“Basmi Sampah untuk Bumi Lebih Indah”
Awal Dari Segala Perhatian
Pernahkah kita merasa bingung harus membuang pembalut di mana, atau memasuki toilet sekolah yang berbau tidak sedap karena saluran tersumbat sampah? Masa remaja adalah fase transisi yang penuh tantangan, bukan hanya secara emosional dan sosial, tetapi juga dalam membentuk kebiasaan terhadap lingkungan. Persoalan sampah di kalangan remaja kini semakin kompleks: dari limbah pembalut, kemasan minuman kopi susu yang marak dijual keliling, hingga bungkus snack yang mudah dibeli lewat aplikasi. Semua menyisakan jejak panjang bagi bumi jika tidak dikelola dengan benar. Unggahan TikTok Pandawara Group tentang limbah pembalut di sungai sempat menuai stigma yang menyudutkan perempuan sebagai pihak yang “jorok”. Padahal, masalah ini tidak sesederhana itu. Minimnya edukasi tentang kebersihan menstruasi, keterbatasan fasilitas sanitasi yang layak, dan ketiadaan kebijakan yang jelas membuat penanganan limbah pembalut menjadi persoalan struktural, bukan sekadar kesalahan individu. Situasi yang sama juga terlihat pada meningkatnya sampah dari minuman kekinian dan snack kemasan yang digemari remaja; kebiasaan konsumtif yang tidak diimbangi kesadaran lingkungan melahirkan tumpukan plastik setiap hari.
Akar Dari Segala Masalah
Data menunjukkan sebagian besar perempuan Indonesia memilih pembalut sekali pakai karena murah dan praktis, tetapi bahan penyusunnya mengandung plastik dan Super Absorbent Polymer (SAP) yang butuh 20–35 tahun untuk terurai, bahkan bisa mencapai 500–800 tahun bila bercampur bahan plastik dan serat selulosa. Dengan sekitar 69% dari 135 juta perempuan Indonesia berada pada usia menstruasi, potensi limbah pembalut yang dihasilkan sangat besar. Sayangnya, menurut studi Plan International Indonesia (2016), hanya 25% anak perempuan yang diajarkan cara membuang pembalut secara benar. Sementara itu, Profil Sanitasi Sekolah 2020 mencatat hanya 16% sekolah yang memiliki fasilitas sanitasi dasar lengkap. Di sisi lain, Undang-Undang No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah belum mengatur secara spesifik tentang limbah menstruasi, membuatnya sering luput dari kebijakan nasional. Dalam konteks yang lebih luas, tren konsumsi minuman kemasan juga menyumbang persoalan serupa. Gelas plastik, sedotan, dan tutup yang digunakan sekali pakai menambah beban sampah, sementara sistem daur ulang yang tersedia masih terbatas.
Jejak Yang Menjadi Dampak
Dampak dari kelalaian dalam mengelola sampah tidak bisa dipandang remeh. Pembalut yang dibuang ke kloset dapat menyumbat toilet dan menciptakan bau tidak sedap, bahkan meningkatkan risiko infeksi saluran kemih dan iritasi kulit pada remaja perempuan. Lingkungan sekolah yang tidak higienis menurunkan kenyamanan belajar dan menumbuhkan rasa malu, sehingga partisipasi siswa—terutama perempuan—menjadi terganggu. Di luar sekolah, pembalut bekas dan plastik kemasan yang hanyut ke saluran air mencemari ekosistem, merusak habitat satwa, dan menurunkan kualitas air bersih. Plastik yang terurai menjadi mikroplastik kemudian masuk ke rantai makanan, membahayakan kesehatan manusia. Dampak sosial pun tak kalah serius; masyarakat sekitar sungai atau pantai sering menjadi pihak yang paling merasakan kerugian, baik karena banjir yang dipicu sampah maupun menurunnya kualitas sumber daya alam yang menjadi mata pencaharian mereka.