Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi percakapan
ilustrasi percakapan (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Intinya sih...

  • Pertanyaan seputar kehidupan pribadi seseorang cenderung gak sopan dan mengundang rasa penasaran.

  • Menghindari respons penanya yang tidak menyenangkan, seperti sikap sok tahu dan suka menasihati.

  • Takut kejujurannya dimanfaatkan, terkadang kejujuran kurang menguntungkan buat dirinya.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Adab dalam bertanya pada orang lain belum dipahami oleh semua orang. Ini tampak dari masih seringnya masyarakat dengan gampangnya menanyakan hal-hal yang amat pribadi. Seperti pertanyaan sudah menikah atau belum yang paling bikin geregetan para lajang.

Kalau orang yang menanyakannya berharap jawaban jujur, bersiaplah untuk tertipu. Tidak sedikit orang yang memilih sengaja kasih jawaban bohong buat pertanyaan ke arah privasi. Bahkan mereka yang dalam hal-hal lain sebetulnya gak suka memberi jawaban palsu.

Ini bagian dari cara melindungi diri dari sikap usil orang lain. Meski terdengar simpel, pertanyaan yang terlampau pribadi dan terus-menerus akhirnya menyalakan alarm bahaya dalam diri. Yuk, lihat dari perspektif orang yang ditanya kenapa mereka sampai malas jujur.

1. Enggan obrolan berkepanjangan

ilustrasi percakapan dua orang (pexels.com/Antoni Shkraba Studio)

Pertanyaan seputar kehidupan pribadi seseorang saja sudah gak sopan. Namun, orang yang berani menanyakannya acap kali seperti kurang memahami hal ini. Apalagi bila jawaban yang diberikan makin mengundang rasa penasaran atau bikin dia kaget.

Contohnya, orang yang telah berumur dan ternyata belum menikah. Nanti pasti penanya memperpanjang obrolan. Seperti dengan pertanyaan seputar alasannya, apa memang gak ingin menikah, ada trauma atau tidak, dan sebagainya.

Atau, tiba-tiba dia menceritakan kenalannya yang juga belum kawin. Atau, akhirnya kenalannya itu menikah juga setelah begini dan begitu. Tidak semua orang ingin berbincang sepanjang itu. Kasih jawaban sesuai standar umum masyarakat diharapkan menyudahi percakapan lebih cepat.

2. Menghindari respons penanya yang makin tidak menyenangkan

ilustrasi percakapan di kantor (pexels.com/Christina Morillo)

Obrolan berkepanjangan kalau masih menyenangkan barangkali gak bikin orang keberatan. Akan tetapi, jika arah percakapan tambah menyebalkan tentu dia ogah menanggapi. Bahkan ia khawatir ekspresi kesalnya tidak bakal bisa disembunyikan.

Reaksi penanya yang bikin jengkel misalnya, sikap sok tahu dan suka menasihati. Masih dengan contoh orang yang belum menikah walaupun sudah berusia matang. Penanya lantas menceramahi agar ia mencoba cara ini dan itu biar cepat mendapatkan jodoh.

Atau, ia bertanya apa gak takut terlalu tua kalau terus menunda pernikahan? Orang yang malas dinyinyiri jika menjawab pertanyaan pribadi secara jujur sengaja berbohong daripada sakit hati. Sebab satu saja kalimat yang gak menyenangkan bisa bikin suasana hatinya buruk dalam waktu lama.

3. Takut kejujurannya dimanfaatkan

ilustrasi pria dan perempuan (pexels.com/Gender Reveals)

Orang yang aslinya jujur pun tahu bahwa terkadang kejujuran kurang menguntungkan buat dirinya. Meski maksudnya baik dengan kasih jawaban jujur, boleh jadi lawan bicara justru berniat buruk. Lagi-lagi contohnya pertanyaan seputar status hubungan.

Kalau seseorang jujur bilang belum punya pasangan, penanya yang lawan jenis mungkin sudah menunggu-nunggu jawaban ini. Ia memang ingin memastikan hal tersebut agar leluasa menggodanya. Bahkan dengan cara menggoda yang amat tidak sopan dan mengarah ke cabul.

Malah boleh jadi dia punya niat yang lebih buruk daripada itu. Sementara kalau pertanyaan yang sama dijawab dengan dusta yaitu telah menikah, orang cenderung gak berani macam-macam. Ia mungkin mau menjawab lebih jujur kalau merasa aman dengan lawan bicaranya.

4. Menyelamatkan diri dari rasa malu

ilustrasi percakapan menyenangkan (pexels.com/Heber Vazquez)

Pertanyaan seputar privasi yang dilontarkan di depan banyak orang juga rentan menimbulkan rasa malu. Kenapa malu? Sebab masyarakat punya standar yang jika terpenuhi akan diapresiasi. Sebaliknya, kalau standar itu gak tercapai bisa bikin orang di-bully.

Masih dengan contoh orang yang belum menikah. Jawaban jujurnya akan didengar oleh begitu banyak orang. Dia gak tak tahu apa yang dipikirkan mereka semua tentang usia serta status lajangnya.

Apalagi kalau ia menilai orang-orang di sekitarnya ada tanda-tanda suka mengejek. Daripada dia dipermalukan bila menjawab apa adanya, lebih baik berdusta. Harga diri yang terluka tak ada obatnya. Mending martabat dijaga ketimbang telanjur koyak.

5. Tidak terlalu penting untuk dijawab jujur

ilustrasi mengobrol (pexels.com/Matheus Bertelli)

Buat orang yang gemar menanyakan hal-hal pribadi, informasi itu penting sekali untuk diketahui olehnya. Sampai-sampai nama orang yang ditanya dan pekerjaan bukan prioritas. Seperti orang yang bertemu saja baru sekali, tapi langsung tanya sudah menikah atau belum.

Padahal, ia bukan petugas tertentu yang membutuhkan informasi tersebut. Sementara bagi pihak yang ditanya, pertanyaan itu terasa gak penting buatnya. Orang tersebut tahu dia single atau telah menikah tidak membawa pengaruh positif apa pun dalam hidupnya.

Kariernya tak lantas meningkat pesat. Malah kebahagiaannya bisa berkurang karena ia merasa diusik. Maka lebih baik dia bermain-main dengan jawaban palsu bahkan yang paling mengada-ada sekalipun. Seperti di depan A ia bilang baru menikah beberapa bulan lalu. Di depan B dia berkata sudah dikaruniai tiga anak dan sebagainya.

Banyaknya orang yang belum memahami batas kesopanan dalam bertanya patut disayangkan. Mereka harus siap mendapatkan jawaban yang berbeda dari kenyataan. Sebab orang lain juga gak nyaman ditanya ini itu dan merasa tidak perlu memuaskan keingintahuan penanya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team