Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi merasa hampa
ilustrasi merasa hampa (unsplash.com/Katie Chen)

Intinya sih...

  • Anak tak terlihat selalu patuh dan berusaha tidak menarik perhatian untuk menghindari konflik.

  • Mereka merasa tidak berarti dan tidak punya identitas karena dibesarkan dalam lingkungan yang abai.

  • Cenderung memendam emosi, lari ke dunia fantasi, dan sulit memercayai orang lain saat dewasa.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Apakah kamu sering merasa ada tetapi seolah tidak dianggap dalam keluargamu sendiri? Kamu mungkin tumbuh menjadi pribadi yang penurut, mudah bergaul, dan selalu berusaha menyenangkan orang lain demi menghindari konflik. Tanpa disadari, sikap ini bisa jadi adalah caramu beradaptasi agar tidak menjadi beban bagi keluarga.

Jika pola ini terdengar relate, bisa jadi kamu mengalami sindrom ‘anak tak terlihat’ atau invisible child. Istilah ini merujuk pada anak yang belajar untuk melindungi diri dari situasi keluarga yang kacau dengan cara menjadi tidak terlihat. Peran ini adalah salah satu dari enam pola perilaku yang diadopsi anak-anak dari sistem keluarga yang tidak berfungsi untuk bertahan hidup.

1. Selalu patuh dan berusaha tidak menarik perhatian

ilustrasi anak yang diabaikan oleh orang tua (unsplash.com/Mihály Köles)

Ciri utama dari invisible child adalah mereka sangat patuh, penurut, dan selalu berusaha menyenangkan orang lain. Mereka belajar untuk tidak menimbulkan masalah atau menambah stres pada keluarga yang sudah rapuh. Kamu mungkin dikenal sebagai anak yang "baik-baik saja" dan tidak pernah menuntut apa pun.

Perilaku ini muncul karena kamu belajar bahwa menjadi sorotan sering kali berujung pada hal yang tidak menyenangkan. Kamu mungkin menghabiskan waktumu dengan ‘bersembunyi di depan mata’, berusaha agar tidak diperhatikan oleh siapa pun. Akibatnya, para orang tua sering kali menganggap remeh sifat baikmu dan merasa kamu bisa mengurus diri sendiri.

Pada akhirnya, kebiasaan menghindari interaksi ini menjadi cara untuk membela diri dari peristiwa traumatis. Setelah mengalami pengabaian, anak-anak yang hilang merasa terjebak dan tidak dapat melarikan diri. Oleh karena itu, tetap diam dan tidak terlihat adalah cara mereka untuk melindungi diri.

2. Merasa tidak berarti dan tidak punya identitas

ilustrasi merasa hampa (unsplash.com/Katie Chen)

Jauh di lubuk hati, seorang invisible child sering kali merasa tidak berharga dan memiliki kekurangan yang fatal. Kamu mungkin terus-menerus berjuang setiap hari untuk membuktikan nilaimu kepada orang lain. Masalahnya adalah kamu menginternalisasi perasaan bahwa kamu tidak memiliki dampak apa pun pada orang lain, apalagi dunia.

Identitasmu tidak berkembang sepenuhnya karena dibesarkan dalam lingkungan yang abai. Tanpa ada orang tua yang merefleksikan betapa berharga dan istimewanya dirimu, kamu akan merasakan kehampaan di tempat yang seharusnya menjadi identitasmu. Ini seperti ada lubang di dalam hatimu yang membuatmu sulit mengetahui siapa dirimu sebenarnya.

Sejak kecil, kamu mungkin memegang keyakinan bahwa keberadaanmu saja sudah bisa menyakiti orang-orang di sekitarmu. Kamu merasa menuntut terlalu banyak dan tidak punya tempat di dunia ini. Perasaan ini membuatmu sering merasa sendirian dan tidak penting bagi siapa pun.

3. Cenderung memendam emosi dan lari ke dunia fantasi

ilustrasi imajinasi (unsplash.com/Alexia Rodriquez)

Anak yang tak terlihat belajar untuk menekan emosi mereka dan menghindari interaksi pribadi yang intens. Hubungan antarmanusia terasa menakutkan dan tidak dapat diprediksi bagimu. Kamu akhirnya mencari rasa nyaman pada hewan peliharaan, barang-barang, atau bahkan kerajinan tangan untuk memendam emosi.

Untuk melarikan diri dari kenyataan yang menyakitkan, kamu sering kali berlindung pada dunia fantasi. Kamu mungkin menghabiskan waktu dengan membaca buku, menonton film, atau aktivitas lain yang membuatmu tidak terlihat atau terdengar. Kehidupan fantasi ini terasa lebih aman dan teratur dibandingkan dengan realitas yang kamu hadapi.

Meskipun kesendirian ini dapat menumbuhkan kreativitas, hal ini juga sering kali membuatmu memiliki sedikit teman. Kamu mungkin akan kesulitan menjalin hubungan romantis di kemudian hari. Hal ini terjadi karena pengalaman masa kecil mengajarkanmu bahwa mencari perhatian hanya akan berujung pada penolakan.

4. Sulit memercayai orang lain saat dewasa

ilustrasi masalah kepercayaan (unsplash.com/Danie Franco)

Tumbuh di keluarga disfungsional cenderung membuatmu memiliki masalah dengan kepercayaan dasar saat dewasa. Ketika janji terus-menerus diingkari dan kenyataan sering diputarbalikkan, sangat sulit untuk belajar bagaimana cara memercayai orang lain. Akibatnya, kamu akan kesulitan membentuk hubungan yang stabil dan jangka panjang.

Pengalaman ini sering kali membentuk pola kelekatan yang tidak aman, atau insecure attachment. Kamu mungkin mengembangkan gaya avoidant attachment, yang menghambat kebutuhan untuk mencari kenyamanan pada orang lain. Ketidakmampuanmu untuk memercayai dan mencari kenyamanan disebabkan oleh rasa takut akan penolakan, pengabaian, atau pengkhianatan.

Secara tidak sadar, kamu mungkin mengulang kembali pola hubungan yang traumatis di masa dewasa. Fenomena psikologis ini disebut repetition compulsion, di mana kita cenderung merasa nyaman dalam situasi yang familier, bahkan jika itu menyakitkan. Kamu seolah-olah ditakdirkan untuk kembali ke awal untuk mencoba menulis ulang masa lalu yang kelam.

Menyembuhkan luka masa kecil memang bukan perjalanan yang mudah, tetapi sangat mungkin untuk dilakukan. Mengenali pola ini adalah langkah pertama menuju pemulihan dan membangun kembali rasa percaya dirimu yang sehat. Apakah kamu merasakan koneksi dengan ciri-ciri di atas?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team