TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Jalan Panjang Indonesia Lepas Pasung Penderita Disabilitas Psikososial

Jangan dipasung tapi didukung!

Hasil jepretan foto Rudi Waisnawa tentang kondisi Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang dipasung. (Dok.IDN Times/Rudi Waisnawa)

Bak hewan yang sengaja dikurung, praktik pasung masih marak bagi penyandang disabilitas psikososial di Indonesia. Mereka dianggap aib yang merepotkan dan akhirnya terpaksa dirantai. Tentunya, praktik ini sangat bertentangan dengan hak asasi manusia.

Dalam live discussion Aljazeera English, Rabu (7/9/20), Shantha Rau Barrig, Direktur Hak Disabilitas di Human Rights Watch dan Nova Riyanti Yusuf, Sekretaris Jendral Asia Federation of Psychiatric Assocs, berbagi pandangan tentang pasung di Indonesia. Berikut pemaparannya!

1. Pemerintah secara resmi melarang pasung sejak tahun 1977. Nyatanya, praktik pasung masih marak hingga kini

youtube.com/Al Jazeera English

Human Rights Watch (HRW) melaporkan, setidaknya 57 ribu penyandang disabilitas psikososial di Indonesia, telah dipasung setidaknya sekali seumur hidup. Dari data tersebut, sekitar 12.800 orang masih dipasung hingga Juli 2018. Hal ini sangat disayangkan, terlebih karena sesungguhnya, pemerintah secara resmi sudah melarang praktik pasung sejak tahun 1977.

"Saya juga merasa hukum menjadi hal yang krusial. Indonesia sesungguhnya melarang pasung sejak tahun 1977. Peraturan tersebut sudah ada selama 40 tahun, tapi ternyata praktiknya masih banyak," ungkap Shantha.

2. Stigma tentang hal gaib atau supranatural masih melekat pada penyandang disabilitas psikososial di Indonesia dan membuat mereka dipasung

youtube.com/Al Jazeera English

Praktik pasung yang masih marak di Indonesia, ternyata berkaitan dengan stigma dan kepercayaan tertentu di Indonesia, yang meminggirkan penyandang disabilitas psikososial. Mereka dianggap aib dan membuat malu keluarga. 

"Di Indonesia, ada stigma bahwa mereka yang punya gangguan mental, berhubungan dengan bad luck, hal-hal magis, dan supernatural. Mereka membuat anggota keluarga kesulitan untuk beraktivitas sehari-hari dan akhirnya terpaksa dipasung," papar Nova.

Pasung dianggap sebagai langkah yang harus diambil agar penyandang disabilitas psikosial tidak membahayakan orang-orang sekitarnya. Padahal, langkah ini justru memperburuk kondisi mereka.

Baca Juga: Ini Perbedaan Masalah Kesehatan Jiwa dengan Gangguan Jiwa

3. Lantas, apa saja program yang telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk menghentikan praktik pasung?

IDN Times/Larasati Rey

Pemerintah Indonesia sudah melakukan beberapa inisiasi untuk melepas rantai pasung dari penyandang disabilitas psikososial. Pada tahun 2010, Kementerian Kesehatan Indonesia meluncurkan "Indonesia Bebas Pasung". Selanjutnya, terbentuk regulasi baru dengan diterbitkannya UU No 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.

Pada Januari 2017, Kemenkes meluncurkan "Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga". Program ini berupaya untuk menjangkau masyarakat secara langsung dari rumah ke rumah untuk memberikan layanan kesehatan, termasuk kesehatan mental.

Kabar baiknya, program-program ini berhasil menurunkan angka pemasungan. Pada tahun 2016, tercatat sekitar 18.800 penyandang disabilitas psikososial yang di pasung.

Pada 2018, turun menjadi sekitar 12.800. Meskipun begitu, angka tersebut masih dirasa cukup tinggi.

4. Dukungan nyata pemerintah untuk menghentikan pemasungan, terhambat rumitnya birokrasi di Indonesia

castleofchaos.com

Shantha dan Nova sepakat bahwa pemerintah Indonesia perlu lebih banyak memberi dukungan nyata terhadap penyandang disabilitas psikososial. Dukungan nyata ini tentunya berbentuk penyediaan layanan, fasilitas, serta edukasi untuk penyandang disabilitas psikososial.

Sayangnya menurut Nova, cukup sulit untuk mewujudkan hal tersebut di Indonesia. Pasalnya, semua pengadaan membutuhkan regulasi yang prosesnya cukup rumit di Indonesia.

"Indonesia adalah negara yang sangat luas dan beragam dengan otonomi daerah yang berbeda-beda. Akhirnya, ini yang membuat kesehatan jiwa jadi masalah yang kurang diperhatikan," ungkap Nova. 

Sebelumnya, Nova pun sempat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019. Ia merasakan sekali rumitnya sistem birokrasi Indonesia yang akhirnya berdampak pada kurangnya dukungan secara merata bagi penyandang disabilitas psikosial Indonesia.

Baca Juga: Jangan Pasung Mereka yang Miliki Gangguan Jiwa  

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya