Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi frustasi (pexels.com/olly)

Merasa frustrasi adalah hal yang wajar, tapi ketika perasaan tersebut terlalu sering meledak, bisa berdampak pada kesehatan emosional dan hubungan sosial. Toleransi frustrasi yang rendah membuat seseorang cenderung mudah tersulut emosi, bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya bisa ditangani dengan lebih tenang.

Berita baiknya, kemampuan mengelola frustrasi bukan bawaan lahir, melainkan keterampilan yang bisa dilatih. Dengan pendekatan yang tepat dan latihan konsisten, kamu bisa belajar merespons situasi sulit dengan lebih dewasa dan tenang. Berikut beberapa cara yang bisa kamu terapkan untuk mengatasinya.

1. Sadari pola frustrasi yang selama ini terjadi

ilustrasi frustasi (pexels.com/karolina-grabowska)

Langkah pertama yang penting adalah mengenali apa saja yang memicu frustrasi. Banyak yang terjebak dalam pola reaksi otomatis, tanpa sempat memahami penyebab di baliknya. Padahal, mengenali pola ini membantu kamu bersiap sebelum emosi memuncak.

Saat kamu tahu situasi atau kebiasaan apa yang membuatmu mudah terpancing, kamu bisa lebih proaktif dalam mengelola responsmu. Ini juga memberimu kesempatan untuk mencari pendekatan baru dalam menghadapi masalah serupa di masa depan. Kesadaran adalah langkah awal menuju kendali diri yang lebih baik.

2. Latih diri untuk menenangkan tubuh saat emosi muncul

ilustrasi menenangkan diri (pexels.com/freestockpro)

Frustrasi sering kali disertai dengan reaksi fisik, seperti detak jantung yang meningkat atau napas yang menjadi cepat. Respon tubuh ini bisa membuat emosi terasa lebih kuat dan sulit dikendalikan. Maka dari itu, penting untuk menenangkan tubuh terlebih dahulu agar pikiran juga lebih jernih.

Cobalah tarik napas dalam-dalam, tahan sejenak, lalu hembuskan secara perlahan. Teknik sederhana seperti ini bisa menurunkan ketegangan dan mencegah emosi memuncak. Semakin sering kamu melatihnya, semakin mudah kamu menenangkan diri dalam situasi menantang. Cobain!

3. Ubah pola pikir yang terlalu negatif

ilustrasi menyendiri di kamar (pexels.com/olly)

Saat frustrasi muncul, pikiran negatif sering kali memperparah situasi. Kalimat seperti "Aku tidak sanggup lagi" atau "Kenapa selalu aku yang kena?" hanya akan membuatmu merasa makin tertekan. Mengubah cara berpikir menjadi lebih realistis bisa menjadi kunci untuk meredakan emosi.

Coba beri jarak antara pikiran dan perasaanmu. Alih-alih menyalahkan keadaan, latih diri untuk berpikir, "Ini memang tidak mudah, tapi aku bisa menghadapinya satu per satu." Dengan melakukan ini, kamu tidak hanya meredakan emosi sesaat, tapi juga membangun ketangguhan mental dalam jangka panjang.

4. Salurkan energi emosi lewat aktivitas positif

ilustrasi meditasi (pexels.com/prasanthinturi)

Frustrasi yang dibiarkan menumpuk tanpa disalurkan bisa berubah menjadi ledakan emosi yang sulit dikendalikan. Untuk mencegah hal ini, salah satu cara yang cukup ampuh adalah melakukan aktivitas fisik. Tidak harus berat atau rumit, kegiatan sederhana seperti berjalan kaki, membersihkan kamar, atau peregangan ringan sudah bisa membantu meredakan ketegangan yang mengendap.

Aktivitas fisik membantu tubuh melepaskan hormon endorfin, zat alami di otak yang membuat suasana hati jadi lebih baik. Menurut Anxiety and Depression Association of America (ADAA), endorfin juga berperan sebagai pereda stres dan bisa memperbaiki kualitas tidur.

"Kamu tak perlu menunggu waktu khusus untuk olahraga, cukup luangkan 5–10 menit untuk gerakan cepat seperti jumping jack, sit-up, atau push-up, dan rasakan bedanya setelah itu," jelas Sarah Kaufman, seorang pekerja sosial berlisensi di New York City, dilansir Psych Central.

5. Bicara dengan orang terdekat yang bisa dipercaya

ilustrasi kencan (pexels.com/cottonbro)

Kadang, yang kamu butuhkan bukan solusi, melainkan ruang untuk didengar. Membicarakan perasaan dengan orang yang kamu percayai bisa membantu meredakan tekanan emosional. Curhat bukan hanya tentang mengeluh, tapi juga proses memahami apa yang sedang kamu rasakan.

Saat kamu merasa dipahami, beban emosi bisa terasa lebih ringan. Kamu juga bisa mendapatkan sudut pandang baru yang mungkin tidak terpikir sebelumnya. Dukungan sosial seperti ini sangat penting dalam membangun ketahanan emosi.

6. Tuliskan perasaanmu

ilustrasi menulis (pexels.com/picjumbocom)

Menuliskan perasaan juga bisa menjadi langkah sederhana namun efektif untuk mengatasi frustrasi yang mudah meledak. Dengan menuangkan isi hati ke dalam tulisan, kamu memberi ruang bagi diri sendiri untuk mengenali dan memahami emosi yang muncul. Hal ini juga membantumu memproses perasaan tanpa harus langsung melampiaskannya dalam bentuk ledakan emosi.

Tak perlu menuliskan semua detail situasi yang memicu frustrasi, kecuali jika hal itu membuatmu merasa lebih tenang. Fokuslah pada apa yang kamu rasakan dan biarkan pikiran mengalir secara bebas tanpa sensor. Kegiatan ini tidak hanya meringankan beban pikiran, tapi juga memberi dampak positif bagi kesejahteraan emosional secara keseluruhan.

“Menulis bebas bisa menjadi ruang untuk refleksi yang mendalam dan memunculkan emosi yang mungkin sebelumnya tidak kamu sadari,” jelas Kaufman.

7. Latih toleransi frustrasi secara bertahap

ilustrasi menikmati waktu santai (pexels.com/mtyutina)

Mengelola frustrasi adalah proses yang tidak instan, tapi bisa dibangun melalui latihan. Mulailah dari situasi kecil yang membuatmu tidak nyaman, seperti menunggu antrean atau menghadapi perubahan rencana mendadak. Gunakan momen ini untuk melatih kesabaran dan pengendalian diri.

Semakin sering kamu berhasil menghadapi situasi frustratif tanpa meledak, semakin percaya diri kamu dalam mengelola emosi. Dari sini, kamu akan menyadari bahwa kamu punya kemampuan untuk tetap tenang dalam tekanan. Latihan kecil ini akan berdampak besar dalam jangka panjang.

Frustrasi tidak selalu bisa dihindari, tapi cara kita meresponsnya bisa diubah dan dilatih. Dengan mengenali pola emosi, hingga mengubah cara berpikir, kamu bisa membangun toleransi frustrasi yang lebih sehat. Ingat, mengelola emosi bukan tentang menekan perasaan, tapi belajar merespons dengan cara yang lebih dewasa.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team