Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi mendengarkan orang lain
ilustrasi mendengarkan orang lain (freepik.com/freepik)

Pernah gak sih kamu merasa selalu jadi tempat curhat semua orang, tapi ketika kamu pengin cerita balik, mereka mendadak sibuk, mengalihkan topik, atau cuma menjawab sekadarnya? Di satu sisi, kamu senang bisa dipercaya, tapi di sisi lain, ada rasa lelah yang gak bisa dijelaskan. Jadi penampung cerita memang terlihat kuat, tapi kadang justru kamu yang paling butuh ruang untuk didengarkan.

Kalau belakangan kamu sering ngerasa hubungan sosialmu gak seimbang atau terlalu berat sebelah, mungkin kamu sedang mengalami hal ini tanpa sadar. Yuk, kenali lima tanda kalau kamu sering jadi penampung cerita orang lain, tapi jarang benar-benar didengarkan balik.

1. Kamu lebih sering mendengarkan daripada berbagi

ilustrasi mendengarkan orang lain (freepik.com/freepik)

Dalam setiap percakapan, kamu mungkin terbiasa jadi pendengar yang sabar. Teman-temanmu datang kepadamu untuk curhat, meminta saran, atau sekadar melampiaskan emosi. Kamu tahu kapan harus diam, kapan harus memberi respons yang menenangkan, dan bagaimana menjaga rahasia orang lain. Tapi di sisi lain, kamu jarang punya ruang untuk membicarakan perasaanmu sendiri.

Kamu mungkin berpikir “gak apa-apa” karena merasa perasaanmu gak sepenting orang lain. Lama-lama, kamu jadi terbiasa menekan emosi dan meyakinkan diri bahwa kamu bisa menanganinya sendiri. Padahal, setiap orang juga butuh tempat untuk melepaskan beban, termasuk kamu.

Peran sebagai pendengar memang mulia, tapi kalau terus-menerus dilakukan tanpa keseimbangan, kamu bisa merasa hampa secara emosional. Mendengarkan orang lain seharusnya gak berarti mengorbankan kebutuhanmu untuk didengar juga.

2. Saat kamu cerita, orang lain malah balik cerita tentang dirinya

ilustrasi teman sedang bercerita (freepik.com/freepik)

Kamu mungkin pernah mengalami situasi ini: kamu baru mulai menceritakan sesuatu yang sedang kamu rasakan, tapi belum selesai bicara, temanmu langsung memotong dengan, “Aku juga pernah, bahkan lebih parah!” Akhirnya, topik bergeser, dan kamu cuma bisa mengangguk sambil menyimpan sisa ceritamu sendiri.

Perilaku seperti ini sebenarnya cukup umum, tapi kalau terjadi terus-menerus, bisa jadi tanda bahwa orang-orang di sekitarmu gak benar-benar memberikan ruang buat kamu bicara. Mereka mungkin peduli, tapi gak terbiasa benar-benar mendengarkan tanpa menjadikan percakapan sebagai ajang perbandingan pengalaman.

Kalau kamu sering mengalami hal seperti ini, wajar banget kalau muncul rasa kecewa atau capek. Karena di balik niat untuk berbagi, kamu sebenarnya cuma pengin didengar tanpa disela, tanpa disamakan, dan tanpa dinilai.

3. Kamu merasa bersalah saat ingin menolak curhat orang lain

ilustrasi merasa bersalah (freepik.com/freepik)

Sebagai orang yang empatik, kamu mungkin sulit menolak kalau ada teman yang datang curhat, meskipun kamu sendiri sedang gak baik-baik aja. Kamu merasa gak enak kalau menolak atau menunda, takut dianggap gak peduli. Akhirnya, kamu tetap mendengarkan, menekan perasaan sendiri, dan berpura-pura kuat.

Padahal, selalu tersedia untuk orang lain bukan berarti kamu harus mengorbankan kesejahteraan emosimu. Batasan diri bukan tanda egois, tapi bentuk cinta pada diri sendiri. Ketika kamu terus memaksakan diri untuk mendengarkan di saat sedang lelah, kamu malah kehilangan energi dan kejernihan hati yang seharusnya kamu jaga.

Kamu juga berhak untuk berkata, “Aku lagi gak bisa sekarang, tapi nanti aku dengerin, ya.” Kalimat sederhana seperti itu bisa menyelamatkan keseimbanganmu tanpa membuat hubunganmu rusak.

4. Kamu sering merasa sendirian setelah membantu orang lain

ilustrasi merasa sendirian (freepik.com/freepik)

Menjadi pendengar membuatmu sering dikelilingi banyak cerita dan emosi orang lain, tapi ironisnya, setelah itu kamu justru merasa sendirian. Ketika semua orang kembali ke hidupnya masing-masing, kamu tertinggal dengan sisa energi yang terkuras. Mungkin kamu berpikir, “Kalau aku butuh seseorang, siapa yang akan mendengarkan aku?”

Perasaan ini muncul karena hubungan yang kamu jalani mungkin belum seimbang secara emosional. Orang-orang datang padamu untuk mendapat ketenangan, tapi gak banyak yang memberikan hal yang sama saat kamu membutuhkannya. Lama-lama, kamu bisa merasa tak terlihat—seolah-olah kamu hanya tempat singgah, bukan seseorang yang juga pantas diperhatikan.

Di titik ini, penting untuk mulai sadar bahwa kamu juga berhak diprioritaskan. Kamu pantas punya ruang aman untuk bercerita tanpa harus selalu jadi pihak yang menenangkan.

5. Kamu lebih tahu masalah orang lain daripada perasaanmu sendiri

ilustrasi berbicara pada diri sendiri (freepik.com/ ArthurHidden)

Karena terlalu sering fokus mendengarkan cerita orang lain, kamu mungkin jadi jarang menanyakan kabar dirimu sendiri. Kamu tahu detail kehidupan teman-temanmu—siapa yang sedang berantem, siapa yang galau, siapa yang stress, tapi kalau ditanya “Kamu sendiri gimana?”, kamu mungkin bingung menjawab.

Ini tanda bahwa kamu sudah terlalu sering menaruh energi ke luar dan lupa melihat ke dalam. Padahal, mengenali dan memahami diri sendiri adalah bentuk perawatan emosi yang sama pentingnya dengan menolong orang lain. Tanpa itu, kamu bisa merasa kehilangan arah atau bahkan terjebak dalam perasaan kosong yang gak jelas asalnya.

Coba luangkan waktu sejenak setiap hari untuk menulis jurnal, berbicara dengan diri sendiri, atau sekadar diam dan merasakan apa yang sedang kamu alami. Kadang, hal sederhana seperti itu bisa jadi awal dari proses pemulihanmu.

Jadi penampung cerita memang tanda kamu punya hati besar dan empati tinggi. Tapi ingat, bahkan wadah yang paling kokoh pun bisa retak kalau terus diisi tanpa pernah dikosongkan. Gak apa-apa kok untuk ingin didengar juga. Gak egois untuk bilang kamu lelah. Karena menjadi orang yang hangat bukan berarti kamu harus terbakar sendirian.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team