Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi mengobrol (Pexels.com/SHVETS Production)
Ilustrasi mengobrol (Pexels.com/SHVETS Production)

Intinya sih...

  • Memicu ketidakpercayaan dari orang lain karena sering melakukan humble bragging.

  • Membuat kamu terlihat tidak tulus dan menonjolkan kesan bahwa kamu sedang menutupi rasa bangga di balik keluhan palsu.

  • Mengundang kecemburuan sosial karena memamerkan pencapaian di saat orang lain mungkin sedang kesulitan.

Pernah gak, kamu mendengar seseorang yang mengeluh soal betapa lelahnya kerja lembur, tapi sambil nyelipin cerita kalau dia baru saja naik jabatan atau menang penghargaan? Fenomena ini disebut humble bragging. Sekilas tampak rendah hati, padahal sebenarnya tetap ingin pamer. Meski terkesan "pintar menyamarkan," kebiasaan ini justru bisa berdampak buruk pada hubungan sosial, bikin orang lain risih, bahkan ilfeel.

Berikut ini adalah lima dampak psikologis humble bragging pada hubungan sosial yang perlu disadari.

1. Memicu ketidakpercayaan dari orang lain

Ilustrasi mengobrol (Pexels.com/Edmond Dantès)

Ketika kamu sering melakukan humble bragging, orang lain akan mulai meragukan ketulusanmu. Mereka bisa merasa kamu manipulatif atau gak jujur soal perasaanmu. Ini membuat mereka cenderung menjaga jarak karena merasa perkataanmu gak sepenuhnya tulus.

Pada akhirnya, relasi sosial yang seharusnya hangat dan saling mendukung bisa berubah jadi dingin. Kamu mungkin mengira sedang menguatkan citra positifmu, tapi sebenarnya sedang meruntuhkan fondasi kepercayaan orang lain.

2. Membuat kamu terlihat tidak tulus

Ilustrasi mengobrol (Pexels.com/Liza Summer)

Alih-alih terlihat rendah hati, humble bragging justru bisa menonjolkan kesan bahwa kamu sedang menutupi rasa bangga di balik keluhan palsu. Orang lain cenderung melihatnya sebagai usaha licik untuk mendapatkan pengakuan atau pujian.

Hal ini bisa bikin citramu jatuh di mata teman atau rekan kerja. Mereka jadi mempertanyakan motif di balik setiap ceritamu, seakan-akan semua yang kamu katakan hanya demi validasi semu.

3. Mengundang kecemburuan sosial

Ilustrasi mengobrol (Pexels.com/Henri Mathieu-Saint-Laurent)

Secara gak langsung, humble bragging memamerkan pencapaian di saat orang lain mungkin sedang kesulitan. Ini bisa memicu rasa iri atau bahkan frustrasi pada mereka yang mendengarnya. Lama-kelamaan, mereka jadi malas berinteraksi atau mendengarkan ceritamu.

Hubungan sosial jadi gak setara, karena orang lain merasa direndahkan atau diabaikan secara halus. Kamu pun kehilangan empati dan kedekatan emosional dengan lingkungan sekitarmu.

4. Menyebabkan kebosanan dalam komunikasi

Ilustrasi wanita berbicara (Pexels.com/Werner Pfennig)

Jika dilakukan berulang-ulang, humble bragging bisa membuat obrolan terasa monoton dan dangkal. Alih-alih membangun koneksi, pembicaraan justru dipenuhi "drama" keluhan palsu yang melelahkan.

Orang-orang bisa merasa bosan, bahkan malas berinteraksi lebih jauh. Hubungan pertemanan pun jadi hambar dan kehilangan percikan keintiman yang tulus.

5. Mengikis harga diri sendiri

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/cottonbro studio)

Meski terkesan sombong, orang yang sering humble bragging biasanya berangkat dari rasa kurang percaya diri. Kebiasaan ini justru makin memperkuat kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain demi validasi.

Tanpa sadar, kamu terus mengandalkan pengakuan eksternal untuk merasa berharga. Padahal, harga dirimu bukan datang dari seberapa hebat pencapaianmu di mata orang lain, tapi dari penerimaan dirimu sendiri.

Di era media sosial, humble bragging memang sering dianggap cara cerdas buat "menjual diri". Tapi, pada akhirnya, kualitas hubungan sosial yang tulus jauh lebih bernilai daripada sekadar pujian. Lebih baik jujur, apa adanya, dan belajar bangga pada dirimu tanpa perlu dibungkus drama keluhan. Karena rasa percaya dan hubungan sehat dibangun dari keaslian, bukan sekadar citra.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team