Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
illustrasi komunikasi orang tua dan anak (.pexels.com/MART PRODUCTION)
illustrasi komunikasi orang tua dan anak (.pexels.com/MART PRODUCTION)

Intinya sih...

  • Mendengarkan anak dengan sepenuh hati, hadir dalam percakapan, dan memberi ruang ekspresi tanpa takut disalahkan.

  • Hindari nada menggurui dan perintah sepihak, gunakan kalimat yang membuka ruang diskusi untuk menghargai sudut pandang anak.

  • Validasi perasaan anak dengan mengakui kepentingan emosi mereka, bukan setuju dengan tindakan mereka.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Menjalin komunikasi yang sehat antara orangtua dan anak bukan sekadar soal menyampaikan pesan, tetapi tentang menciptakan ruang aman untuk saling memahami. Banyak konflik dalam keluarga berakar dari miskomunikasi yang sebenarnya bisa dicegah jika kedua belah pihak merasa dihargai dan didengar. Dalam relasi ini, peran orangtua sangat besar karena mereka yang lebih dulu membentuk pola komunikasi sejak anak masih kecil.

Namun, komunikasi yang efektif bukan berarti orangtua selalu benar dan anak selalu salah. Justru, komunikasi setara menempatkan anak sebagai individu yang punya hak untuk bersuara dan didengarkan. Hubungan seperti ini mendorong anak tumbuh menjadi pribadi yang terbuka, percaya diri, dan punya empati tinggi. Berikut ini lima kunci utama dalam membangun komunikasi yang setara dan bermakna antara orangtua dan anak.

1. Dengarkan anak dengan sepenuh hati

illustrasi orang tua dan anak (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Mendengarkan bukan hanya soal diam dan membiarkan anak bicara, tetapi benar-benar hadir dalam percakapan. Banyak orangtua terbiasa langsung menyela atau menghakimi sebelum anak selesai menyampaikan isi pikirannya. Kebiasaan ini membuat anak merasa tidak dihargai dan akhirnya memilih diam. Padahal, komunikasi seharusnya memberi ruang bagi anak untuk mengekspresikan perasaan dan pikirannya tanpa takut disalahkan.

Saat orangtua menunjukkan perhatian penuh saat mendengarkan, anak merasa diakui dan dihormati. Hal ini bisa membangun kepercayaan yang mendalam dan membuat anak lebih terbuka. Terkadang, anak hanya ingin didengarkan tanpa diberi solusi langsung. Hadir dengan empati dan tanpa menghakimi adalah langkah awal membangun komunikasi yang sejajar.

2. Hindari nada menggurui dan perintah sepihak

illustrasi mendampingi anak (pexels.com/Nicola Barts)

Banyak orangtua tanpa sadar berbicara dengan nada tinggi atau terlalu mengatur, seolah anak tak punya pilihan selain mengikuti. Komunikasi yang selalu satu arah seperti ini menciptakan jarak emosional. Anak jadi enggan berdiskusi karena merasa pendapatnya tidak penting. Ketika setiap ucapan terasa seperti perintah, anak tak diberi kesempatan untuk belajar berpikir kritis atau mengambil keputusan sendiri.

Berkomunikasi secara setara bukan berarti menghilangkan batas antara orangtua dan anak, melainkan menyesuaikan cara berbicara agar lebih dialogis. Gunakan kalimat yang membuka ruang diskusi seperti “Menurutmu gimana?” atau “Kita bisa cari solusi bareng.” Sikap ini menunjukkan bahwa orangtua menghargai sudut pandang anak dan bersedia mendengarkan tanpa menghakimi.

3. Validasi perasaan anak

illustrasi mendampingi anak (pexels..com/Pavel Danilyuk)

Sering kali orangtua meremehkan perasaan anak dengan kalimat seperti “Ah, itu mah biasa” atau “Kamu terlalu melebih-lebihkan.” Kalimat seperti ini justru menutup ruang untuk anak jujur terhadap apa yang dirasakannya. Anak jadi ragu untuk mengungkapkan emosi karena takut dianggap berlebihan. Jika dibiarkan, hal ini bisa berdampak pada kemampuan anak mengelola emosi saat dewasa nanti.

Validasi perasaan bukan berarti setuju dengan semua tindakan anak, tapi mengakui bahwa apa yang dirasakannya memang nyata dan penting. Ucapan seperti “Kamu pasti capek ya hari ini?” atau “Kedengaran sedih banget, mau cerita lebih lanjut?” bisa membuat anak merasa diterima. Perasaan yang divalidasi akan membantu anak mengenal dirinya lebih baik dan terbiasa berempati pada orang lain.

4. Bangun kepercayaan lewat konsistensi

ilustrasi mendampingi anak (freepik.com/tirachardz)

Komunikasi setara juga butuh pondasi kepercayaan yang kuat, dan itu hanya bisa tumbuh lewat konsistensi sikap. Anak sangat peka terhadap janji yang tidak ditepati atau respons yang berubah-ubah. Ketika orangtua sering bersikap tidak konsisten, anak akan bingung dan mulai menjaga jarak dalam berkomunikasi. Kepercayaan yang rusak sulit diperbaiki jika sudah terlalu sering diabaikan.

Mulailah dari hal-hal sederhana seperti menepati waktu saat berjanji bertemu, tidak memotong cerita anak, atau tidak membuka rahasia yang sudah dipercayakan. Kepercayaan tumbuh saat anak merasa aman dan yakin bahwa kata-katanya tidak akan dianggap remeh. Dengan kepercayaan yang terbangun, komunikasi akan lebih terbuka dan jujur.

5. Jadikan komunikasi sebagai rutinitas harian

illustrasi percakapan anak dengan orang tua (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Kunci terakhir adalah menjadikan komunikasi sebagai bagian dari keseharian, bukan hanya saat ada masalah. Banyak keluarga yang baru bicara serius saat konflik sudah meledak. Padahal, komunikasi harian yang ringan seperti ngobrol soal film, kegiatan sekolah, atau mimpi masa depan bisa memperkuat kedekatan emosional. Anak merasa lebih terhubung ketika obrolan bukan hanya seputar nilai atau tanggung jawab.

Sediakan waktu khusus setiap hari untuk sekadar ngobrol tanpa gangguan gadget atau pekerjaan lain. Momen-momen kecil ini akan membentuk kebiasaan komunikasi yang positif dan menyenangkan. Ketika anak terbiasa berbicara sejak dini, mereka akan tumbuh jadi pribadi yang terbuka dan mudah diajak diskusi, bahkan di masa-masa sulit sekalipun.

Membangun komunikasi yang setara memang bukan proses instan, tapi bisa dimulai dari langkah kecil setiap hari. Dengan mendengarkan lebih banyak, menghindari perintah sepihak, dan konsisten dalam sikap, hubungan orangtua dan anak akan terasa lebih dekat dan sehat. Semakin terbuka komunikasi di dalam keluarga, semakin besar pula peluang anak tumbuh sebagai individu yang percaya diri dan penuh empati.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team