idam sarvam yat kim ca jagatam jagat tena tyakva. Bhunjitha magrdah kasya svid dhanam.” yang artinya “Segala sesuatu yang sungguh-sungguh ada, yang bergerak, yang memiliki kehidupan di alam semesta ini, diliputi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Pandanglah dunia yang serba benda itu dengan perasaan tanpa keterikatan, dan janganlah menginginkan kekayaan siapapun.” Kutipan ini mengingatkan bahwa menjaga alam bukan hanya soal kebersihan lingkungan, tetapi juga bentuk penghormatan spiritual kepada Tuhan dan seluruh ciptaan-Nya.
Pesan serupa juga ditekankan dalam sloka berikutnya: “Mà-apo himsìr, mà-osadhìr himsìh...” yang berarti “Janganlah mencemari air dan janganlah menyakiti atau menebang pohon-pohon itu.” Ajakan ini menegaskan bahwa penghormatan kepada alam harus diwujudkan dalam tindakan konkret, seperti menjaga air tetap bersih dan melindungi keberlangsungan tumbuhan.
Dengan demikian, sloka-sloka tersebut tidak hanya bersifat filosofis, tetapi juga memberi pedoman praktis bagi umat manusia untuk hidup selaras dengan alam. Spirit inilah yang seharusnya dihidupkan kembali dalam praktik keseharian, termasuk melalui pengelolaan sampah di sekolah. Dengan menerapkan sistem pemilahan sampah di sekolah, pengolahan sampah organik menjadi kompos, dan mendaur ulang plastik melalui bank sampah, sekolah tidak hanya mengajarkan kebersihan teknis, tetapi juga menanamkan nilai ekosentrisme yang telah lama tertanam dalam tradisi Hindu Bali. Dalam konteks ini, menjaga lingkungan berarti melestarikan keharmonisan antara manusia, alam dan Tuhan sebagaimana diajarkan dalam Tri Hita Karana.