ilustrasi memberikan uang bantuan (IDN TImes/Reza Iqbal)
Menafkahi anak sejatinya merupakan tanggung jawab yang dibebankan syara' berdasarkan nilai kasih dan sayang kepada sang ayah. Hal ini sebagaimana disampaikan dalam Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 33 yang berbunyi, "Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut." (QS. Al-Baqarah: 33)
Selain itu, dalam pasangan suami istri yang sudah bercerai, sosok ayah juga tetap menerima tanggung jawab dan kewajiban untuk menafkahi anak. Nafkah tersebut meliputi pemenuhan kebutuhan anak secara umum, mulai dari makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan lain yang bersifat pokok.
Hanya saja, dilansir NU online, tanggung jawab dan kewajiban menafkahi anak dapat berhenti saat anak sudah beranjak balig dan telah mampu bekerja. Gak hanya itu, saat anak belum balig pun sistem nafkah bisa berhenti jika sang anak telah menerima warisan dan memiliki simpanan uang yang cukup untuk biaya hidupnya.
Pernyataan tersebut sesuai dengan keterangan yang terdapat dalam kitab Hasyiyah al-Baijuri:
"Anak kecil yang kaya atau orang balig yang fakir tidak wajib (bagi orangtua) menafkahi mereka. Dan dapat pahami bahwa anak yang mampu bekerja yang layak baginya tidak berhak lagi menerima nafkah, sebaliknya ia (justru) dituntut untuk bekerja. Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa anak yang mampu bekerja ini masuk kategori anak yang kaya."
"Dikecualikan ketika anak yang telah mampu bekerja ini sedang mencari ilmu syara’ dan diharapkan nantinya akan menghasilkan kemuliaan (dari ilmunya) sedangkan jika ia bekerja maka akan tercegah dari rutinitas mencari ilmu, maka dalam keadaan demikian ia tetap wajib untuk dinafkahi dan tidak diperkenankan untuk menuntutnya bekerja." (Syekh Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, juz 2, hal. 187)