TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Fakta Unik Sistem Matrilineal yang Dianut Suku Minangkabau

Perempuan memiliki peran sentral dalam kesukuan

ilustrasi pengantin wanita Minangkabau (pixabay.com/riskyrahmadanil)

Dalam hubungan keluarga, ada yang namanya sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan itu menghubungkan sebuah keluarga kecil atau keluarga inti dengan anggota keluarga besar.

Matrilineal merupakan jenis sistem kekerabatan yang ada di dunia. Tak seperti patrilineal yang dianut oleh suku-suku pada umumnya, sistem matrilineal sangat jarang digunakan. Di Indonesia sendiri, tak banyak suku yang menganut sistem kekerabatan ini.

Salah satu suku penganut sistem matrilineal yang masih bertahan hingga sekarang adalah suku Minangkabau. Keberadaan suku Minangkabau sendiri mendominasi provinsi Sumatra Barat. Ada di dalam populasi yang besar, berikut adalah beberapa fakta unik terkait sistem matrilineal yang dianut suku Minangkabau.

1. Nama suku pada garis keturunan akan ditarik dari nama suku pihak ibu

ilustrasi pengantin wanita Minangkabau bersama ibunya (instagram.com/nikitawillyofficial94)

Matrilineal adalah istilah untuk menyebut sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak perempuan (ibu). Baik anak laki-laki maupun perempuan, mereka akan menyandang suku pada nama mereka sesuai dengan suku sang ibu.

Mulai dari nenek moyang hingga generasi yang baru saja lahir, anak-anak Minangkabau tidak akan menggunakan suku dari pihak ayah. Karena hal inilah, kelahiran seorang anak perempuan sangat disambut baik sebab kelak ia akan menjadi penerus garis keturunan sukunya. 

Baca Juga: Menganut Matrilineal, 5 Istilah dalam Adat Minang yang Wajib Kamu Tau!

2. Cenderung melakukan pernikahan eksogami

ilustrasi pernikahan dengan adat Minang (instagram.com/morden.co)

Dalam menganut sistem matrilineal, adat di Minangkabau tidak mendukung terjadinya perkawinan antarsuku. Sekalipun berasal dari nagari (desa atau daerah) yang berbeda, tapi sukunya sama, perkawinan itu tetap dipandang sebagai hal yang kurang baik.

Adat Minangkabau mengkhawatirkan terjadinya kerusakan garis kesukuan apabila terjadi perkawinan antara dua orang yang berasal dari suku yang sama. Bagi yang melanggar ketentuan ini umumnya akan mendapatkan sanksi sosial, seperti dikucilkan dari masyarakat.

Berkaitan dengan pernikahan eksogami, tak jarang laki-lakilah yang diberikan mahar. Posisi laki-laki dengan kondisi demikian membuat mereka disebut sebagai orang jemputan. Saat sudah menikah, laki-laki akan menjadi "tamu" sebab mereka tinggal di rumah keluarga istrinya.

3. Generasi yang dilahirkan akan berpengaruh pada ukuran rumah Gadang yang dihuni

ilustrasi suasana Rumah Gadang (unsplash.com/ibadahmimpi)

Rumah Gadang adalah pusaka dan menjadi tempat diadakannya acara-acara penting mulai dari upacara kelahiran hingga pesta perkawinan. Bila laki-laki sudah berkeluarga, rumah Gadang ditempati oleh saudara perempuannya bersama suami dan anak-anak mereka. Pengembangan rumah juga menyesuaikan kebutuhan anak perempuan. Makin banyak isinya, makin besar pula ukuran rumahnya.

Perempuan memegang peran sentral dalam struktur kekeluargaan. Beberapa ahli seperti Naim, Anwar, dan M. Radjab menyebutkan pengertian keluarga di dalam rumah Gadang mencakup: paruik, jurai, dan samande. Paruik merupakan sebutan untuk 5--6 generasi yang menempati rumah Gadang. Kelompok yang lebih besar disebut jurai sedangkan kelompok yang lebih kecil disebut samande.

Pada umumnya, tidak ditemukan keterlantaran karena setiap generasi dan kelompok memiliki peran yang sama-sama penting. Bagi masyarakat Minangkabau, hidup bersama keluarga besar berarti mendapat perlindungan yang besar pula dari keluarga tersebut.

Orangtua memiliki tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup anak, sedangkan anak-anak bertanggung jawab terhadap orang lanjut usia. Jika dua ketentuan tersebut tidak berjalan, maka tanggung jawab akan dialihkan ke anggota keluarga saparuik. Jika tidak juga, maka diambil alih oleh anggota keluarga sajurai, dan seterusnya hingga ke tingkat keluarga yang lebih tinggi.

4. Harta warisan akan digunakan secara kolektif

ilustrasi sawah yang dikelola secara bersama (freepik.com/shoorsha)

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, masyarakat Minangkabau memiliki hubungan yang sangat erat dengan kerabatnya. Kuatnya hubungan dalam keluarga besar dilandasi oleh tujuan dan kepentingan bersama, yaitu berupa kepemilikan bersama atas tanah dan rumah. Jadi, meskipun perempuan berperan besar dalam kesukuan, bukan berarti perempuan mendapat kuasa penuh atas pusaka atau harta warisan di keluarganya.

Masyarakat Minangkabau mempunyai filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Maknanya, selain berpegang teguh pada adat, masyarakat Minangkabau juga menjadikan ajaran Islam sebagai pedoman dalam kehidupan termasuk dalam pembagian harta warisan.

Masyarakat Minangkabau umumnya menganut pewarisan dari mamak (paman atau saudara laki-laki ibu) kepada kemenakan. Dari pembagian harta warisan tersebut biasanya harta warisan akan digunakan secara bersama-sama oleh penerima warisan dengan anggota keluarga yang lain. Bisa dibilang, harta warisan tidak bisa dibagi dan harus tetap utuh karena milik bersama.

Baca Juga: 6 Fakta Provinsi Sumatera Barat, Surga yang Indah di Tanah Minangkabau

Verified Writer

Nunung Munawaroh

Anyeong!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya