Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Pendidikan adalah kebutuhan penting bagi setiap orang yang dimulai sejak usia dini. Baik secara non formal atau non formal, pendidikan dini yang dimulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekitar, maupun pendidikan yang ada di lingkungan sekolah sesuai jenjangnya. Melalui pendidikan, seseorang bisa belajar akan suatu hal–hal baru yang belum diketahui sebelumya.
Bicara soal pendidikan, kali ini ada cerita inspiratif dari seorang remaja yang terpaksa mengungsi dari negara asalnya, Syria, menuju kamp pengungsian di Lebanon, karena konflik perang saudara yang semakin mengancam keselamatan warga negara Syria.
1. Mengungsi adalah satu-satunya pilihan untuk tetap melanjutkan hidupnya
Kenalkan, pria muda berusia 16 tahun ini bernama Mohamad Al Jounde. Pada saat ia berusia 12 tahun, ia terpaksa mengungsikan diri ke Lebanon untuk menyelamatkan diri, dengan harapan bisa melanjutkan kehidupan normal mereka kembali.
Ia berasal dari kota Hama, dan terpaksa harus meninggalkan rumah, sekolah, serta harta bendanya di Syria. Saat itu ibunya, seorang aktivis yang menolak rezim Bassar Al Assad, telah diburu pasukan pemerintahan dan berpotensi untuk dibunuh.
Dalam pelariannya, ia dan keluarganya berhenti di sebuah wilayah Aley, dekat kota Beirut di Lebanon. Saat itu tidak ada sepeser pun uang, Dilansir dari Kidsrights.pr.co dan Reuters.com. Ini berarti sangat tidak memungkinkan bagi kedua orangtua Mohamad Al Jounde untuk menyekolahkannya di Lebanon.
Namun kesempatan untuk melanjutkan sekolah yang terpaksa harus ia tunda, berubah menjadi hal yang menyenangkan saat sang ayah mengajaknya untuk bertemu dengan seorang fotografer asal Lebanon bernama Ramzi Haidar.
Selama dua tahun tidak mengenyam pendidikan sekolah, ia belajar seni fotografi dengan seorang fotografer yang juga sangat menginspirasinya. Ia merasa, melalui fotografi ia bisa mengekspresikan diri tentang apa yang dirasakannya.
2. Fotografi adalah cara pendekatannya kepada anak-anak pengungsi
Objek foto favoritnya adalah manusia dan lingkungan sekitar. Kebanyakan adalah rute–rute jalan yang ia lewati dan lingkungan sekitar kamp pengungsian. Bisa dibilang ia terobsesi menjadi seorang street photographer.
Ayahnya adalah seorang seniman di bidang desain visual. Sedangkan ibunya berprofesi sebagai seorang guru matematika. Kedua orangtuanya juga seorang aktivis politik, dan sangat menekankan pentingnya pendidikan bagi kebaikan dirinya di masa depan.
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Editor’s picks
Ia adalah satu dari 1,7 juta orang anak putus sekolah dari Syria, yang terpaksa mengungsikan diri dari negara asalnya sendiri. Mohamad Al Jounde adalah satu dari sekian banyak anak yang mengalami trauma atas konflik peperangan yang terjadi di Syria.
Saat itu, ia hanya ingin melanjutkan pendidikannya meskipun berada di kamp pengungsian. Tapi apa mau dikata. Situasi dan kondisi sangat tidak memungkinkan bagi dirinya. Ia bisa merasakan, bahwa anak–anak yang ada di satu kamp pengungsian dengan dirinya menginginkan hal yang sama.
Namun saat itu, bermain dengan anak–anak lain yang ada di kamp pengungsian, menurutnya adalah cara untuk menghilangkan trauma dengan sesama. Di sisi lain, ia juga mempunyai pemikiran sendiri. Bertahan dengan keadaan yang seperti ini, atau berpikir positif bahwa suatu saat nanti dirinya akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan melupakan traumanya.
3. Tergugah untuk mendirikan sekolah mandiri di kamp
Dari sebuah sesi tanya jawab dengan jurnalis New York times, yang membuatnya prihatin dari anak–anak yang mengalami trauma ini adalah ketika mereka tidak terlalu suka berbicara, tidak tahu cara mengekspresikan diri mereka, maupun bingung dengan apa yang ingin mereka sampaikan ke orang lain.
Lewat fotografi, Mohamad Al Jounde bisa lebih mendekatkan diri dengan mereka. Ada juga beberapa anak di sana telah sedikit belajar fotografi kepadanya. Namun hanya mau mengambil foto orang yang mereka kenal dan percayai.
Merasa senasib dengan sejumlah anak yang berada di kamp pengungsian, membuatnya berpikir bahwa proses saling berinteraksi, dan bermain bersama saat anak–anak ini adalah kesempatan dirinya untuk membuat sekolah non formal di area pengungsian itu.
Kendalanya, ia sendiri tidak mengetahui siapa saja anak berusia 12 tahun di kamp pengungsian itu yang benar–benar ingin belajar dengan dirinya. Lalu idenya untuk membuat sekolah mandiri ini dituliskannya dalam sebuah bentuk proposal, dan meminta persetujuan juga dari kedua orangtuanya. Sang ibu langsung memasukkan namanya dalam proposal ini.