Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi keluarga
ilustrasi keluarga (pexels.com/RDNE Stock project)

Intinya sih...

  • Anak dari perceraian orangtua lebih realistis soal hubungan, melihat cinta sebagai kerja sama dan komitmen dua arah.

  • Mereka sensitif terhadap tanda-tanda masalah dalam hubungan, karena pengalaman melihat konflik orangtua.

  • Anak-anak tersebut cenderung mandiri secara emosional dan menghargai kejujuran serta komunikasi dalam hubungan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Perceraian orangtua bisa meninggalkan jejak yang berbeda bagi setiap anak. Ada yang tumbuh lebih kuat, ada yang jadi lebih berhati-hati, dan ada juga yang melihat cinta dengan cara yang jauh lebih realistis. Pengalaman menyaksikan hubungan yang retak membuat anak belajar banyak hal tentang cinta, bahkan sebelum mereka benar-benar menjalaninya sendiri. Dari cara orangtua berkomunikasi sampai bagaimana mereka berpisah, semuanya ikut membentuk cara pandang mereka terhadap hubungan di masa depan.

Meski begitu, bukan berarti mereka jadi takut mencintai atau menolak hubungan. Justru, banyak anak dari keluarga bercerai tumbuh menjadi pribadi yang lebih dewasa, lebih peka, dan lebih menghargai hubungan yang sehat. Mereka belajar mencintai dengan cara yang lebih sadar, lebih hati-hati, dan lebih tulus. Perspektif mereka mungkin berbeda, tapi justru di situlah kekuatannya: mereka mencintai dengan mata terbuka, bukan dengan ilusi. Berikut ini enam cara anak melihat 'cinta' setelah orangtua bercerai.

1. Mereka lebih realistis soal hubungan

ilustrasi pasangan (pexels.com/cottonbro studio)

Anak yang tumbuh di keluarga bercerai biasanya belajar bahwa kisah cinta gak selalu berakhir mulus. Mereka tumbuh dengan perspektif bahwa hubungan bukan hanya soal romantis atau "bahagia selamanya", tapi juga tentang kerja sama, usaha, dan komitmen dua arah. Pemahaman ini membuat mereka melihat cinta secara lebih dewasa—bahwa konflik bisa terjadi, perasaan bisa berubah, dan tetap butuh kedewasaan untuk bertahan.

Di sisi lain, karena pernah merasakan sakitnya perpisahan orangtua, mereka juga tidak ingin mengulang hal yang sama di kemudian hari. Maka dari itu, mereka cenderung lebih selektif dalam memilih pasangan. Chemistry memang penting, tapi bagi mereka, karakter, stabilitas, dan kedewasaan emosional jauh lebih krusial. Pemikiran ini bukan karena mereka pesimis, melainkan karena mereka tahu harga dari sebuah hubungan yang rapuh.

2. Mereka lebih sensitif terhadap tanda-tanda masalah

ilustrasi pasangan sedang bertengkar (pexels.com/Timur Weber)

Menghabiskan masa kecil atau remaja dengan melihat konflik orangtua membuat mereka terbiasa membaca perubahan emosi, nada bicara, atau pola komunikasi. Kepekaan itu terbawa hingga dewasa, sehingga mereka lebih cepat mengenali red flags, seperti sikap manipulatif, kebiasaan berbohong, atau ketidakmauan untuk berkompromi.

Meskipun sering disalahpahami sebagai terlalu waspada atau overthinking, sebenarnya ini adalah mekanisme perlindungan diri. Mereka ingin memastikan hubungan yang mereka jalani tidak mengarah ke pola yang sama dengan yang pernah mereka lihat. Sensitivitas ini bisa menjadi kekuatan selama mereka bertemu pasangan yang memahami dan tidak menganggap kewaspadaan mereka sebagai sesuatu yang berlebihan.

3. Mereka cenderung mandiri secara emosional

ilustrasi pasangan bahagia (freepik.com/freepik)

Anak yang tumbuh dari orangtua yang bercerai sering kali belajar untuk mengelola perasaannya sendiri. Mereka tidak selalu punya lingkungan yang stabil untuk menumpahkan kegelisahan, sehingga akhirnya menjadi lebih mandiri secara emosional. Mereka tahu bagaimana cara menenangkan diri sendiri, memecahkan masalah sendiri, dan berdiri tegak tanpa selalu meminta dukungan.

Namun, kemandirian ini bukan berarti mereka tidak butuh orang lain. Mereka hanya perlu waktu untuk merasa aman. Mereka butuh pasangan yang mampu membangun kepercayaan secara perlahan. Begitu mereka merasa diterima apa adanya, mereka bisa menjadi sosok yang sangat loyal, empatik, dan penuh kasih. Mereka menghargai intimasi emosional, tapi hanya setelah merasa hubungan itu benar-benar aman untuk dijalani.

4. Mereka menghargai kejujuran dan komunikasi

ilustrasi pasangan mengobrol (freepik.com/freepik)

Melihat hubungan orangtua retak karena miskomunikasi, perselisihan, atau hal-hal yang tidak diungkapkan membuat mereka sadar betapa pentingnya transparansi. Itu sebabnya mereka menempatkan kejujuran sebagai fondasi utama dalam hubungan, meski kadang menyakitkan. Buat mereka, lebih baik mendengar kejujuran pahit daripada hidup di tengah ketidakpastian.

Karena itu, mereka cenderung menginginkan pasangan yang terbuka, mau menjelaskan perasaan, dan tidak menghindari percakapan penting. Komunikasi yang sehat memberi mereka rasa aman dan kejelasan yang selama ini mungkin kurang mereka dapatkan. Ketika pasangannya bisa diajak ngobrol jujur bahkan tentang hal kecil, itu menjadi bentuk pengakuan dan validasi yang sangat berarti.

5. Mereka takut kehilangan, tapi juga takut bertahan di hubungan yang salah

ilustrasi pasangan berdebat (pexels.com/RDNE Stock project)

Pengalaman melihat perceraian membuat mereka membawa dua ketakutan sekaligus: takut ditinggalkan, tapi juga takut mengulangi pola hubungan yang salah. Dilema ini sering membuat mereka ragu mengambil keputusan. Haruskah bertahan dan memperbaiki, atau berhenti sebelum terlambat? Perasaan ini sangat kompleks karena mereka tahu betapa besar dampak emosional dari hubungan yang tidak sehat.

Ketakutan ganda ini bukan tanda kelemahan, tapi refleksi dari pengalaman yang mendalam. Saat mereka berada dalam hubungan, mereka akan berjuang keras untuk membuatnya berhasil, tetapi juga tetap memegang prinsip untuk tidak mengorbankan diri sendiri. Dengan dukungan pasangan yang sabar dan komunikasi yang baik, mereka bisa mengatasi rasa takut tersebut dan belajar membangun hubungan yang lebih stabil.

6. Mereka percaya cinta itu ada, tapi tidak sempurna

ilustrasi pasangan bercanda (freepik.com/freepik)

Meski melihat cinta orangtua kandas, kebanyakan anak tetap percaya cinta bukanlah ilusi. Mereka hanya melihat cinta sebagai sesuatu yang realistis, penuh tantangan, dan butuh pemeliharaan. Mereka memahami bahwa cinta bukan sekadar perasaan yang muncul begitu saja, melainkan pilihan untuk terus berusaha setiap hari, meski kadang melelahkan.

Karenanya, mereka cenderung menghargai hubungan dengan lebih mendalam. Mereka tidak menganggap cinta sebagai sesuatu yang mudah berubah atau bisa ditinggalkan tanpa usaha. Justru karena tahu rasanya kehilangan, mereka sadar bahwa cinta layak diperjuangkan selama hubungan itu sehat dan saling membahagiakan. Perspektif ini membuat mereka lebih matang dalam membangun relasi dan lebih menghargai pasangan.

Cara anak melihat cinta setelah orangtua bercerai itu bukan sekadar bentuk luka, tapi juga proses pendewasaan. Mereka belajar bahwa cinta tidak selalu sempurna, tapi tetap layak diperjuangkan ketika dua orang saling berusaha. Dan meskipun masa lalu mereka tidak ideal, banyak dari mereka tumbuh dengan hati yang lebih kuat dan pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team