Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi membaca novel
ilustrasi membaca novel (pexels.com/Patricia Bozan)

Sejarah mencatat bahwa demokrasi tidak pernah benar-benar aman, karena bisa runtuh perlahan lewat manipulasi, kebohongan, atau bahkan melalui janji-janji manis. Karena itu, banyak penulis fiksi memilih tema ini sebagai peringatan. Melalui novel, mereka membayangkan ketika kebebasan dihapus, rakyat dibungkam, dan kekuasaan dikuasai oleh segelintir orang di dunia.

Novel-novel berikut bukan sekadar hiburan, tetapi juga teguran. Cerita-cerita ini memperlihatkan betapa rapuhnya demokrasi ketika orang berhenti peduli atau terlalu takut untuk melawan. Masing-masing karya berikut menghadirkan skenario berbeda, tetapi benang merahnya tetap sama, yaitu demokrasi bisa hilang kapan saja jika tidak dijaga. 

1. It Can’t Happen Here – Sinclair Lewis

It Can’t Happen Here (dok. Penguin Random House)

Ditulis pada masa naiknya kekuasaan Nazi di Jerman, novel klasik Sinclair Lewis menghadirkan kisah tentang seorang politisi Amerika bernama Berzelius “Buzz” Windrip. Dengan retorika tentang kejayaan Amerika, ia berhasil merebut simpati rakyat. Namun, begitu berkuasa, Windrip justru menghancurkan hak-hak sipil dan menindas lawan politik.

Banyak orang terlalu takut bersuara, kecuali Doremus Jessup, seorang editor koran yang bertekad melawan sebelum segalanya terlambat. Novel ini terasa menakutkan, karena meski ditulis hampir seabad lalu, pesannya tetap relevan. It Can’t Happen Here mengingatkan kita bahwa ancaman terhadap demokrasi sering kali datang dari dalam negeri sendiri, bukan dari luar.

2. It Happened Here – Richard Dresser

buku It Happened Here (dok. Britannica)

Novel ini sebagai semacam bayangan modern dari karya Sinclair Lewis. Bedanya, Dresser memperlihatkan kehidupan di bawah rezim otoriter yang sudah mapan, di mana warga negara dipaksa menjadi alat negara. Tokoh utamanya, Pauline, seorang perawat, dipindahkan ke ibu kota dan dipaksa menyaksikan kengerian seperti euthanasia paksa dan pelanggaran kemanusiaan.

Menariknya, meski awalnya Pauline memilih diam demi keselamatan dirinya, pada akhirnya ia menemukan keberanian untuk melawan. It Happened Here menyoroti betapa rapuhnya institusi demokrasi ketika orang-orang berhenti melawan. Pauline juga mengajarkan bahwa perlawanan bisa dimulai dari satu individu, meskipun kelihatannya kecil di tengah kekuasaan yang besar.

3. Hunted – Abir Mukherjee

buku Hunted (dok. Abir Mukherjee)

Novel thriller terbaru Abir Mukherjee ini mengambil latar Amerika yang berada di tepi kekacauan politik. Ceritanya berpusat pada Sajid Khan, seorang ayah dan pengungsi asal Bangladesh, serta Carrie Flynn, seorang ibu yang sedang mengalami masa sulit. Kehidupan mereka bersinggungan ketika muncul ancaman serangan teroris yang bisa mengubah hasil pemilihan presiden.

Hunted begitu menegangkan karena memperlihatkan bagaimana Mukherjee menggambarkan anak-anak muda yang terjerumus ke dalam kelompok ekstremis. Lewat cerita ini, ia memperlihatkan bagaimana ketakutan, kebencian, dan politik identitas bisa menghancurkan keluarga sekaligus mengguncang demokrasi.

4. While Justice Sleeps – Stacey Abram

buku While Justice Sleeps (dok. goodreads)

Selain dikenal sebagai aktivis hak suara di Amerika, Stacey Abrams juga menulis novel politik yang cerdas dan penuh ketegangan. Novel While Justice Sleeps menceritakan asisten hakim muda yang tiba-tiba ditunjuk sebagai wali hukum Hakim Agung Howard Wynn yang koma. Tugas itu membawanya pada penyelidikan berbahaya terkait perusahaan bioteknologi yang dimanfaatkan pemerintah.

Abrams tidak hanya menghadirkan kisah penuh intrik hukum, tapi juga menyoroti bagaimana sains bisa dimanipulasi demi kepentingan politik. Novel ini menjadi pengingat bahwa ancaman terhadap demokrasi tidak selalu datang dari jalanan, tetapi juga dari ruang rapat, laboratorium, hingga ruang sidang.

5. Guide Me Home – Attica Locke

buku Guide Me Home (dok. Publishers Weekly)

Novel ini menggali luka lama Amerika yang kembali mengemuka setelah pemilu 2016. Tokoh utamanya, Darren Mathews, seorang mantan Texas Ranger, terjebak antara masa lalu kelam keluarganya dan kasus baru, yakni hilangnya seorang mahasiswa kulit hitam dari sororitas kulit putih.

Investigasi ini memperlihatkan bagaimana ketidakadilan rasial masih membekas dan memengaruhi generasi sekarang. Guide Me Home bukan tentang kehancuran demokrasi yang tiba-tiba, melainkan tentang “perang sipil yang lambat,” istilah yang dipopulerkan Jeff Sharlet.

Locke menunjukkan bahwa demokrasi bisa terkikis sedikit demi sedikit, lewat diskriminasi, ketidakpedulian, dan kegagalan menghadapi sejarah kelam bangsa. Novel ini terasa relevan karena memperlihatkan betapa rapuhnya persatuan ketika ketidakadilan dibiarkan. 

Demokrasi tidak runtuh begitu saja melainkan sering kali melemah secara perlahan tanpa kita sadari. Melalui novel-novel ini, para penulis mengingatkan bahwa kebebasan bisa hilang jika masyarakat membiarkan ketakutan, kebencian, dan apatisme menguasai. Pertanyaannya, apakah kita cukup berani untuk melawan sebelum semuanya terlambat?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team