ilustrasi seorang pria marah (pexels.com/Andrea Piacquadio)
Saat kita merasa tidak berdaya, kita sering mencoba “menulis ulang” cerita hidup kita. Kita menempatkan diri sebagai tokoh utama dalam kisah tragis yang penuh rasa sakit dan ketidakadilan, sehingga kita merasa seolah punya kendali atas apa yang terjadi.
"Psikologi naratif menunjukkan bahwa membangun cerita, bahkan yang menyakitkan, dapat memulihkan rasa kendali untuk sementara," jelas Elton.
Ketika seseorang membuat cerita hidupnya dengan tema agensi (melihat diri sebagai orang yang bisa bertindak) atau koneksi (merasa didukung dan terhubung dengan orang lain), mereka biasanya punya kesehatan mental yang lebih baik dan tingkat depresi lebih rendah.
Namun, masalahnya, self-pity justru melakukan hal sebaliknya. Ia membuat kita terus berada dalam cerita tragis yang sama, kita seperti mengulang-ulang naskah yang gak pernah berubah. Rasanya seperti kita mengontrol cerita itu, padahal sebenarnya kita hanya terjebak di dalamnya tanpa perkembangan atau solusi.
Pada akhirnya, keluar dari siklus self-pity bukan soal memaksa diri untuk “lebih kuat”, tetapi belajar membangun pola baru yang lebih sehat. Kita bisa mulai dengan memperkuat hubungan sosial, memberi ruang untuk self-compassion, dan berhenti membandingkan hidup kita dengan potongan terbaik milik orang lain.
Tulis ulang cerita hidup kita dengan sudut pandang yang lebih berdaya, bukan sebagai korban, tetapi sebagai seseorang yang terus tumbuh. Dengan langkah kecil dan konsisten, perlahan kita bisa keluar dari pola lama dan menemukan cara hidup yang lebih ringan dan penuh kendali.