IDN Times Xplore/Laskar Madyapadma_SMA Negeri 3 Denpasar
Banyak pelancong kagum dengan segala-galanya tentang Bali. Jutaan orang kini bolak-balik Bali setiap tahunnya. Mereka ingin tau, ingin mengurai apa yang membuat Bali tak bisa dilupakan. Mungkin sebab orang Bali itu ramah dengan wisatawan, mereka pandai memanusiakan manusia. Boleh jadi keberadaan lanskap alam yang memanjakan mata sukses menjadi magnet. Barangkali kentalnya budaya serta adat istiadat yang menjadi bagian hidup orang Bali. Harmoni hidup orang Bali yang memikat didasarkan pada satu konsep, falsafah kuno Tri Hita Karana.
Pada dasarnya, Tri Hita Karana adalah napas orang Bali. Aspek keseimbangan yang perlu dijaga selayaknya manusia menjaga dirinya. Dituliskan bahwa Tri Hita Karana memuat: Parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan antar sesama manusia), serta Palemahan (hubungan manusia dengan alam). Konsep ini berlaku pada setiap jejak kehidupan manusia Bali. Berkelindan secara natural, misalnya dalam berbagai upacara adat yang ada.
Setiap upacara adat Bali dilakukan untuk memuja dan memohon restu kepada Tuhan. Dalam prosesnya, upacara adat tak bisa dilakukan sendiri, orang Bali akan berkumpul, bekerja sama, dan ngayah (kerja sukarela atau pengabdian tanpa pamrih). Kemudian, orang Bali yang selalu hidup berdampingan dengan alam pun tak lupa mengambil bagiannya. Janur, bunga, dan buah tak pernah absen menghias banten-banten (sesaji) upacara.
Tetapi, orang Bali juga mudah lupa. Mungkin karena kadung menganggap upacara adat bersifat suci, residu yang ditinggalkan berupa sampah-sampah upakara menggunung dalam diam. Entah enggan atau tak sudi. Padahal, semakin ke sini, pernak-pernik banten tak sepenuhnya lagi berasal dari alam. Semat diganti staples berbahan metal hingga bunga sintetis dari plastik. Jauh dari konsep berdampingan dengan alam. Kini sampah upakara menjamur, tapi jarang kali menggelitik orang Bali. Seperti sekadar tahu Tri Hita Karana, tahu konsep palemahan. Tetapi, implementasinya masih jauh dari abai.
Mungkin hari ini kita masih bisa bernapas lega, sebab tak semua orang Bali begitu. Bersikap sekadar saja, menyerahkan nasib sepenuhnya pada karma dan takdir. Padahal menyelamatkan alam hanya butuh keinginan, bukan sikap pasrah. Lewat sesuatu yang kecil dan menyenangkan. Lewat sekumpulan anak muda yang punya hobi menjelajah. Lewat suatu taman bermain. Lewat Madyapadma Journalistic Park. Ekstrakurikuler jurnalistik di SMA Negeri 3 Denpasar.
Memangnya apa yang spesial dari sekumpulan jurnalis muda ini? Mereka melakukan segalanya. Berkumpul di ruang kreatif yang diberi nama Ruang Prajna Paramitha (RPP), tempat di mana ide-ide gila terbentuk dan terwujud. Madyapadma itu ekstrakurikuler jurnalistik, maka lewat jurnalistik juga Madyapadma punya jejak dalam ranah lingkungan. Melalui aksi jurnalisme lingkungan, Madyapadma tumbuh dan bergerak. Tapi arah tumbuh itu tak hanya terbatas pada tulisan. Ada banyak cara yang dilakukan. Misalnya lewat dunia audiovisual, lewat film, lewat radio, lewat TV. Atau lewat dunia yang sedang bertumbuh dengan cepat akhir-akhir ini, dunia riset. Kalau berbicara riset untuk lingkungan, Madyapadma punya jejak yang panjang. Berdasarkan data dari Desk HI & HKI Rumpun Technopreneur Madyapadma, telah terdaftar 69 Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dari berbagai penelitian lingkungan milik Madyapadma.
Mereka punya hobi menjelajah yang tak hanya sekadar label. Mereka benar-benar menjelajah Pulau Bali lewat kegiatan rutin bernama Ekspedisi. Tetapi, Ekspedisi bukan sekadar jalan-jalan. Lewat ekspedisi, Madyapadma melakukan eksplorasi, riset, jurnalisme, liputan TV, liputan radio, film, penulisan buku, bakti sosial, bersepeda, ziarah, hingga mengamati bintang. Seluruhnya merupakan bentuk penerapan berbagai disiplin ilmu yang dipelajari selama mengikuti ekstrakurikuler jurnalisme.
Jejak Ekspedisi Madyapadma bermula lebih dari dua dekade lalu, tepatnya tahun 2003. Ekspedisi pertama diberi nama “Menembus Kabut Asah Panji”, dengan demikian mereka mengeksplor Desa Asah Panji dan kawasan Danau Tamblingan di Kabupaten Buleleng. Langkah pertama ini memulai seri ekspedisi di tahun-tahun berikutnya. Sejak itu, ekspedisi menjadi acara yang dinanti setiap tahunnya.
Ekspedisi demi ekspedisi bagai secarik catatan perjalanan tentang Bali. Berbaur dalam semangat jurnalistik, kepedulian lingkungan, dan gelora anak muda. Setiap langkah mereka adalah upaya untuk membaca isyarat alam. Menemukan yang tersembunyi dibalik keindahan alam, menelanjangi luka alam Bali. Erosi pantai, hutan mangrove yang tercemar, ancaman tsunami di pesisir selatan, hingga krisis sosial-ekonomi masyarakat pesisir.
Tak pulang dengan tangan kosong, Madyapadma datang dengan upaya. Upaya kecil dari anak muda dengan semangat yang besar. Misalnya pada “Ekspedisi Mangrove Suwung”, Madyapadma tak hanya meneliti kondisi hutan mangrove yang tercemar, tetapi juga menanam bibit sebagai bentuk pemulihan kecil. “Ekspedisi Teluk Benoa” bahkan melahirkan penelitian ilmiah tentang fitoplankton yang kemudian menembus panggung penelitian internasional, membawa nama Bali lewat ajang Intel International Science and Engineering Fair (IISEF). Pada Ekspedisi Jelajah Kopi Kintamani, memasuki Desa Mengani, kanan dan kiri jalannya dipenuhi kebun-kebun kopi. Tersembunyi dibalik tebalnya kabut pegunungan, Madyapadma mendengar kisah petani kopi yang berjuang menjaga tradisi di tengah arus modernisasi. Di Serangan, di tengah perairan tenang diselingi hutan mangrove, Madyapadma menyaksikan nelayan yang semakin sulit melaut sebab laut kian terkikis limbah dan pelik reklamasi. Di pesisir tenggara Bali, dibalik pantainya yang cenderung landai dihiasi pasir putih kecokelatan, Madyapadma membaca jejak ketakutan masyarakat akan tsunami dan abrasi pantai yang merampas ruang hidup mereka.