Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi Father (Pixabay.com/StockSnap)
Ilustrasi Father (Pixabay.com/StockSnap)

Ada secara fisik, namun tak terlibat secara psikologis, mungkin inilah gambaran pengasuhan yang diterima oleh SR (25). Ia merasa ayahnya tak memberikan dukungan secara emosional dan membiarkan SR mengalami kondisi fatherless. Akibatnya SR kerap merasa 'left behind' atau terabaikan.

"Emosi paling dominan yang dirasakan sebenarnya campur aduk antara kecewa, marah, dan sedih. Di satu sisi sangat amat merasa ditinggalkan, tapi di sisi lain setelah dewasa aku merasa tidak berhak marah karena berusaha memahami keadaan," cerita SR pada IDN Times (6/10).

SR tak sendiri. Data UNICEF menyebut pada 2021, ada sekitar 20,9 persen anak Indonesia tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah. Menguatkan data tersebut, survei BPS pada 2021 menemukan hanya 37,17 persen anak usia 0-5 tahun yang dirawat oleh kedua orangtuanya secara bersamaan.

Fenomena fatherless di Indonesia kian menguat berkat kasus perceraian yang terjadi di Indonesia. Akan tetapi, ketidakhadiran ayah bukan hanya disebabkan oleh perpisahan dengan pasangan, namun sikap pengabaian, relasi kuasa, hingga kesulitan finansial juga mendasari perilaku tersebut.

Psikolog membagikan pandangan terakit absennya sosok ayah dalam pengasuhan, sekaligus menjelaskan langkah yang dapat meminimalisir dampak terhadap anak ketika tumbuh dewasa.

1. Fatherless terbukti pengaruhi kemampuan akademik

ilustrasi ayah dan anak perempuannya (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Ketidakhadiran ayah berimbas serius terhadap hasil pendidikan anak, baik dalam jangka waktu panjang maupun sementara. Dalam sebuah penelitian yang tertuang dalam jurnal The Causal Effects of Father Absence (2013) ditemukan anak yang tumbuh tanpa keterlibatan ayah memiliki skor tes kognitif dan akademik yang lebih rendah. Selain itu, muncul kecenderungan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Fenomena fatherless ini menyebabkan mental anak kurang sehat, sehingga minat untuk mengikuti proses belajar di kelas ikut menurun.

Jurnal yang sama juga menemukan bahwa ketidakhadiran ayah dalam pengasuhan memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan sosial-emosional terutama meningkatkan perilaku agresif. Penelitian ini menemukan fatherless secara konsisten meningkatkan perilaku bermasalah.

Pandangan psikolog anak, remaja, dan keluarga, Farraas Afiefah Muhdiar menguatkan riset tersebut. Ia membenarkan anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah kemungkinan akan terpengaruh kondisi psikologis dan akademiknya.

"Berpengaruh banget dari segi kecerdasan dan prestasi akademik, kalo dari riset, dari segi perkembangan sosial juga berpengaruh banget. Dari segi kenakalan remaja juga berpengaruh banget. Jadi memang yang sehat, yang terbaik itu adalah ketika anak punya hubungan yang baik dan dekat dengan kedua orangtuanya," jelas Farraas.

Temuan dalam jurnal diterbitkan oleh Princeton University tersebut tidak bersifat absolut. Pada beberapa kasus, anak-anak tetap menunjukkan prestasi akademik yang positif meski tanpa kehadiran ayah, sebagaimana disebutkan Sara McLanahan sebagai peneliti.

Hal selaras juga dialami oleh SR yang membuktikan dirinya tak mengalami masalah penurunan akademik. Ia justru berusaha keras untuk membuktikan kemampuan dan prestasinya. Meski mengakui beban yang ditekankan pada dirinya kerap membuat kelelahan secara emosional atau overwhelmed.

SR berbagi terkait dampak fatherless terhadap prestasi akademiknya, "Dampaknya cukup besar. Aku tumbuh dengan keinginan kuat untuk membuktikan diri kepada semua orang bahwa aku bisa berhasil tanpa dukungan siapa pun. Hal itu membuat aku jadi perfeksionis dan keras pada diri sendiri. Secara akademis, justru aku jadi sangat ambis, aku ingin selalu menjadi yang terbaik agar merasa 'cukup' dan diakui."

Meski tak terpengaruh secara langsung, namun kondisi keluarga yang kurang stabil dapat berimbas pada fokus anak. Hal ini berdasarkan pengalaman UV (25) yang berbagi pada IDN Times secara daring (7/10).

"⁠Dampaknya lebih ke emotional state yang fluktuatif, jadi kan kadang ganggu keseharian ya. Kalau akademik gak terlalu mengganggu, cuma memang kalau pas lagi ada masalah di rumah jadi susah fokus belajar," ujar UV.

2. Fatherless berdampak pada kondisi psikologis seorang anak

ilustrasi ayah dan anak (freepik.com/freepik

Pertumbuhan seorang anak dapat dipengaruhi faktor genetik dan lingkungan eksternal. Disebutkan dalam jurnal The Impact of Father's Absence on Psychological Conditions in Children from Commuter Marriage Families (2023), keluarga memiliki peran krusial dalam pembentukan karakter anak serta perkembangan psikologis, meski bukan satu-satunya aspek. Oleh karena itu, orangtua yang kooperatif dalam proses pengasuhan menjadi aspek esensial dalam membentuk keterampilan sosial buah hatinya.

Pasalnya, seorang anak membutuhkan bimbingan dan arahan untuk membangun fondasi mental, kognitif, sikap, dan behavioral development. Mereka membutuhkan sosok ayah sebagai panutan dalam hal keberanian, ketegasan, kemandirian, pemecahan masalah, dan kasih sayang. Sementara ibu memberi gambaran tentang kesabaran, lemah lembut, kepedulian, dan kasih sayang.

Absennya sosok ayah diakui UV (25) mempengaruhi kondisi emosionalnya, "⁠Jujur iya banget (mempengaruhi kondisi mental), karena kan emotionally unavailable, jadi orangnya ada tapi figurnya gak ada. Aku jadi mudah depresi karena terlalu memikirkan banyak hal. Balik lagi karena aku gak punya figur yang bisa kasih aku reassurance."

Perasaan serupa juga dialami oleh SR, "Iya, sangat berpengaruh, kehilangan figur ayah sejak kecil membuat aku sering merasa sendirian. Sifatku juga jadi terbiasa menahan semua perasaan sendiri dan merasa tidak boleh menunjukkan kelemahan. Ada masa di mana aku merasa bahwa kesepian adalah hal yang wajar dan justru menjadi bagian dari hidupku."

3. Anak perempuan yang tumbuh tanpa kehadiran ayah rentan alami perasaan kurang kasih sayang

ilustrasi ayah dan putrinya (pexels.com/cottonbro studio)

Perasaan haus akan validasi dirasakan oleh SR saat pertama kali menjalin hubungan romantis. Menurutnya, perasaan ini tumbuh karena sang ayah tak memberikan pengakuan atau menghargai pengalaman serta pikirannya. Pandangan serta pengalaman inilah yang kemudian membentuk skeptisme SR terhadap laki-laki, menurutnya mereka penuh dengan kebohongan.

"Namun seiring berjalannya waktu, aku belajar untuk mengenali luka itu dan tidak lagi mencari sosok pengganti ayah dalam pasangan serta tidak lagi membenci laki-laki. Sekarang aku mencoba membangun hubungan yang lebih sehat, bukan karena kebutuhan akan afeksi masa lalu, tapi karena pilihan untuk saling tumbuh dan menyembuhkan trauma bersama," ungkap SR.

Farraas menegaskan, fatherless juga memiliki keterkaitan dengan rasa kesepian dan kurang kasih sayang. Tidak terpenuhinya peran ayah dalam pengasuhan dapat membentuk perspektif berbeda mengenai rasa kasih sayang.

"Iya dong, tentu ya (ada hubungan fatherless dengan rasa kesepian dan kurang kasih sayang) karena kan kalau fatherless berarti dia gak dapat perhatian dari ayahnya. Sering kali yang aku temukan isu fatherless itu, meski ini belum tentu, tapi sering kali, aku temukan berkorelasi juga sama stressnya ibu. Karena kan capek mengurus anak sendiri," jelasnya.

Memperkuat keterangan dalam riset The Impact of Father's Absence on Psychological Conditions in Children from Commuter Marriage Families (2023), Farraas menekankan tak semua anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah akan sepenuhnya mengalami perasaan kesepian. Bila anak tersebut memiliki support system yang baik, misalnya dekat dengan anggota keluarga lain, seperti kakak, om, kakek, maka dampaknya bisa jadi tak terlalu besar.

"Tapi secara umum yang sering ditemukan sama riset kalau ayahnya terlibat biasanya prosesnya lebih bagus. Terus lebih merasa disayang, terutama kalau anak perempuan. Biasanya lebih gak mudah dirayu sama laki-laki kalau dia dekat sama ayah, karena sudah merasa disayang sama keluarganya gitu. Jadi lebih tahan godaan terhadap kenakalan-kenakalan ketika remaja," tambahnya.

4. Support system dari anggota keluarga lain dapat meminimalisir dampak fatherless pada anak

ilustrasi ayah dan anak perempuan bermain bersama (pexels.com/Josh Willink)

Kehilangan sosok ayah kerap membuat seorang anak merasa tidak aman dan ragu akan nilai dirinya. Perasaan ini salah satunya dialami oleh UV.

"Emosi dominan yg aku rasakan insecure. Dulu sebelum paham dinamika keluargaku, aku suka ngerasa insecure dan selalu self doubting. Jadi kaya gak pernah yakin sama apa yang aku lakukan, terus overthinking setiap habis melakukan sesuatu, setelah baca-baca ternyata itu ada pengaruhnya sama emotinally unavailable father figure karena aku gak pernah dapet validasi, apresiasi semacam itu," cerita UV.

Fatherless dapat terjadi karena orangtua tidak tinggal serumah dengan anak, perceraian, atau pengasuhan yang abai. Bagi orangrtua yang berpisah karena perceraian, Farraas menyarankan untuk melakukan co parenting, selama keselamatan dan kesehatan sang buah hati tidak terancam.

Sementara untuk kasus yang tidak memungkinkan menerapkan co parenting, Farraas menyarankan untuk membangun supportsystem dari anggota keluarga lainnya, di luar dari nuclear family. Hal ini sangatlah diperlukan untuk memenuhi kebutuhan emosional anak.

Farraas menyampaikan, "Ketika anak gak punya sosok ayah di hidupnya, ya dia tetap perlu punya sosok laki-laki yang bisa memberikan kenyamanan. Jadi ya memang bisa mungkin deket sama kakeknya, sama omnya gitu. Itu sih yang bisa paling tidak mengurangi risiko-risiko fatherless tadi."

Meski fenomena fatherless terbukti berimbas terhadap perkembangan anak, namun Farraas menggarisbawahi bahwa dampak ini tak selalu dialami oleh semua pihak. Kehadiran figur dari anggota keluarga yang lain dinilai dapat menjadi penopang bagi tumbuh kembang anak. Langkah yang dapat dilakukan adalah membangun support system dari anggota keluarga lain, memberikan perhatian emosional, serta pendidikan karakter.


Editorial Team