Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi seorang anak perempuan bersedih (pexels.com/liza-summer)

Kekerasan dan penolakan dari keluarga bukan hanya menyakitkan di masa kini, tetapi juga meninggalkan bekas luka jangka panjang yang memengaruhi kehidupan seseorang secara menyeluruh. Efeknya bisa terasa dalam aspek fisik, mental, emosional, hingga sosial bahkan saat mereka sudah dewasa.

Sayangnya, bentuk trauma ini sering kali tak dibicarakan secara terbuka, sehingga banyak penyintas merasa terisolasi dan tidak dipahami. Karena itulah penting untuk mengenali dampaknya agar bisa mulai proses penyembuhan. Untuk itu, ketahui apa saja dampak jangka panjang dari kekerasan dan penolakan yang dilakukan oleh keluarga lewat artikel berikut!

1. Menganggap diam adalah cara bertahan hidup

ilustrasi seorang ayah yang menenangkan anaknya bersedih (pexels.com/pavel-danilyuk)

Ketika seseorang dihukum karena mengungkapkan kebenaran atau menyuarakan pengalaman pribadi, mereka belajar bahwa kejujuran justru berbahaya. Akibatnya, banyak yang tumbuh dengan rasa takut untuk bicara jujur, bahkan dalam situasi yang sebenarnya aman. Mereka menyimpan semuanya sendiri, merasa bahwa suara mereka tidak layak untuk didengar.

“Ketika suara kita dipadamkan sejak dini, kita tumbuh dengan membawa rasa takut untuk menjadi diri sendiri,” kata Yolanda Renteria, LPC, seorang psikoterapis, dilansir Verywell Mind.

Hal ini bisa membuat mereka kesulitan menjalin komunikasi terbuka dengan orang lain saat dewasa. Mereka mungkin tampak tertutup atau enggan berbagi pikiran karena takut dipersalahkan.

"Para penyintas sering kali merasa pengalaman dan identitas mereka tidak valid," kata Kaytee Gillis, LCSW-BACS, seorang psikoterapis, dilansir Psychology Today.

2. Terbiasa untuk berpura-pura

ilustrasi seorang ayah dan anak (pexels.com/cottonbro)

Banyak korban penolakan keluarga dipaksa berpura-pura semuanya baik-baik saja agar bisa tetap diterima. Mereka terbiasa menekan emosi atau menyembunyikan jati diri karena takut tidak dicintai. Kepura-puraan ini kemudian menjadi mekanisme bertahan hidup yang terbawa hingga dewasa.

Namun, pola ini bisa merusak hubungan karena mereka tak pernah benar-benar bisa menjadi diri sendiri. Bahkan setelah lepas dari lingkungan toksik, sebagian masih kesulitan untuk mengakui kebenaran versi mereka sendiri. Proses penyembuhan sering kali dimulai dengan belajar memvalidasi diri sendiri dan menerima kenyataan masa lalu.

“Cara terbaik melawan trauma adalah membangun rasa aman dari dalam diri,” kata Yolanda.

3. Menyangkal kebenaran demi tetap kuat

ilustrasi kedua wanita sedang bertengkar (pexels.com/liza-summer)

Mereka yang pernah mengalami kekerasan atau penolakan keluarga kerap meyakinkan diri bahwa hal tersebut tidak terlalu buruk. Penyangkalan ini muncul sebagai bentuk pertahanan diri agar tidak terus-menerus tenggelam dalam luka emosional. Namun, hal ini juga membuat mereka sulit mempercayai ingatan dan perasaan mereka sendiri.

Dalam jangka panjang, penyangkalan bisa membuat seseorang terjebak dalam hubungan tidak sehat karena menganggap perlakuan buruk adalah hal biasa. Mereka juga cenderung menyalahkan diri sendiri dan menganggap diri sebagai penyebab masalah. Gillis menjelaskan bahwa penyangkalan ini dilakukan sebagai pelindung.

4. Terlalu mengandalkan diri sendiri

ilustrasi seorang ayah yang menatap anaknya yang sedang resah (pexels.com/pavel-danilyuk)

Karena tak bisa mengandalkan orang tua atau anggota keluarga lainnya, banyak penyintas akhirnya belajar untuk hanya mengandalkan diri sendiri. Sekilas ini terlihat sebagai bentuk kekuatan, namun dalam praktiknya bisa sangat menguras energi. Mereka cenderung menolak bantuan dan menganggap kelemahan sebagai ancaman.

Sayangnya, terlalu mengandalkan diri sendiri atau hiper-independensi ini juga bisa menghambat keintiman dalam hubungan karena mereka tidak terbiasa merasa aman saat bergantung pada orang lain. Hal ini membuat mereka merasa terisolasi, bahkan ketika dikelilingi oleh orang-orang yang peduli.

“Banyak dari klien saya kesulitan menerima bantuan, bahkan saat mereka sangat membutuhkannya,” ujar Gillis.

5. Kehilangan rasa percaya sebagai bentuk perlindungan

ilustrasi seorang anak perempuan bersedih (pexels.com/liza-summer)

Ketika orang yang seharusnya mencintai dan melindungi justru menolakmu, maka kepercayaan menjadi hal yang langka. Ini bisa membuat seseorang selalu berada dalam mode waspada, takut ditinggalkan atau disakiti lagi. Mereka jadi sulit membuka diri, bahkan terhadap orang yang tulus ingin hadir dalam hidup mereka.

Dalam hubungan, mereka bisa jadi terlalu sensitif terhadap tanda-tanda penolakan dan akhirnya secara tak sadar menyabotase koneksi yang berpotensi sehat. Butuh waktu, dukungan, dan lingkungan yang aman agar mereka bisa mulai membangun kembali kepercayaan.

"Banyak penyintas merasa bahwa menjadi diri sendiri secara otentik adalah tindakan berisiko," jelas Gillis.

Penting untuk diingat bahwa penyembuhan bukan proses yang instan. Mencari bantuan profesional seperti terapi adalah langkah awal yang bijak untuk mengurai luka lama dan membangun hidup yang lebih sehat secara emosional.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team