Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi ibu stres (pexels.com/Ketut Subiyanto)
ilustrasi ibu stres (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Intinya sih...

  • Tekanan ekonomi memperburuk kesehatan mental ibu

  • Psikolog sebut masalah finansial jadi risk factor terbesar bagi kesehatan mental

  • Dampak anak yang tumbuh dalam keluarga dengan keterbatasan ekonomi

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Masalah ekonomi dialami oleh perempuan yang sekaligus berperan sebagai ibu. Hal itu memberi tekanan hidup serta beban berat. Perempuan sering kali menjadi pihak paling rentan dalam menanggung akibatnya. Kualitas pengasuhan menurun, kesejahteraan mental terganggu, hingga mampu melukai secara fisik.

Fenomena ini menyoroti perlunya perhatian terhadap ibu dalam proses pengasuhan, terlebih dalam kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan. Sejumlah riset dan pemaparan ahli seputar dampak dari tekanan ekonomi terhadap tingkat stres seorang ibu, akan dipaparkan dalam artikel di bawah ini.

1. Tekanan ekonomi memperburuk kondisi kesehatan mental pada ibu

Ilustrasi ibu stres karena lelah(pexels.com/Liza Summer)

Riset "Poverty and Parenting in the UK" yang diterbitkan oleh London School of Economics menemukan, pendapatan rumah tangga memengaruhi kesehatan mental ibu dan kualitas pengasuhan yang diterapkannya. Kesulitan ekonomi seperti jeratan utang, keterbatasan finansial, dan kemiskinan berkorelasi dengan memburuknya kesehatan mental yang diderita para ibu.

Penelitian yang dilakukan oleh Dr Kerris Cooper juga menjelaskan bahwa kesulitan ekonomi memiliki dampak terhadap kualitas pengasuhan seorang ibu. Hal ini akan memengaruhi aspek lain dalam rumah tangga.

Solusi yang direkomendasikan dalam riset tersebut adalah memastikan keluarga memiliki pendapatan yang memadai. Pemangku kebijakan dapat membantu mengidentifikasi keluarga yang tengah mengalami permasalahan finansial, sehingga menyediakan layanan khusus untuk membantu orangtua. Langkah ini juga menjadi upaya untuk meminimalisir stres atau pun dampak negatif lainnya terhadap pengasuhan.

2. Psikolog sebut masalah finansial menjadi risk factor terbesar untuk masalah kesehatan mental

ilustrasi anak sekolah (pexels.com/Agung Pandit Wiguna)

Tekanan finansial dan beban ekonomi yang dihadapi oleh seorang perempuan, dapat menjadi pemicu utama munculnya masalah kesehatan mental bagi ibu. Stabilitas ekonomi terbukti memiliki peran krusial dalam menentukan kualitas hidup seseorang.

Penelitian dari oleh Dr Kerris Cooper selaras dengan pandangan Psikolog Anak, Remaja, dan Keluarga Farraas Afiefah Muhdiar. Ia menekankan, ekonomi menjadi salah satu faktor risiko terbesar yang mengganggu kesehatan mental orangtua dalam proses pengasuhan.

"Kalau kita bicara soal kesehatan mental, ada faktor protektif, ada faktor risiko. Faktor protektif yang melindungi kita, social support misalnya. Faktor risiko adalah hal-hal yang jadi tantangan, dan ekonomi salah satu faktor yang sangat besar, bahkan jadi risk factor terbesar untuk masalah kesehatan mental," jelasnya.

Lebih jauh, Farraas menekankan, keterbatasan ekonomi dapat mengintervensi aspek lain dalam keluarga. Misalnya, tidak terpenuhinya kebutuhan dasar seperti nutrisi dan tempat tinggal. Kendala finansial inilah yang kemudian memicu konflik dalam rumah tangga sebab limitasi sumber daya yang ada.

"Pertama ke nutrisi, akses terhadap pendidikan, pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Kan manusia punya kebutuhan dasar ya. Kalau buat makan saja, yang paling basic kan makan, tidur, itu aja gak bisa terpenuhi, pasti jadinya ya gak happy gitu," jelas Farras.

3. Bagaimana dampak anak yang tumbuh dalam keluarga dengan keterbatasan ekonomi?

ilustrasi anak yang berdiri di jok motor saat berkendara (pexels.com/Eslam Mohammed Abdelmaksoud)

Kerentanan ekonomi dan hambatan finansial juga menimbulkan efek domino bagi anak. Mulai dari hal primer, pemenuhan nutrisi guna menunjang perkembangan otak dan memaksimalkan tumbuh kembang, dapat terganggu apabila orangtua kesulitan menyediakan gizi seimbang. Lebih jauh, potensi kognitif dan fisik dapat terhambat.

Farraas menyoroti anak-anak yang tumbuh di lingkungan keluarga dengan keterbatasan ekonomi, dapat mengalami tantangan dalam pemenuhan gizi ataupun kebutuhan dasar. Tak hanya secara materi, namun juga berkaitan dengan pengetahuan atau wawasan nutrisi untuk memaksimalkan tumbuh kembang anak.

Farraas menyampaikan pandangannya terkait anak yang tumbuh di keluarga berketerbatasan ekonomi, "Anak butuh nutrisi yang cukup untuk bisa bertumbuh dengan baik dan nutrisi yang cukup itu, kayak misalnya protein, relatif lebih mahal. Jadi, dari segi nutrisi aja sudah berkurang resources-nya dibandingkan anak-anak yang mungkin lebih mampu secara finansial."

Tak hanya kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, anak yang tumbuh di keluarga dengan ekonomi rendah juga mewarisi kesulitan berkaitan dengan pendidikan. Farraas menjelaskan, terdapat hubungan antara pengasuhan orangtua dengan tingkat pendidikan, meskipun hal ini tak selalu berkaitan dalam beberapa kasus.

Secara umum, dalam banyak kasus, kedua elemen tersebut memiliki keterkaitan. "Membesarkan anak itu kan juga butuh pengetahuan, butuh banyak baca, butuh berpikir kritis," kata dia.

Pemaparan Farraas diperkuat dengan data BPS (2022). Survei mengungkap, anak-anak dengan kepala rumah tangga yang tidak bisa membaca berisiko 2,5 persen lebih tinggi untuk kembali hidup miskin saat dewasa. Data lain juga menunjukkan, tingkat kemiskinan mengalami tren penurunan jika anak tumbuh dengan kepala rumah tangga yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi.

Terakhir, Farraas menilai keterlibatan atau kehadiran orangtua dalam pengasuhan, baik secara mental maupun fisik berkaitan erat.

"Kalau orangtuanya masih kesulitan untuk bahkan bekerja harian yang kalau gak kerja hari ini, anaknya gak bisa makan, udah pasti prioritas utama yang ada di kepalanya adalah cari uang dulu. Jadinya, mungkin waktu yang dimiliki sama anak lebih terbatas," Farraas memberi contoh.

Orangtua yang masih mengalami kesulitan ekonomi lebih mudah alami peningkatan stres. Akibatnya, pada beberapa kasus, anak mendapat perlakuan kasar atau tindak kekerasan yang mengancam keselamatan. Akan tetapi, tak bisa digeneralisir pada seluruh kondisi sebab Farraas juga menemukan kasus yang hasilnya justru sebaliknya.

Editorial Team