ilustrasi konferensi internasional (pixabay.com/Vilkasss)
Indonesia, sebagai negara kepulauan, sangat terlibat aktif dalam pertemuan global seperti COP27 di Mesir, yang membahas masalah pendanaan iklim untuk negara berkembang. Indonesia mendorong agar suara negara berkembang lebih diperhatikan melalui diplomasi yang inklusif. Dalam diplomasi internasional, toleransi budaya menunjukkan bahwa setiap negara memiliki prioritas dan kesulitan yang berbeda. Dengan adanya dialog antarnegara, kemungkinan potensi kesepakatan jadi lebih adil.
Meskipun begitu, keberhasilannya sangat bergantung pada negara-negara yang berpartisipasi dalam proses perundingan dan pelaksanaan kebijakan untuk bertoleransi satu sama lain. Negara maju harus mengakui bahwa negara berkembang memiliki keterbatasan. Negara berkembang, di sisi lain, harus tetap terbuka terhadap inovasi dan menerima bantuan teknologi. Selama prinsip toleransi dan inklusi dipertahankan, kolaborasi global inilah yang akan membantu menangani krisis iklim dengan lebih baik.
Toleransi budaya sangat penting untuk adaptasi perubahan iklim di Indonesia dan di seluruh dunia. Asta Cita nomor 4 menyatakan bahwa bekerja sama dalam keberagaman bukan hanya nilai moral tetapi juga metode praktis untuk menyelamatkan Bumi. Setuju?
Referensi:
“UN Women calls for increased gender-focused climate finance at COP29”. UN Women. Diakses Agustus 2025.
“Education for Sustainable Development Goals: learning objectives”. UNESCO. Diakses Agustus 2025.
“Perempuan, Kesetaraan Gender Dan Perubahan Iklim”. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan - Republik Indonesia. Diakses Agustus 2025.
“Empowering Youth for Climate Action: A Guide to Influence COP26 and Beyond”. Youth Climate Action. Diakses Agustus 2025.
“Apa yang perlu kamu ketahui tentang COP 27”. Greenpeace. Diakses Agustus 2025.
“Pelestarian Lingkungan Masyarakat Baduy Berbasis Kearifan Lokal”. Universitas Negeri Yogyakarta. Diakses Agustus 2025.