TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Cerita Dini Widiastuti Perjuangkan Kesetaraan Gender Anak dan Pemuda

#IDNTimesLife Kekerasan berbasis online jadi sorotan

Direktur Plan Indonesia Dini Widiastuti. IDN Times/Febriyanti Revitasari

Apa yang terlintas di benakmu jika mendengar orang yang punya latar belakang ekonomi justru beralih memperjuangkan kesetaraan gender? Hal ini dialami oleh Direktur Plan Indonesia, Dini Widiastuti, sejak menjabat sebagai Kepala Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia di tahun 2018. 

"Ketika berhubungan dengan economic development kemudian komunitas makro, ada hambatan yang sifatnya bukan lagi teknik atau misalnya masalah pendidikan, tetapi tentang norma. Nah, kesetaraan gender di situ. Bagaimana perempuan diposisikan di dalam keluarga, komunitas, tempat kerja, dan masyarakat pada umumnya," paparnya saat membuka percakapan kami.

Diwawancarai melalui virtual pada Kamis (18/02/2021), berikut cerita Dini Widiastuti perjuangkan kesetaraan gender anak dan pemuda. 

1. Tantangan Dini bersama Plan Indonesia dalam memperjuangkan kesetaraan gender anak dan pemuda

Direktur Plan Indonesia Dini Widiastuti. IDN Times/Febriyanti Revitasari

Dini mengungkapkan, Plan Internasional yang sudah berdiri sejak 1937, mengalami evolusi dalam perjalanannya. Yayasan yang masuk ke Indonesia pada tahun 1969 itu, awalnya merupakan wadah perlindungan anak dan humanitarian untuk perang di Spanyol. Kemudian, masuk perspektif hak yang mengerucut menjadi kesetaraan bagi anak perempuan.

Ketika ditanya bagaimana jatuh bangunnya membangun organisasi, ia menuturkan ada yang mempertanyakannya karena hanya fokus pada perempuan. 

"Tentu saja kalau organisasi berevolusi itu ada tarikan-tarikannya. Kenapa hak anak perempuan aja padahal anak laki-laki juga penting? Tetapi kita kan gak bilang bahwa anak laki-laki gak penting. Kita tetap dalam intervensi kegiatan melibatkan anak laki-laki," terangnya. 

Plan Indonesia telah bekerja di berbagai daerah, termasuk di NTT dan NTB. Kesulitan muncul saat ada konteks norma, budaya, sosial, dan agama yang tak bisa langsung diubah secara instan. Namun, pihaknya telah terjun ke masyarakat dan melakukan komitmen selama 10-15 tahun dalam satu program tertentu. 

"Nah ini kan perubahan, transformasi berpikir dan norma perlu waktu lama. Yang dilakukan betul-betul engaging dengan semua stakeholder dan juga sabar mendengarkan," tambahnya.

2. Pengalaman pribadi mengalami ketidaksetaraan gender di lingkungan kerja

IDN Times/Febriyanti Revitasari

Saat ditanya alasan bersedia memimpin organisasi Plan Indonesia, ia mengungkapkan bahwa ada pengalaman personal perihal ketidaksetaraan dan dampak dari ketidaksetaraan gender. Namun menurutnya, pengalaman seperti itu umumnya dialami oleh semua perempuan. 

"Itu juga baru-baru aja meeting dengan pemerintah, lembaga negara yang saya itu gak dianggap. Kebetulan saya bersama tim dan ada anggota tim saya yang manajer, laki-laki. Yang disapa laki-laki, yang dihormati laki-laki," ungkapnya.

Bahkan ketika dirinya menjabat jadi direktur, posisi tersebut tak lantas membuatnya terbebas dari isu kesetaraan gender. Menurutnya, satu yang bisa jadi pembeda adalah bagaimana kesadaran perempuan terhadap tindakan pelecehan. Apakah hal itu dianggap biasa atau hal yang perlu dihiraukan? 

3. Program Plan Indonesia dalam upaya menumbuhkan kemampuan leadership anak dan pemuda perempuan

instagram.com/planindonesia

Dini dan tim telah mendukung anak dan pemuda perempuan usia 18-24 tahun untuk berkontribusi pada lingkungan mereka. Baik itu tentang melatih kepemimpinan di sekolah, komunitas, bahkan di sosial media untuk jadi influencer.

"Nah kita ada namanya Girls Leadership Academy. Ini cita-cita besarnya bagaimana Plan Indonesia berkontribusi menciptakan pemimpin perempuan Indonesia di masa depan. Kita memulainya dari diri sendiri, termasuk memimpin dari diri sendiri," jelasnya.

Ketika ditanya tentang kekuatan apa saja yang harus dimiliki perempuan untuk memperoleh karakter kepemimpinan, ia berujar bahwa kepemimpinan bukan hanya tentang pengetahuan, melainkan juga seni dan kebijaksanaan. Menurutnya, karakter itu dapat dipelajari sejak masih muda dengan berbagai level berbeda. 

"Kalau di Plan Indonesia ada namanya Youth Advisory Panel, di mana itu yang membuat saya suka karena we walk the talk. Anak muda bukan hanya menjadi objek, tetapi mereka juga jadi advisor untuk Plan Indonesia," terang perempuan yang pernah menjabat sebagai Direktur Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) itu.

Ia juga mengungkapkan beberapa karakter penting yang dibutuhkan untuk memupuk karakter pemimpin, yang mana ada public speaking, kepercayaan diri, manajemen waktu, empati, dan komunikasi. 

Baca Juga: Kisah Asri Wijayanti Berdayakan Penjahit Lokal lewat Jahitin.com

4. Masifnya cyber crime dan kekerasan gender online membuat anak perlu dibekali cara melindungi diri dari kejahatan digital

IDN Times/Febriyanti Revitasari

Ia mengungkapkan pentingnya anak belajar melindungi diri dari kejahatan dunia maya. Menurutnya, sosok terdekat seperti orangtua, pun sudah selayaknya menjadi pembimbing ketika anak berselancar di media digital. 

"Ada riset di 19 negara untuk melihat security anak. Jadi ada 14 ribu anak, yang mana 58 persen atau ⅔ dari mereka mengatakan pernah mengalami atau pernah mengawasi kekerasan berbasis online. Termasuk di Indonesia, ada 500 anak yang jadi responden dan 56 persen pernah mengalami pelecehan secara online," jelasnya.  

Melihat angka tersebut, ia menuturkan jika masalah kekerasan berbasis gender online kian memprihatinkan. Bahkan pada Maret 2020, LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) mendapat 97 pengaduan kekerasan, yang mana 30 persen berupa KBGO yang didominasi ancaman penyebaran konten intim hingga pemerasan. 

Oleh karena itu, dirinya dan pihak Plan Indonesia mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan menginisiasi agar KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online) dimasukkan di dalamnya.

5. Keterwakilan perempuan dan dukungan laki-laki di legislatif sangat dibutuhkan demi disahkannya RUU PKS tahun 2021

dok. Plan Indonesia

Terdepaknya RUU PKS dari program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 oleh DPR RI masih menyisakan kekecewaan bukan hanya bagi korban, melainkan semua elemen yang sejak lama mendukung pembahasan ini.

Ada berbagai alasan dari fraksi DPR RI yang menolak, termasuk karena tak sesuai dengan keyakinan atau ideologi, sulitnya pembahasan definisi, hingga harus menunggu pembahasan RKUHP selesai. Apakah penolakan itu memiliki dasar empiris atau hanya dalih argumen politis, publik terus mengawal kelanjutan pembahasan RUU PKS agar segera disahkan.

Ketika ditanya tentang problem pemimpin yang masih memiliki paham patriarki, ia memaparkan bahwa perlu adanya peningkatan keterwakilan perempuan di legislatif.

"Ini akan menjadi sulit karena ada pertarungan ideologi. Ada paham patriarki di DPR sendiri. Oleh karena itu, yang harus didorong yakni keterwakilan perempuan," jelas perempuan lulusan SOAS University of London itu.

Ia menekankan perlu adanya dukungan pemimpin laki-laki di legislatif untuk perjuangan pemimpin legislatif perempuan. Sebab menurutnya, isu ini merupakan kepentingan semua orang.

Baca Juga: Cerita Soraya Cassandra Merawat Alam Melalui Kebun Kumara

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya