IDN Times Xplore/Journey Suksma_SMA Negeri 1 Sukawati
“Tupperware hilang, sapu melayang.”
Awalnya hanya candaan klasik di media sosial, tentang amukan emak-emak karena kotak makan yang lenyap dibawa anaknya. Namun, di balik candaan itu, ada pesan mendalam, dimana kita terlalu sering menyepelekan hal kecil yang ternyata berdampak besar. Ketika produk reusable seperti kotak makan mulai dianggap remeh, plastik sekali pakai justru menjadi kebiasaan. Tercemarnya lautan menjadi contoh nyata bahwa ancaman sampah plastik bukan wacana semata. Pada tahun 2019, dunia dikejutkan oleh penemuan seekor paus mati dengan 40 kg sampah plastik memenuhi perutnya. Hal ini menjadikan sampah plastik sebagai masalah yang harus segera ditangani. Alam seakan memberi kita peringatan keras untuk menyadari betapa seriusnya masalah ini.
Plastik sekali pakai memang praktis, tapi jejaknya mengintai bumi selama ratusan tahun. Data dari UNEP (2025) menunjukkan bahwa dunia memproduksi lebih dari 400 juta ton sampah plastik pada tahun 2024, namun hanya 10% yang berhasil didaur ulang. Lalu, kemana sisanya bermuara? Sampah itu mengalir ke sungai, tersangkut di laut, terkubur di tanah, bahkan masuk ke tubuh makhluk hidup, dari ikan hingga manusia. Negara Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara penyumbang sampah plastik terbanyak di dunia. Sebesar 70%-80% pencemaran laut di Indonesia umumnya berasal dari aktivitas manusia, seperti penggunaan plastik sekali pakai dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menyebabkan terumbu karang rusak, hewan laut mati menelan plastik, bahkan mikroplastik ditemukan dalam air minum. Semuanya bukan hanya skenario film fiksi, tetapi sebuah realita.
Solusinya sederhana, cukup pakai ulang, bukan pakai, lalu dibuang. Barang-barang reusable, seperti botol minum, kotak makan, tas belanja kain, dan sedotan stainless bukan sekedar tren gaya hidup hijau. Justru, hal itu menjadi senjata utama untuk memutus rantai konsumsi plastik sekali pakai. Menurut studi National Geographic (2023), satu penggunaan tumbler oleh setiap orang dapat mengurangi sekitar 167 botol plastik per tahunnya. Sekarang, bayangkan jika hal itu dilakukan oleh jutaan orang, maka sampah plastik akan perlahan berkurang dan secara tidak langsung, kita sedang menyelamatkan bumi ini dari kerusakan serta pencemaran.
Langkah kecil ini akan semakin berdampak jika dilakukan bersama. Pulau Bali sebagai ikon pariwisata di Indonesia juga tidak luput dari ancaman sampah plastik. Melalui Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 mengenai Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai, toko swalayan hingga restoran tidak lagi diperbolehkan menyediakan kantong plastik, sedotan plastik, dan styrofoam. Peraturan ini menjadi pijakan penting untuk mendorong masyarakat beralih ke produk reusable yang ramah lingkungan. Hal serupa juga diterapkan oleh SMA Negeri 1 Sukawati, di mana aturan bebas plastik sekali pakai telah diberlakukan. Seluruh warga sekolah bahkan kantin kini menggunakan kotak makan dan tumbler, khususnya saat Gerakan Sekolah Sehat setiap hari Jumat pagi. Penerapan ini mungkin tampak sederhana, tapi perlahan membentuk budaya baru, "Sadar lingkungan dimulai dari kebiasaan harian". Hal ini sejalan dengan adanya Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 09 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah, yang mengatur pengelolaan sampah berbasis sumber dan pembatasan penggunaan sampah sekali pakai. Peraturan ini diwujudkan dengan menghadirkan teba modern di lingkungan sekolah yang turut didukung oleh seluruh warga sekolah. Teba modern merupakan teknologi berbasis kearifan lokal yang diperuntukkan untuk mengolah sampah organik menjadi pupuk. Dengan perkembangan teknologi, kehadiran plastik di tengah kehidupan masyarakat justru menjadi pisau bermata dua, dapat menyelamatkan sekaligus mengancam lingkungan. Namun, seiring berjalannya waktu, teba modern yang awalnya menjadi tempat untuk mengolah sampah organik justru dipenuhi oleh sampah plastik. Penyebab terjadinya kondisi ini adalah kurangnya kesadaran warga sekolah dalam mengelola sampah plastik. Selain itu, perilaku acuh tak acuh terhadap lingkungan sekolah juga menjadi salah satu penyebabnya. Oleh karena itu, perlu adanya edukasi guna meningkatkan kesadaran masyarakat sehingga dapat meminimalisir plastik sekali pakai melalui penggunaan produk reusable.
Gerakan ini diperkuat melalui beragam edukasi kreatif dari para influenser muda yang peduli terhadap lingkungan. Nama seperti Jerhemy Owen menjadi contoh nyata bagaimana sebuah edukasi dapat memengaruhi pola pikir masyarakat luas. Lewat berbagai konten edukatif di media sosial, Jerhemy mengajak anak muda hidup minim sampah dan peduli dengan isu-isu lingkungan. Begitu juga dengan Pandawara Group yang viral dengan aksi bersih-bersih sungai. Mereka membuktikan bahwa aktivisme bisa dikemas secara menarik dan berdampak luas. Tak heran, banyak aksi peduli lingkungan yang lahir dari dorongan dan pengaruh para green influencer tersebut, seperti kampanye peduli lingkungan, menanam pohon, dan aksi membersihkan perairan. Hingga munculnya “Bye Bye Plastic Bags” yang mengkampanyekan gerakan bebas kantong plastik melalui media sosial. Fenomena ini menandakan bahwa teknologi dan kreativitas, kini menjadi sarana penting untuk membentuk kesadaran masyarakat, terutama generasi muda untuk menjaga lingkungan.
Saat ini, sampah plastik masih menjadi keresahan di tengah kehidupan masyarakat. Produksi sampah plastik yang kian hari kian bertambah merupakan ancaman nyata bagi kelangsungan hidup manusia dan planet bumi. Sehingga diperlukan solusi dan aksi nyata dari seluruh lapisan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang asri dan berkelanjutan. Menumbuhkan kebiasaan sederhana melalui penggunaan produk reusable menjadi salah satu solusi untuk menekan produksi sampah plastik.
Ibarat peribahasa “Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit”, meski nampak sederhana, namun dengan dukungan dari masyarakat luas, kebiasaan ini dapat membentuk tren gaya hidup ramah lingkungan yang berdampak pada penurunan produksi sampah plastik. Sehingga bumi lestari bisa kita wariskan kepada anak cucu kita nanti. Melalui berbagai kolaborasi yang dilakukan secara konsisten, isu-isu lingkungan, terutama sampah plastik akan teratasi melalui edukasi digital yang melibatkan peran aktif generasi muda. Diharapkan, perubahan gaya hidup ini akan menciptakan bumi yang hijau.