ilustrasi ayah dan anak perempuannya (pexels.com/Ketut Subiyanto)
Ketidakhadiran ayah berimbas serius terhadap hasil pendidikan anak, baik dalam jangka waktu panjang maupun sementara. Dalam sebuah penelitian yang tertuang dalam jurnal The Causal Effects of Father Absence (2013) ditemukan anak yang tumbuh tanpa keterlibatan ayah memiliki skor tes kognitif dan akademik yang lebih rendah. Selain itu, muncul kecenderungan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Fenomena fatherless ini menyebabkan mental anak kurang sehat, sehingga minat untuk mengikuti proses belajar di kelas ikut menurun.
Jurnal yang sama juga menemukan bahwa ketidakhadiran ayah dalam pengasuhan memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan sosial-emosional terutama meningkatkan perilaku agresif. Penelitian ini menemukan fatherless secara konsisten meningkatkan perilaku bermasalah.
Pandangan psikolog anak, remaja, dan keluarga, Farraas Afiefah Muhdiar menguatkan riset tersebut. Ia membenarkan anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah kemungkinan akan terpengaruh kondisi psikologis dan akademiknya.
"Berpengaruh banget dari segi kecerdasan dan prestasi akademik, kalo dari riset, dari segi perkembangan sosial juga berpengaruh banget. Dari segi kenakalan remaja juga berpengaruh banget. Jadi memang yang sehat, yang terbaik itu adalah ketika anak punya hubungan yang baik dan dekat dengan kedua orangtuanya," jelas Farraas.
Temuan dalam jurnal diterbitkan oleh Princeton University tersebut tidak bersifat absolut. Pada beberapa kasus, anak-anak tetap menunjukkan prestasi akademik yang positif meski tanpa kehadiran ayah, sebagaimana disebutkan Sara McLanahan sebagai peneliti.
Hal selaras juga dialami oleh SR yang membuktikan dirinya tak mengalami masalah penurunan akademik. Ia justru berusaha keras untuk membuktikan kemampuan dan prestasinya. Meski mengakui beban yang ditekankan pada dirinya kerap membuat kelelahan secara emosional atau overwhelmed.
SR berbagi terkait dampak fatherless terhadap prestasi akademiknya, "Dampaknya cukup besar. Aku tumbuh dengan keinginan kuat untuk membuktikan diri kepada semua orang bahwa aku bisa berhasil tanpa dukungan siapa pun. Hal itu membuat aku jadi perfeksionis dan keras pada diri sendiri. Secara akademis, justru aku jadi sangat ambis, aku ingin selalu menjadi yang terbaik agar merasa 'cukup' dan diakui."
Meski tak terpengaruh secara langsung, namun kondisi keluarga yang kurang stabil dapat berimbas pada fokus anak. Hal ini berdasarkan pengalaman UV (25) yang berbagi pada IDN Times secara daring (7/10).
"Dampaknya lebih ke emotional state yang fluktuatif, jadi kan kadang ganggu keseharian ya. Kalau akademik gak terlalu mengganggu, cuma memang kalau pas lagi ada masalah di rumah jadi susah fokus belajar," ujar UV.