TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Dari Seseorang yang Pernah Hampir Bunuh Diri, Ini 7 Cara Terkuat Melanjutkan Hidupku!

Kamu gak sendiri, ya, kamu gak sendiri.

Doc. Pribadi

Berat bagi saya memang untuk menulis ini, karena ini termasuk aib pribadi. Namun, berhubung saya sudah jauh dari melalui fase kisah yang saya tulis ini, saya bertujuan sepenuhnya untuk (harapannya) membantumu melewati fase serupa. Demi kebaikan dan manfaat yang bisa dijadikan pelajaran bagi semua orang. Kita hidup agar bermanfaat bagi orang lain juga kan? Semoga tulisan ini juga bisa bermanfaat.

Tulisan ini bermaksud untuk berbagi motivasi dari saya yang juga pernah merasakan depresi berat seperti kamu. Jika kamu gak pernah merasakannya, bersyukurlah. Kamu bisa memilih untuk melanjutkan membaca pengalaman dan pelajaran dari kejadian saya ini, atau sekadar lewatkan saja jika kamu berniat untuk mengatai orang yang pernah terpintas hal serupa seperti saya, agar harapannya tulisan ini bisa bermanfaat untuk orang yang tepat.

Karena memang untuk memahaminya dan mengambil pelajaran positif dari kisah seperti ini, perlu memposisikan diri. Memposisikan diri jadi mereka yang pernah terbully berat, yang pernah (mohon maaf) dicabuli, mendapatkan penyakit kronis yang sangat menyakitkan, mendapatkan keluarga/lingkungan yang sangat abusive atau kejadian lainnya yang saking sakitnya sampai susah bagimu berpikir jernih. Bersyukurlah jika gak pernah mengalami semua itu. Yang bisa kamu lakukan sebagai manusia sosok wakil yang baik dari agamamu, adalah "ada" bagi mereka. Tentunya dengan cara dan penyampaian yang baik.

Sebagai intermezzo cerita sebelum saya hampir melakukan "keputusan" yang gak bisa ditarik itu, saya ceritakan sedikit tentang saya.

Intermezzo, Kehidupan Setelah Kuliah.

Saya lulus sarjana dengan cukup memuaskan dan dengan cepat mendapatkan pekerjaan lebih dari ekspektasi saya. Sampai suatu hari saya mengalami "kecelakaan" di tempat kerja dengan dampak beruntun yang menyebabkan saya didiagnosis penyakit tertentu yang (katanya) harus saya tanggung seumur hidup. Di saat itu, saya kehilangan pekerjaan dan kemampuan bekerja.

Selama kurang lebih 2 tahun, saya menjadi pengangguran karena harus berobat intensif di kampung halaman. Banyak tekanan datang dari mana-mana padahal kondisi saya gak memungkinkan untuk bekerja seperti orang normal, akibat saya kehilangan beberapa kemampuan dasar karena penyakit saya. Termasuk rasa tertekan dari diri sendiri yang merasa gak enak di usia 20-an ini saya kesusahan bekerja, gak berpenghasilan sehingga masih membebani orangtua.

Bahkan ini terjadi ketika orangtua saya habis ditipu oleh kenalannya, yang menghabiskan hampir seluruh dana pensiun mereka. Sampai pada suatu saat, dengan kondisi di tengah pengobatan, saya memutuskan untuk pergi ke Jakarta demi mengadu nasib, pekerjaan apapun akan saya terima asal bisa mandiri.

Sebuah keputusan yang salah untuk memaksakan diri mencari kerja di Jakarta.

Awalnya orangtua gak setuju, tapi saya bersikeras untuk positive thinking dan memohon pada mereka untuk juga positive thinking bahwa mukjizat itu ada asal percaya pada Tuhan. Akhirnya saya berangkat dan harus menumpang di kerabat dekat yang terbilang kaya, karena uang saya hanya cukup untuk transportasi ke Jakarta. Orangtua saya sudah berpesan untuk titip saya pada mereka. Ternyata keputusan saya itu membawa pada keadaan yang gak saya sangka, keburukan bertubi-tubi yang akan saya terima.

Yang awalnya disambut dengan baik oleh kerabat kaya ini, dengan cepat semua berubah.

Karena belum punya uang, saya harus pinjam kerabat untuk menjalani proses pencarian kerja ke sana-sini. Namun di tengah proses, rasa sakit akibat penyakit saya datang berkala dan baru saya sadari hanya orangtua serta kakak saya yang benar-benar bisa menangani saya di saat seperti itu. Alhasil ternyata kerabat merasa saya gak ada harapan untuk bekerja, setiap proses tes kerja online yang saya lakukan selalu digagalkan dengan cara saya harus melakukan hal-hal yang gak mendesak, padahal ada pembantu di rumah. Pembantu tersebut seakan menjadi mata-mata dan menyampaikan hal gak mengenakkan ke kerabat saya.

Akhirnya saya mendapatkan pekerjaan dengan gaji jauh sekali di bawah UMR, untuk ukuran Jakarta, sementara jarak kerja jauh dan saya secara medis gak diperbolehkan menyetir kendaraan karena penyakit saya. Gaji saya habis hanya untuk keperluan transportasi. Terlepas dari itu saya gak diberikan makan dengan layak di rumah, entah itu sudah basi atau memang gak disediakan, bahkan bahan untuk memasaknya.

Saya akhirnya berpindah dua kali kerja tapi dengan gaji yang masih gak layak, jauh di bawah UMR. Sementara jika saya gak digaji, saya gak bisa makan sama sekali. Akhirnya saya mencari tambahan untuk cuci piring dan bersihkan rumah orang melalui iklan online, dengan bayaran 30 ribu rupiah tiap hari. Dengan kondisi kesehatan yang harus saya perangi, saya gak kuat terus melakukannya.

Gak dimanusiakan oleh kerabat dekat sendiri.

Sampai suatu saat saya mengalami kesakitan dan demam yang membuat saya nyaris gak sadar. Sempat saya pingsan selama beberapa jam, tapi ternyata ketika saya terbangun, saya menyadari bahwa saya dibiarkan. Saya memohon untuk diantarkan ke rumah sakit mengingat mereka memiliki supir pribadi yang siap dihubungi, tapi saya diberikan uang untuk go-jek saja.

Saya akhirnya berangkat ke RS menggunakan go-jek dengan badan saya diikat jaket ke badan bapak ojeknya. Bapak ojek tersebut menemani saya mengurus administrasi sampai saya mendapatkan kamar, beliau begitu baik dan saya minta maaf karena gak ada uang tip tambahan, beliau malah menghibur saya. Bahkan beliau bilang, "Ada ya kerabat setega itu? Padahal ada mobil tadi, tapi suruh saya yang antar mas dalam keadaan seperti ini." Untungnya saya masih memiliki asuransi untuk rumah sakit, ternyata lambung saya sudah maag akut dan usus saya telah berjamur, akibat makanan yang gak layak makan.

Sepulang dari rumah sakit, dalam keadaan masih demam tinggi (karena asuransi saya sudah habis biayanya), saya sudah langsung diberikan tugas-tugas rumahan oleh kerabat dan saya dikeluarkan dari perusahaan saya karena opname di minggu-minggu pertama kerja.

Saya ingin kabur dari sana, tapi gak bisa.

Masih dengan kondisi saya yang pipis dan berak berdarah tak terkontrol sampai saya harus mengenakan pampers khusus orang dewasa, serta kesemutan berat di sekujur kepala dan badan. Dalam keadaan kelaparan, kesakitan dan demam tinggi saya diperintahkan untuk melakukan banyak hal di rumah dengan dihina terus menerus serta bentakan teriakan yang membabi buta.

Dalam keadaan sehat mungkin saya bisa menghadapinya, tapi dalam keadaan fisik benar-benar di ambang batas, saya merasa makin hancur. Masih banyak keburukan yang mereka lakukan yang gak bisa saya sampaikan satu per satu di sini karena akan panjang. Saya ingin kabur, tapi fisik saya gak kuat dan saya gak punya uang cukup untuk bertahan di luar sana. Sementara saya gak ingin membebani orangtua saya dengan berita tentang kerabat dekat mereka ini.

Hingga pada titik saya kesulitan untuk menahan sakit fisik dan kelaparan yang luar biasa, sampai saya memutuskan akan melakukan hal nekat.

Hingga akhirnya di bulan ke-8 saya di rumah tersebut, fisik saya sudah sangat kacau. Saya kelaparan, kesakitan luar biasa menanggung penyakit saya yang semakin bertambah dan beban di pikiran saya sudah bertumpuk. Di saat itu rumah kerabat yang saya tumpangi sedang renovasi besar-besaran. Saya perlahan naik ke lantai 4 dalam kondisi tubuh gemetar hebat nyaris gak sadar diri, ke tempat jemuran baju. Di saat itu saya berdiri di ujungnya dan melihat ke lantai paling bawah. Dengan kondisi fisik dan pikiran yang sudah sangat kacau, saya terpikir satu orang, Ibu saya, salah satu orang yang paling ingin saya sampaikan terima kasih dan sampaikan pamit.

Cara ibu membimbing saya walau dalam keadaan susah berpikir jernih.

Gak disangka, telepon dengan cepat diangkat beliau. Saya langsung meledak dalam tangis menyatakan bahwa saya gak kuat lagi menahan semuanya kemudian saya sampaikan, "Ibu, aku di lantai jemuran. Ibu pasti tahu karena pernah ke sini. Di bawah sana ada tumpukan kayu renovasi rumah ini dengan paku-pakunya menghadap ke atas, kalau aku jatuh kepala duluan, semua bakal berlangsung cepat kok, tenang aja. Ibu gak usah khawatir."

Ibu saya yang biasanya mudah panik, secara mengejutkan mampu membimbing saya dengan tenang dan mengatakan sambil terisak menangis pelan, "Tarik nafas dulu, mundur pelan-pelan."

Beliau melanjutkan omongannya di telepon, beliau membawa saya untuk berpikir beberapa hal penting yang saya ingin sampaikan ke kalian, semoga bisa meredakan keinginan kalian juga.

Verified Writer

Bayu Dwityo Wicaksono

A Disney dude who wants to fulfill the purpose of life like Desmond Doss. The story teller in an uncertain gaea. Freelance writer, editor, journo, and creator. Nakama. 🎗🧩

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya