Tips Atasi Tantrum di Balik Buku Ketiga Atalia Praratya, Catat!
Istri Gubernur Jawa Barat, Atalia Praratya, meluncurkan buku anak-anak ketiganya yang berjudul "Dinda Tidak Rewel Lagi". Buku ini khusus diciptakan untuk anak-anak dengan harapan bisa membangun wawasan mereka dalam mengenal dan mengelola emosi.
Dalam peluncuran buku dan talkshow yang berlangsung pada Rabu (9/11/2022) di JCC Senayan, Atalia juga memaparkan pengalamannya dalam mengasuh anak. Langsung simak ulasan lengkapnya berikut ini.
1. Semua buku anak-anak karya Atalia Praratya berangkat dari fenomena di masyarakat
Sejauh ini istri Gubernur Ridwan Kamil sudah mengeluarkan 6 karya, tiga di antaranya merupakan buku khusus anak-anak. Bertepatan dengan dimulainya Indonesia Internasional Book Fair 2022 yang berlangsung di JCC Senayan Jakarta, Atalia juga meluncurkan buku ketiganya.
"Buku ketiga ini sangat dekat dengan dunia keluarga khususnya orangtua yang punya balita, yaitu menghadapi anak yang rewel," ujarnya.
Sebelumnya, Atalia sudah mengeluarkan buku yang mengangkat fenomena tentang anak-anak yang tidak suka dengan ikan hingga buku yang khusus mengajarkan anak pentingnya mencuci tangan.
Ketiga buku anak-anak karyanya menggunakan perspektif anak-anak. Ia berharap bahwa bukunya bisa dibacakan oleh orangtua atau guru agar anak-anak belajar bersabar dan mengenal alasan mengapa orangtua kerap tidak memenuhi keinginan mereka.
2. "Dinda Tidak Rewel Lagi" diangkat untuk menyampaikan pesan tentang tantrum
"Menurut saya, sebuah buku harus punya pesan yang kita sampaikan dan mampu mengubah seseorang dari tidak mau menjadi mau atau tidak tahu menjadi tahu," kata perempuan yang baru saja lulus pendidikan Doktoral ini.
Buku ketiganya berjudul "Dinda Tidak Rewel Lagi" menjelaskan fenomena anak-anak yang rewel. Melalui bukunya, Atalia ingin menanamkan kebiasaan baik agar anak belajar mengelola emosinya sendiri.
"Dia harus tahu orangtua punya alasan kenapa dia harus menunda apa yang dia inginkan," lanjutnya.
Selain Atalia, hadir pula psikolog anak Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S. Psi., Psikolog, yang memaparkan bahwa tantrum merupakan bentuk ekspresi emosi dari anak dengan melakukan aksi fisik seperti menangis, melempar barang, guling-guling, hingga berteriak.
Menurut Vera, tantrum disebabkan oleh berbagai macam faktor. Kelelahan, lapar, haus, atau kelamaan menunggu, bisa menjadi pemicu tantrum. Namun, Vera mengingatkan bahwa tantrum merupakan hal yang wajar terjadi di usia 1,5-6 tahun.
3. Atalia ceritakan pengalamannya mengasuh 3 anak
"Menjadi orangtua itu gak ada sekolahnya. Kita belajar dari pengalaman orang lain dan diri sendiri," jelas Atalia.
Sebagai ibu dari tiga orang anak, Atalia juga pernah menghadapi kondisi anak tantrum. Ia melihat bahwa ketiga anaknya memiliki karakter dan butuh pendekatan yang berbeda-beda.
Sepengalamannya dengan Almarhum Eril, Atalia baru saja menjadi seorang ibu yang ingin mencoba berbagai hal. Berbeda halnya dengan anak keduanya yang begitu perasa dan sensitif sehingga mudah menangis dan takut sendirian.
"Kalau yang sekarang ini (anak ketiga_red), saya sedang berusaha. Dia lebih butuh dipeluk. Dia butuh pelukan. Dia kurang sentuhan jadi ditenangkannya dengan dipeluk. Lama-lama dia akan menerima sendiri dan tenang," ungkapnya.
Atalia melihat bahwa menjadi orangtua adalah proses belajar yang tidak berkesudahan. Banyak hal baru yang harus ia pelajari, misalnya orangtua tidak boleh emosi ketika anak sedang emosi.
4. Apa yang harus orangtua lakukan untuk menghadapi tantrum?

Atalia menggambarkan tantrum sebagai momen di mana anak butuh perhatian lebih dari orangtua dan ingin disayangi. Salah satu hal yang ia pelajari dalam ilmu komunikasi adalah berbicara sesuai dengan audience.
"Kalau saya adalah orang tua dan berhadapan dengan anak saya yang usianya 2 tahun sekian maka saya gak boleh lebih tinggi dari dia. Ada eye contact yang se-level. Itu proses bagaimana supaya anak merasa disayangi, diperhatikan," imbuhnya.
Vera mengibaratkan anak yang tantrum seperti berada dalam pusaran angin puting beliung. Artinya, emosi anak sedang kacau dan gak terkontrol. Untuk itu, anak membutuhkan orang lain yang dekat dan memiliki kontrol emosi yang lebih tinggi.
"Kita bacakan buku sehingga tertanam perilaku yang baik dan diharapkan itu seperti ini. Antisipasi juga penting. Misalnya pergi makan ke luar, pilih restoran yang penyajiannya gak lama. Kalau anak harus menunggu, maka harus membawa amunisi seperti mainan atau buku sehingga anak ada kesibukan," tutur Vera.
5. Bukan hanya anak yang perlu meredam emosi, orangtua juga harus tenang

Ketika anak tantrum, banyak orang tua yang terkesan mendorong agar selesai saat itu juga. Alhasil, anak emosi, orang tua pun ikut marah. Padahal menurut Vera, butuh latihan dalam menghadapi anak yang tantrum atau rewel.
Ada beberapa tips yang bisa orangtua lakukan untuk mengendalikan emosi:
- Sadari kapan anak emosi
- Sadari juga emosi orangtua. Kalau orangtua ikut marah, ambil waktu untuk menenangkan diri. Ketika tenang, baru datang pada anak.
- Setelah anak cooling down, bantu dia mengucapkan apa yang dirasakan. Orangtua bisa membantu anak memberikan nama emosi, seperti mengucapkan "Itu tadi kamu marah."
- Tunjukkan kalau orangtua paham dengan apa yang anak rasakan sehingga mereka merasa didengarkan, diterima emosinya, dan dimengerti oleh orang yang lebih dewasa.
- Cari solusi bersama-sama. Misalnya memberitahu anak untuk mengatakan perasaannya dan gak perlu melempar barang.
Atalia juga berpesan seraya menutup sesi peluncuran buku, "Literasi itu kaitannya gak hanya dengan membaca dan menulis tapi literasi lebih dari sesuatu yang kita lihat, dengar, dan rasakan. Itu sangat penting karena dengan membaca kita bisa menulis, dengan menulis kita mampu jadi seseorang yang meninggalkan jejak kebaikan. Suatu keabadian itu bisa didorong dengan hadirnya karya dalam bentuk buku. Maka saya berharap anak-anak muda juga bisa belajar menulis supaya ktia bisa meninggalkan jejak kebaikan melalui karya kita yang akan ada sepanjang zaman."