Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Seorang ibu dan anak bermain mainan di rumah
ilustrasi ibu dan anak bermain (pexels.com/Anna Shvets)

Intinya sih...

  • Membuang barang tanpa izin anak

  • Memaksa anak untuk langsung melepas semua barangnya sekaligus

  • Menganggap semua barang anak tidak penting

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Decluttering barang milik anak sering kali berujung pada adegan penuh drama. Anak nangis, orangtua pusing, dan kamar tetap berantakan. Padahal, niat awalnya cuma mau bikin ruang lebih rapi dan lega. Tapi buat anak, barang-barang mereka punya makna emosional yang jauh lebih besar dari sekadar benda. Mainan rusak, kertas gambar, bahkan boneka lama bisa terasa seperti teman yang menemani sejak kecil.

Masalahnya, banyak orangtua yang gak sadar kalau cara mereka membereskan justru memicu perasaan kehilangan atau tidak dipercaya. Kesalahan orangtua saat decluttering barang milik anak berikut ini wajib untuk dihindari, biar prosesnya gak berubah jadi drama. Apa saja kesalahan tersebut? Gulir artikel ini atas untuk mengetahui selengkapnya!

1. Membuang barang tanpa izin anak

ilustrasi anak bermain bersama ayah (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Salah satu kesalahan terbesar yang sering dilakukan orangtua adalah membuang barang anak diam-diam. Sekilas memang kelihatan praktis, tapi begitu anak sadar boneka favoritnya hilang, mereka bisa merasa dikhianati. Buat anak, kehilangan barang tanpa tahu alasannya bisa menimbulkan rasa marah, bingung, bahkan kehilangan kepercayaan terhadap orang tuanya sendiri.

Sebaiknya, libatkan anak dalam prosesnya. Ajak mereka ngobrol dan tunjukkan empati, misalnya dengan bilang, "Mainan ini sudah rusak, gimana kalau kita simpan yang masih bagus aja?" Dengan cara itu, anak belajar mengambil keputusan dan memahami makna "melepas" barang yang sudah tidak bermanfaat. Prosesnya memang lebih lama, tapi hasilnya jauh lebih baik untuk kepercayaan mereka.

2. Memaksa anak untuk langsung melepas semua barangnya sekaligus

ilustrasi ibu dan anak bermain bersama (pexels.com/Antoni Shkraba Studio)

Decluttering itu butuh waktu, apalagi buat anak-anak yang masih punya keterikatan emosional kuat terhadap barang-barangnya. Saat orangtua memaksa mereka membuang banyak hal sekaligus, anak bisa merasa kehilangan kendali dan menjadi defensif. Alhasil, bukan kamar yang rapi, tapi suasana rumah yang malah jadi tegang.

Coba lakukan pelan-pelan. Mulai dari kategori kecil, seperti mainan, lalu lanjut ke baju atau buku. Kamu juga bisa menjadikan kegiatan ini rutin, misalnya "decluttering day" tiap akhir bulan. Dengan begitu, anak terbiasa berpikir tentang apa yang masih dibutuhkan dan apa yang tidak. Perlahan-lahan, mereka belajar konsep minimalisme tanpa merasa dipaksa.

3. Menganggap semua barang anak tidak penting

ilustrasi seorang anak perempuan bermain mainan (pexels.com/Tatiana Syrikova)

Banyak orang tua berpikir, "Ngapain disimpan, cuma kertas gambar atau mainan plastik murah." Tapi yang sering dilupakan adalah, buat anak, setiap barang bisa punya cerita tersendiri. Bisa jadi itu hasil karya yang mereka banggakan atau hadiah pertama dari sahabatnya. Saat orangtua menyepelekan hal itu, anak bisa merasa perasaannya diabaikan.

Daripada langsung menilai, cobalah dengarkan dulu alasan anak ingin menyimpannya. Setelah itu, bantu mereka memilah dengan bijak. Misalnya, simpan sebagian kecil barang berharga dan foto sisanya untuk kenangan. Dengan begitu, kamu mengajarkan anak cara menghargai kenangan tanpa harus menimbun barang.

4. Tidak menjelaskan tujuan decluttering dengan bahasa anak

ilustrasi ibu dan anak bermain mainan (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Sering kali orangtua bilang, "Ayo beresin kamar!" tanpa menjelaskan kenapa. Akibatnya, anak menganggap decluttering itu cuma beban atau hukuman. Padahal, anak-anak butuh tahu alasan di balik sebuah tindakan agar mereka bisa memahami dan berpartisipasi dengan sukarela.

Ketika menjelaskan pada anak, gunakan bahasa sederhana yang bisa mereka pahami, misalnya, "Kita beresin mainan biar kamar lebih lega buat kamu main," atau "Kalau baju yang kecil disumbang, anak lain bisa pakai juga." Penjelasan sederhana seperti ini bisa membuat anak merasa terlibat dan paham bahwa beres-beres bukan tentang kehilangan, tapi tentang berbagi dan menciptakan ruang yang lebih nyaman.

5. Tidak memberi pilihan kepada anak

ilustrasi ibu berbicara pada anak (pexels.com/cottonbro studio)

Anak juga perlu merasa punya kendali atas barang-barangnya, lho. Kalau orangtua mengambil keputusan sepihak, anak bisa merasa kehilangan hak dan akhirnya menolak untuk ikut serta. Padahal, memberi mereka kesempatan memilih bisa jadi latihan berharga dalam membuat keputusan dan tanggung jawab pribadi.

Kamu bisa mulai dengan hal sederhana, seperti bertanya, "Kamu mau simpan boneka ini atau mobil-mobilan itu?" atau "Yang mana yang mau kita sumbangkan hari ini?" Dengan memberi pilihan, anak merasa lebih dihargai dan gak merasa dipaksa. Hasilnya, mereka akan lebih kooperatif dan mulai mengembangkan kebiasaan decluttering dengan sukarela.

Kalau kamu mau proses beres-beres berjalan lancar, hindari lima kesalahan orangtua saat decluttering barang milik anak, ya! Jangan terburu-buru, jangan ambil keputusan sepihak, dan libatkan anak dalam setiap langkahnya. Dengan pendekatan yang sabar dan empatik, kamu gak cuma bikin kamar anak lebih rapi, tapi juga membangun kepercayaan dan kedekatan yang lebih kuat. Anak pun belajar bahwa melepas barang lama bukan berarti kehilangan, tapi membuka ruang untuk hal-hal baru yang lebih bermakna.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team