Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi berbelanja
ilustrasi berbelanja (pexels.com/Vika Glitter)

Intinya sih...

  • Anak terbentuk menjadi konsumtif oleh kebiasaan orangtua

  • Terlalu sering mengajak anak ke pusat perbelanjaan dan piknik berbiaya tinggi

  • Orangtua tidak membatasi order makanan online serta game berbayar

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Anak belajar begitu banyak hal dari lingkungannya. Masa prasekolah cukup panjang untuk mulai membentuk sifat anak. Pun setelah anak bersekolah, peran orangtua dalam kehidupannya tetap besar.

Salah satu sifat anak yang dapat terbentuk oleh kebiasaan orangtua ialah terkait budaya konsumtif. Kamu dan pasangan boleh jadi tidak menyadari hal ini. Hari demi hari mengalir begitu saja. Akan tetapi, kelak kebiasaan tersebut malah membentuk anak jadi konsumtif. Cobalah hindari 11 sikap ini sebelum terlambat.

1. Terlalu sering mengajak anak ke pusat perbelanjaan

ilustrasi berbelanja (pexels.com/Gustavo Fring)

Anak bukannya tidak boleh memasuki mal. Saat orangtua harus berbelanja tentu anak boleh ikut. Namun, sebaiknya kalian tak terlalu sering mengajak anak ke pusat perbelanjaan tanpa keperluan yang jelas.

Semua barang di sana pasti menarik. Ada pula arena permainannya. Akan tetapi, seluruhnya jelas berbayar. Anak terpapar terus dengan godaan buat memiliki atau menikmati berbagai hal meski harus ditukar dengan uang yang tidak sedikit.

2. Piknik selalu berbiaya tinggi

ilustrasi anak bermain (pexels.com/Polesie Toys)

Urusan piknik di akhir pekan atau hari libur lainnya juga perlu diperhatikan. Kalau sejak usia dini anak terbiasa berwisata ke tempat yang tiket masuknya saja mahal, perjalanannya mesti naik pesawat, lalu menginap di hotel mewah; standarnya bakal tinggi. Cara berpikirnya menjadi kesenangan mesti ditebus dengan banyak uang.

Bila gak boros malah tidak bahagia. Sesekali melakukan wisata berbiaya tinggi tidak apa-apa. Namun, imbangi dengan ada saatnya anak cuma bermain di taman kota yang gratis. Bahkan anak bermain di rumah saja di hari libur. Anak akan mengerti bahwa menciptakan kebahagiaan bisa murah sekali atau malah tanpa biaya sedikit pun.

3. Barang yang rusak langsung ganti baru

ilustrasi anak laki-laki (pexels.com/dayong tien)

Sebagai orangtua, kamu dan pasangan tentu ingin selalu memberikan segala yang terbaik untuk anak. Kalian gak tega melihat anak memakai sepatu atau tas yang rusak. Dirimu ingin bergegas membelikannya sepatu atau tas baru.

Namun, tahan dulu bila kalian tak mau anak kelak menjadi konsumtif. Alih-alih kalian langsung membeli sepatu atau tas sebagai penggantinya, cobalah buat memperbaikinya dulu. Seperti sol sepatu anak dilem ulang atau dijahit dan ritsleting tasnya diganti di tempat reparasi tas.

4. Anti barang murah

ilustrasi anak berkacamata (pexels.com/Zavier Chow)

Kamu boleh punya selera. Pun wajar bila seiring pendapatanmu meningkat, seleramu terhadap berbagai barang juga naik. Namun, pahami bahwa lebih penting daripada sekadar seleramu ialah mengedukasi anak.

Hindari melimpahi anak dengan barang-barang mahal saja. Dia kudu mengerti bahwa barang yang lebih murah tidak selalu berarti kurang berkualitas. Tas anak misalnya, tidak harus berharga 200 ribu rupiah. Bila ada tas anak di bawah 100 ribu rupiah, mengapa tidak?

5. Menuruti semua keinginan anak

ilustrasi seorang anak (pexels.com/Helena Lopes)

Kalau setiap keinginan anak dituruti gak bakal ada habisnya. Lagi pula anak kerap tidak sungguh-sungguh menginginkan sesuatu. Ia masih sangat mudah terpengaruh. Temannya punya sepatu baru, dia juga menginginkannya.

Lima menit kemudian kawannya yang lain makan jajanan berwarna cerah, ia pun memintanya. Orangtua mesti kasih batasan mana keinginan yang wajar dituruti, ditunda dulu, atau ditolak sepenuhnya. Tentu sambil kasih penjelasan di balik penundaan atau penolakan sampai anak paham.

6. Bahkan anak gak ingin apa-apa malah dipancing

ilustrasi anak di tangga (pexels.com/Vika Glitter)

Nah, ini perilaku yang kerap gak disadari orangtua. Kamu dan pasangan refleks saja melakukannya. Misalnya, ketika anak ikut belanja bulanan. Dia sebenarnya tidak menginginkan apa-apa sejak dari rumah hingga sampai di toko.

Akan tetapi, dirimu atau pasangan malah memancingnya dengan berbagai hal. Seperti pertanyaan, mau sepatu baru atau tidak? Es krim? Mainan? Jangan heran kalau sejak saat itu anak selalu minta berbagai hal setiap kalian keluar rumah.

7. Berlebihan merayakan ulang tahunnya

ilustrasi makan bersama anak (pexels.com/Bulat Khamitov)

Boleh saja orangtua merayakan ulang tahun anak. Biar anak senang sekaligus mendekatkannya dengan teman-teman sepantar. Namun, hindari berlebihan dan memaksakan kemampuan demi pesta ultahnya.

Jangan sampai anak berpikir setiap tahun wajib ada pesta ulang tahun yang meriah buatnya. Bahkan pesta ultah sebaiknya tidak digelar tiap tahun. Sesuaikan dengan kelonggaran finansial serta waktu orangtua.

8. Tidak pernah menjelaskan cara bijak memakai uang

ilustrasi anak laki-laki (pexels.com/Tuấn Kiệt Jr.)

Kamu dan pasangan sudah menyelesaikan pendidikan bahkan sampai sarjana. Tentu kalian tahu bahwa ilmu mengelola keuangan pribadi justru gak disampaikan dalam pendidikan formal. Mahasiswa lebih mempelajari keuangan perusahaan.

Tak heran banyak orang selepas bekerja dan punya gaji lebih besar dari uang saku malah kesulitan mengatur keuangannya. Borosnya bukan main. Kejadian jamak begini dapat dicegah bila kamu dan pasangan sejak dini kasih tahu anak tentang cara memakai uang. Seperti uang bukan untuk dihamburkan.

9. Kasih uang saku besar tanpa kewajiban menabung

ilustrasi dua anak (pexels.com/Anastasia Shuraeva)

Satu sisi, orangtua perlu mengajak anak berbicara seputar uang dengan perlahan dan lembut. Biar anak mudah memahaminya. Namun, kamu dan pasangan juga mesti tegas dalam beberapa hal.

Kalaupun kalian bisa memberikan uang saku yang cukup besar untuk anak, pastikan wajib buatnya menabung. Malah tambah gede uang jajannya seharusnya tambah besar pulang jatah tabungannya. Tanpa paksaan menabung, anak bakal terbiasa meludeskan uang saku sebanyak apa pun.

10. Makan harus di restoran

ilustrasi keluarga (pexels.com/Atlantic Ambience)

Harga menu di restoran jelas berbeda dari pedagang kecil atau kaki lima. Sesekali kalian makan di restoran gak apa-apa. Biar anak punya pengalaman mencicipi hidangan yang tidak dijual di pedagang kecil.

Anak juga akan lebih belajar tentang table manner. Namun, jangan menjadikannya keseharian. Variasikan dengan acara jajan di pedagang-pedagang kecil. Seperti warung tenda atau penjual keliling. Supaya anak mengerti bahwa makanan lezat serta sehat gak cuma ada di rumah makan besar yang menunya mahal.

11. Tak membatasi order makanan online serta game berbayar

ilustrasi anak makan (pexels.com/Moisés Delgado)

Tak sedikit anak zaman sekarang yang sudah mahir menggunakan gadget. Tidak terkecuali buat memesan makanan secara daring atau membeli game. Pastikan kamu kasih batasan uang yang boleh dipakai untuk kedua hal tersebut.

Kalau saldo dompet digital terus saja diisi setiap habis dan gak ada larangan yang jelas, anak tambah konsumtif. Dia belum mengerti sulitnya mencari uang. Juga berbagai kebutuhan yang menjadi prioritas orangtua. Ia cuma tahu enaknya jajan online serta bermain game berbayar.

Anak yang sejak kecil sudah diajari cara mengelola keuangan dengan baik pun setelah dewasa dapat tergoda menjadi konsumtif. Terutama seiring pergaulan serta ia punya uang sendiri. Akan tetapi, anak yang sejak usia dini dibentuk menjadi konsumtif oleh orangtua bakal tambah parah ketika besar. Cegah ini terjadi dengan menghentikan perilaku yang membentuk anak jadi konsumtif.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team