Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi seorang anak menangis (pexels.com/yankrukov)
ilustrasi seorang anak menangis (pexels.com/yankrukov)

Menghadapi anak yang sering ngamuk sepulang sekolah memang bikin pusing. Perilaku ini biasanya merupakan cara alami mereka melepaskan tekanan emosional, fisik, dan mental setelah seharian di sekolah, fenomena yang disebut after-school restraint collapse.

Dilansir Motherly, psikolog anak Dr. Vanessa Lapointe menjelaskan bahwa anak kadang menunjukkan marah atau menjauh sebagai bentuk defensive detachment, cara mereka mengekspresikan kebutuhan emosional setelah berpisah dengan orangtua. Yuk, simak beberapa cara efektif untuk menghadapi perilaku ini agar anak merasa didengar dan tetap tenang di rumah.

1. Isi emotional cup sebelum berpisah

ilustrasi bapak menyisir rambut anak (pexels.com/augustderichelieu)

Mulailah hari dengan menyediakan waktu tambahan di pagi hari untuk berinteraksi dengan anak. Dr. Lapointe menyarankan untuk bangun 15 menit lebih awal agar dapat mengisi "emotional cup" anak sebelum mereka berangkat sekolah. Koneksi emosional yang kuat di pagi hari dapat membantu anak merasa lebih aman dan terhubung sepanjang hari.

Melalui rutinitas pagi yang penuh perhatian, seperti berbicara dengan lembut atau melakukan aktivitas bersama, anak akan merasa dihargai dan siap menghadapi tantangan di sekolah. Hal ini dapat mengurangi kemungkinan mereka mengalami after-school restraint collapse saat pulang ke rumah.

2. Minta bantuan jika anak membutuhkannya

ilustrasi papan tulis (pexels.com/pixabay)

Dr. Anisa Ree Moses, seorang psikolog pendidikan dan anak, dilansir BBC, menjelaskan bahwa anak bisa kesal saat pulang sekolah jika ada masalah yang tidak terselesaikan hari itu atau pengalaman yang belum diproses. Perubahan perilaku setelah sekolah bisa menjadi sinyal adanya hal yang terjadi di sekolah yang memengaruhi mereka.

“Pikirkan apakah kamu perlu buku komunikasi rumah-sekolah, agar tahu apakah yang terjadi di sekolah bisa memicu apa yang terjadi di rumah. Informasi dari sekolah bisa membantu orangtua mengetahui cara menghadapi situasi dan apakah ada hal yang perlu diselesaikan,” ujar Dr. Moses.

Mengamati pola perilaku anak secara konsisten membantu orangtua mengidentifikasi penyebab stres mereka. Dengan mengetahui sumber masalah, orangtua bisa menyiapkan strategi yang lebih efektif. Dukungan dan pemahaman sejak dini akan membantu anak merasa aman dan didengar, sehingga ledakan emosional bisa lebih mudah ditangani.

3. Biarkan anak melepaskan emosi sepulang sekolah

ilustrasi anak tidak mau mendengar (pexels.com/gabbyk)

Setelah pulang sekolah, berikan kesempatan bagi anak untuk melepaskan emosinya. Tanyakan kepada mereka apakah mereka ingin berbicara tentang hari mereka atau hanya membutuhkan waktu untuk diri sendiri. Memberikan ruang bagi anak untuk mengekspresikan perasaan mereka dapat membantu mencegah ledakan emosi yang lebih besar.

Jika anak memilih untuk berbicara, dengarkan dengan penuh perhatian tanpa menghakimi. Validasi perasaan mereka dengan mengatakan, "Saya mengerti kamu merasa kesal," untuk menunjukkan bahwa perasaan mereka diterima dan dipahami.

4. Bangun koneksi emosional yang kuat

ilustrasi membaca bersama anak (pexels.com/lina)

Koneksi emosional sangat penting agar anak merasa dicintai dan didukung. Bentuknya bisa sederhana, seperti berpelukan, membaca buku bersama, bermain sebentar, atau sekadar mengobrol santai. Aktivitas kecil ini memberi anak rasa aman sekaligus menunjukkan bahwa orangtua selalu hadir untuk mereka.

“Bangun koneksi dengan anak melalui perhatian tulus, bukan sekadar bertanya ‘bagaimana harimu?’ Kamu bisa mengatakan, ‘Senang melihatmu, senang bisa pulang bersama, rasanya menyenangkan keluar dari sekolah seperti ini,’” kata Dr. Moses.

Dr. Moses menyarankan orangtua memanfaatkan rutinitas pagi sebagai kesempatan untuk membangun koneksi. Ia menekankan pentingnya membuat anak merasa terhubung dengan orangtua, serta memberi tahu mereka bahwa pertemuan nanti bukan karena prestasi, melainkan karena siapa mereka. Dengan membiasakan membangun koneksi seperti ini, anak akan lebih mudah menyalurkan emosinya sepulang sekolah.

5. Kirimkan pengingat cinta saat mereka di sekolah

ilustrasi anak membawa bekal ke sekolah (pexels.com/paveldanilyuk)

Memberikan pengingat cinta kepada anak saat mereka di sekolah dapat membantu mereka merasa terhubung dengan orangtua. Dr. Lapointe merekomendasikan untuk memberikan catatan kecil atau gambar keluarga yang dapat dibawa anak ke sekolah. Hal ini memberikan rasa aman dan mengingatkan mereka bahwa orangtua selalu mendukung mereka.

Tindakan sederhana seperti ini dapat membuat anak merasa dihargai dan dicintai, bahkan saat mereka tidak bersama orangtua. Ini juga membantu mereka mengelola perasaan cemas atau kesepian yang mungkin mereka rasakan selama berada di sekolah.

6. Pahami tantangan yang dihadapi anak di sekolah

ilustrasi orangtua menasihati anak (pexels.com/kindelmedia)

Penting untuk memahami bahwa sekolah bisa menjadi lingkungan yang penuh tekanan bagi anak. Mereka harus mengelola tuntutan akademik, sosial, dan emosional sepanjang hari. Ketika mereka pulang ke rumah, mereka mungkin merasa lelah dan perlu waktu untuk melepaskan stres tersebut.

Dengan memahami tantangan ini, orangtua dapat lebih bersabar dan memberikan dukungan yang diperlukan. Menghargai perasaan anak dan memberikan ruang bagi mereka untuk beristirahat dapat membantu mereka mengatasi after-school restraint collapse dengan lebih baik.

Menghadapi anak yang sering ngamuk sepulang sekolah memang memerlukan kesabaran dan pemahaman. Dengan menerapkan strategi-strategi di atas, orangtua dapat membantu anak mengelola perasaan mereka dengan lebih baik dan menciptakan lingkungan rumah yang lebih harmonis.

 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team