TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Bahaya Menggampangkan Penulisan Karya Fiksi, Bisa Batal Jadi Novelis

Tidak semudah kelihatannya, kamu harus serius

ilustrasi pria berimajinasi (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Cukup banyak orang yang menyukai kegiatan membaca maupun menulis karya fiksi berupa novel. Terlebih dengan banyaknya platform yang memungkinkan siapa pun mengunggah ceritanya. Memublikasikan karya fiksi menjadi tak harus melalui sistem seleksi.

Bahkan cukup dengan modal ratusan ribu rupiah, naskahmu sudah bisa diterbitkan sebagai sebuah novel cetak, lho. Pun sekarang banyak pelatihan maupun sekadar status di media sosial perihal cara gampang menulis karya fiksi.

Tidak ada salahnya kamu mengikuti pelatihan-pelatihan tersebut atau menyimak artikel perihal tips-tips menulis cerita. Namun, waspadalah terhadap munculnya kecenderungan untuk menggampangkan penulisan karya fiksi. Ini bahayanya kalau kamu sampai meremehkan proses menulis karya fiksi, terutama novel:

1. Ceritamu tidak berhasil meyakinkan pembaca bahwa semua itu 'nyata'

ilustrasi mengetik naskah (pexels.com/Andres Ayrton)

Meski disebut karya fiksi, saat orang membaca novelmu, mereka harus benar-benar masuk ke kisahnya. Dengan begitu, mereka merasa apa yang kamu ceritakan sungguh-sungguh terjadi.

Mereka perlu dibuat larut dalam setiap adegan dan peristiwa yang kamu tulis. Tokoh-tokohmu harus terasa hidup, seakan-akan mereka sungguh-sungguh ada di dunia nyata dan bukan sekadar rekaan. Untuk inilah, diperlukan kemampuan 'menghidupkan' karakter setiap tokoh.

Bukan sekadar barisan panjang nama tokoh dan jenis kelaminnya, tetapi karakter masing-masing tidak kuat bahkan terasa sama semua. Dan di setiap peristiwa yang melibatkan tokoh tertentu, kamu kudu mampu 'memecah' kepribadian dan sudut pandangmu, kemudian menjelma sepenuhnya sebagai tokoh tersebut.

Baca Juga: 5 Tips Mengatasi Rasa Lelah ketika Menulis, Yuk Semangat Lagi!

2. Kamu tak mampu mengangkat kritik sosial dan isu-isu penting dalam karyamu

ilustrasi mengerjakan naskah (pexels.com/Michelle Leman)

Walau sama-sama berkisah tentang asmara misalnya, ada cerita yang cenderung bermain aman dengan menampilkan konflik ringan dan akhir yang bahagia. Akan tetapi, ada pula cerita asmara yang lebih menantang dan konfliknya berat.

Contohnya, perlawanan perempuan atas keinginan pasangannya untuk melakukan poligami yang didukung keluarga besar. Atau, mengangkat kisah dari sudut pandang seseorang yang menjadi perusak rumah tangga.

Di luar genre romansa masih ada pula isu-isu penting seperti kesehatan mental, kesetaraan gender, orientasi seksual, sejarah, dan perlakuan diskriminatif yang dapat diangkat dalam sebuah novel. Ini sama sekali bukan proses menulis yang mudah. Tak sekadar riset, nyali untuk menuliskannya pun kudu besar.

3. Cuma menang jumlah halaman, tetapi kualitas ceritanya kurang

ilustrasi mengetik naskah (pexels.com/Ron Lach)

Makin tebal naskahmu bukan berarti makin tinggi kualitas ceritanya. Ketebalan naskah dapat saja dikarenakan kamu masih belum mampu menghemat penggunaan kata dalam setiap kalimat. Bahkan dalam banyak halaman, kamu hanya mengulang-ulang penjelasan.

Jadi, jangan puas oleh jumlah halaman dari naskah novelmu. Menulis novel bukanlah tentang menulis sebanyak-banyaknya melainkan tuntas mengangkat satu topik atau isu yang menjadi fokus penulis.

4. Sulit menghargai dan enggan belajar dari karya para penulis senior

ilustrasi pria dan buku-buku (pexels.com/Ron Lach)

Karena kamu telanjur berpikir menulis karya fiksi itu mudah, menurutmu siapa pun dapat melakukannya dan kualitas seluruh karya menjadi setara. Hati-hati, pemikiran seperti ini bisa menjerumuskanmu dalam sifat tinggi hati.

Akibatnya, kamu merasa tidak perlu lagi mempelajari karya penulis-penulis lain. Bahkan senioritas mereka tak lagi membuatmu menaruh hormat. Kamu terlalu percaya diri bahwa mudah saja untukmu menulis novel seperti novelis A, B, C, dan yang lain.

Kamu akan rugi banyak dan kemungkinan besar gagal menjadi novelis. Alasannya, di setiap karya itu ada gaya bercerita yang berbeda. Sudut pandang yang digunakan pun tak sama. Seandainya kamu lebih rendah hati dan mau belajar dari karya-karya lain, kemampuan menulismu bakal meningkat.

Baca Juga: 6 Cara Menulis Paragraf Pembuka Artikel Menarik, Atasi Writer's Block!

Verified Writer

Marliana Kuswanti

Esais, cerpenis, novelis. Senang membaca dan menulis karena membaca adalah cara lain bermeditasi sedangkan menulis adalah cara lain berbicara.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya