Me time sering dianggap sebagai waktu untuk relaksasi dan melepaskan penat. Kita membutuhkan momen tersebut agar tubuh dan pikiran bisa pulih dari aktivitas sehari-hari. Namun, tidak semua me time berjalan efektif, bahkan justru bisa memicu overthinking jika tidak dilakukan dengan cara yang tepat.
Sebagai individu, kita perlu menyadari bahwa kualitas me time lebih penting daripada kuantitasnya. Salah langkah dalam mengatur me time bisa membuat kita terjebak dalam pikiran negatif dan stres. Berikut lima alasan me time yang keliru bisa memicu overthinking.
5 Alasan Me Time yang Keliru Bisa Memicu Overthinking, Pahami!

1. Me time tanpa tujuan yang jelas
Kita sering menghabiskan waktu sendirian tanpa mengetahui apa yang ingin dicapai, misalnya hanya duduk di kamar sambil scroll media sosial. Me time yang tidak terarah membuat pikiran lebih mudah melayang ke kekhawatiran atau masalah yang belum terselesaikan. Hal itu meningkatkan risiko overthinking karena tidak ada fokus untuk menenangkan pikiran.
Tanpa tujuan yang jelas, me time terasa sia-sia dan membuat kita semakin stres. Kita justru membandingkan diri dengan orang lain atau mengingat kembali kesalahan masa lalu. Me time seharusnya digunakan untuk menenangkan diri, bukan menjadi sumber tekanan mental.
2. Menggunakan gadget terlalu lama saat me time
Saat me time, kita sering menggenggam gadget untuk melihat media sosial atau berita online. Kita cenderung terpapar informasi yang memicu rasa cemas atau iri dibandingkan fokus pada diri sendiri. Akibatnya, alih-alih rileks, kita justru masuk ke lingkaran pikiran negatif yang menimbulkan overthinking.
Paparan layar gadget terlalu lama juga bisa membuat otak lelah dan sulit rileks. Kita kehilangan kesempatan untuk memproses perasaan dengan sehat. Me time sebaiknya melibatkan aktivitas yang menenangkan pikiran, bukannya justru menambah beban mental.
3. Menghindari masalah dengan me time
Terkadang, kita menggunakan me time untuk menghindari masalah atau tanggung jawab yang sebenarnya harus dihadapi. Misalnya, menunda diskusi penting atau pekerjaan sambil relaksasi sendirian. Hal itu hanya menunda penyelesaian masalah dan membuat pikiran terus memikirkan hal yang belum selesai.
Kebiasaan demikian juga membuat kita merasa bersalah atau cemas sepanjang me time. Kita tidak benar-benar merasa tenang karena ada tanggung jawab yang menunggu. Me time yang sehat seharusnya menjadi waktu pemulihan, bukan alat pelarian dari masalah.
4. Me time yang terlalu lama dan terisolasi
Menghabiskan waktu terlalu lama sendirian tanpa interaksi sosial dapat membuat kita merasa terisolasi. Kita cenderung merenung terlalu dalam, mengulang-ulang pikiran negatif, dan mempertanyakan keputusan sendiri. Lama-kelamaan, hal itu bisa memicu overthinking dan menurunkan suasana hati.
Terlalu lama menyendiri juga membuat kita kehilangan perspektif dari orang lain yang bisa menenangkan pikiran. Kita membutuhkan keseimbangan antara waktu sendiri dan interaksi sosial untuk menjaga kesehatan mental. Me time seharusnya memulihkan energi, bukan membuat kita terjebak dalam pikiran negatif.
5. Me time tanpa aktivitas yang memulihkan
Me time dikatakan keliru saat kita hanya bermalas-malasan tanpa melakukan aktivitas yang benar-benar memulihkan, seperti olahraga ringan, meditasi, atau membaca buku yang menenangkan. Me time yang pasif dan tidak memulihkan energi dapat membuat pikiran tetap berputar pada masalah. Akibatnya, overthinking justru semakin meningkat.
Tidak ada aktivitas yang memberi rasa pencapaian kecil juga membuat kita merasa waktu terbuang. Kita merasa stres dan tidak puas, meskipun tujuan awal me time adalah untuk relaksasi. Me time yang efektif harus melibatkan aktivitas yang menenangkan pikiran.
Me time yang keliru justru bisa menjadi pemicu overthinking dan stres tambahan. Kita perlu menyadari tujuan, durasi, dan cara menjalankan me time agar benar-benar memulihkan tubuh dan pikiran. Dengan strategi yang tepat, me time bisa menjadi momen relaksasi yang menyehatkan mental.