IDN Times Xplore/VINR GAIA_SMAN 1 CIBADAK
Bayangkan: niat baik kita menjaga bumi ini justru berubah menjadi pisau yang menusuk punggung bumi. Kita membeli sedotan kertas dengan bangga, memilih botol minum bertuliskan eco-friendly, atau kosmetik berlabel natural, lalu merasa sudah ikut menyelamatkan bumi. Namun kenyataan pahitnya, semua itu sering kali hanyalah "Jebakan Hijau" yang sengaja diciptakan perusahaan melalui praktik bernama greenwashing.
Greenwashing dapat disebut sebagai “kepedulian palsu” yang dipoles dengan kata-kata indah. Perusahaan menutupi kerusakan yang mereka ciptakan dengan kemasan hijau, slogan ramah lingkungan, dan janji manis yang terdengar begitu meyakinkan. Konsumen dipaksa percaya bahwa pilihan mereka punya dampak positif, padahal sesungguhnya kita sedang memberi ruang pada kebohongan yang semakin melukai bumi. Ini tentunya menjadi masalah besar, bukan hanya soal produk, tetapi juga tentang bagaimana persepsi publik dimanipulasi demi merauk keuntungan.
Tidak bisa dipungkiri, isu lingkungan kini menjadi perhatian global. Dunia menghadapi krisis besar, seperti perubahan iklim yang ekstrem, hutan yang habis digunduli, laut dipenuhi plastik, dan udara yang tercemar polusi. Kesadaran masyarakat terhadap gaya hidup berkelanjutan pun meningkat. Sayangnya, kesadaran ini berubah menjadi celah yang dimanfaatkan perusahaan bukan sebagai panggilan untuk berubah, melainkan peluang untuk bisnis. Label “eco-friendly”, “green product”, atau “sustainable” ditempel dengan mudah, padahal sering kali label hijau ini hanya untuk menutupi jejak hitam dalam proses produksi mereka.
Kita ambil contoh sederhana: sedotan kertas yang selama ini dipromosikan sebagai penyelamat bumi. Sekilas, produk ini tampak sebagai alternatif ramah lingkungan yang mampu menggantikan plastik sekali pakai. Tapi benarkah sedotan kertas benar-benar menjadi solusi hijau? Kenyataannya justru berbeda. Penelitian yang dilakukan Universitas Antwerp sebuah kampus dengan reputasi internasional dalam riset lingkungan dan PFAS. Mengungkap bahwa pada tahun 2023, sebanyak 90% sedotan kertas yang diuji, mengandung PFAS (Per- and Polyfluoroalkyl Substances), bahan kimia beracun yang sulit terurai dan dapat mencemari tanah maupun air selama ratusan tahun. Lebih memprihatinkan lagi, PFAS juga berpotensi membahayakan kesehatan manusia. Fakta ini menegaskan bahwa tidak semua produk berlabel “Eco-Friendly” benar-benar aman. Alih-alih menjadi solusi, sedotan kertas justru menghadirkan masalah baru yang lebih berbahaya, tersembunyi, dan sulit diatasi. Dengan demikian, sedotan kertas bukanlah simbol penyelamatan bumi, melainkan contoh nyata praktik greenwashing menjual citra hijau tanpa memberi solusi sejati.
Bahaya yang lebih luas dari greenwashing bukan sekadar kebohongan kecil. Dampaknya merambat luas:
•Merusak kepercayaan publik. Konsumen yang kecewa bisa menjadi tidak peduli dan menganggap semua produk ramah lingkungan hanyalah tipu daya.
•Terhambatnya perubahan global merupakan dampak nyata dari praktik ini. Praktik ini membuat batas antara solusi nyata dan ilusi menjadi kabur, sehingga target penting seperti SDG 12 (Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan) berisiko gagal tercapai.
Bahaya terbesar bukan hanya pada produk yang dijual, tetapi pada ilusi yang diciptakan. Masyarakat dibuat percaya bahwa perubahan sudah terjadi, padahal sistem produksi yang merusak bumi tetap berjalan.
Fenomena greenwashing juga sangat nyata di Indonesia. Banyak produk di pasaran tampil dengan wajah “hijau” yang menipu. Misalnya, kosmetik dengan klaim “natural”, deterjen berkemasan hijau dengan tulisan eco-friendly, hingga minuman dalam botol plastik sekali pakai yang dipasarkan sebagai “sustainable”. Semua tampak indah di permukaan, namun faktanya masih banyak perusahaan yang membuang limbah ke sungai, mengeksploitasi hutan, dan merusak ekosistem laut. Ironisnya, konsumen Indonesia sering kali tidak memiliki akses informasi yang cukup untuk memverifikasi klaim tersebut, sehingga mudah terjebak oleh label hijau yang menyesatkan.
Jenis-jenis praktik greenwashing yang marak terjadi di Indonesia jika diperhatikan lebih dalam sesungguhnya bisa dijelaskan melalui beberapa pola umum:
1. Hidden Trade-off (Menutupi Dampak Lain). Perusahaan menonjolkan satu sisi ramah lingkungan, tetapi menutupi sisi lain yang merusak. Contoh: produk kertas yang diklaim dari hutan lestari, tetapi proses produksinya boros energi dan air.
2. No Proof (Tanpa Bukti). Banyak produk bertuliskan “100% eco-friendly” atau “natural” tanpa sertifikasi resmi maupun laporan valid yang mendukung.
3. Vagueness (Klaim Kabur). Label samar seperti “green”, “alami”, atau “ramah lingkungan” sering dipakai tanpa penjelasan jelas. Misalnya, sabun dengan tulisan “green” tanpa keterangan bahan maupun proses produksinya.
4. Irrelevance (Tidak Relevan). Klaim yang benar, tetapi tidak penting untuk isu lingkungan saat ini. Misalnya, tulisan “bebas CFC” pada produk aerosol, padahal CFC sudah lama dilarang secara global.
5. Worshiping False Labels (Label Palsu). Tidak jarang perusahaan menempel logo hijau palsu seolah-olah itu sertifikasi resmi, padahal hanya buatan sendiri tanpa pengakuan dari lembaga independen.